Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

SEA Games: Ajang Prestise, Prestasi atau Kontroversi

22 Agustus 2017   10:29 Diperbarui: 22 Agustus 2017   14:56 6360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

SEA Games: Ajang Prestise, Prestasi, atau Kontroversi

Setiap gelaran olah raga regional Se-Asia Tenggara, hampir bisa dipastikan timbul berita, kisah, peristiwa non teknis yang sering lebih cenderung menguntungkan tuan rumah. Juara umum menjadi tujuan utama, soal bicara di level lebih besar seperti Asian Games, apalagi olimpiade, jelas bukan menjadi pertimbangan.  Seolah negeri-negeri serumpun ini sama, pokoknya juara umum. Dulu, saat Indonesia merajai Asia Tenggara ini, hanya bisa diraih oleh Thailand dan Malaysia sepanjang mereka tuan rumah. Apalagi kini kala Indonesia tidak lagi mampu berbicara di level atas.

Juara Umum SEA Games

Seolah ini capaian puncak, banyak cara yang kadang melupakan sifat dasar dari gelaran ini, sportivitas. Bertebaran kisah dan dugaan tuan rumah diuntungkan. Hal ini seolah penyakut akut bangsa-bangsa ini. prestasi yang di regional sangat superior itu sama sekali tidak pernah terdengar di level yang lebih besar. Puluhan tahun masih sama saja, namun seolah tidak pernah ada yang pernah berpikir membuat gebrakan untuk mengejar Korea Selatan, Jepang, apalagi China. Seolah dengan juara umum di SEA Games saja sudah cukup dan membanggakan.

Pembinaan atau Semata Prestise Juara Umum

Idealnya level Asia Tenggara sebagai sarana pembinaan, pembibitan, dan dikembangkan untuk Asian games, Olimpiade, dan jajaran di atasnya yang jauh lebih prestisius tentunya. Bangga dengan capaian puluhan medali, namun ketika bicara di level Asia, empat keping emas saja masih jauh dari itu semua. Artinya apa? Asia Tenggara belum bisa bicara banyak di tingkatan yang lebih tinggi dan luas. Apalagi jika bicara olimpiade.

Lebih Terdengar Kontroversi dari pada Prestasi

Coba banyakan mana berita soal pemecahan rekor setingkat Asia, atau kecurangan tuan rumah? Sebenarnya sangat memalukan, zaman maju, terukur, terekam dengan baik, dan penuh persaingan dan kemajuan, masih berkutat pada wasit yang dituduh curang, protes karena ini dan itu. Kapan pemberitaan dipenuhi dengan pemecahan rekor olimpiade oleh atlet dari negara A, atau B. Dan kala bertanding di olimpiade juga bisa mendapatkan medali emas.

Juara itu Bonus, Latihan itu Keharusan

Semua atelt harus berlatih terus menerus, dan emas, perak, perunggu itu bonus atas hasil latihan. Bagaimana bisa juara kalau tidak ada kompetisi, liga, dan kejuaraan yang teratur dan berjenjang. Apa bedanya dengan tradisi balap karung Agustusan atau panjat pinang di kampung-kampung jika demikian. Sarana  bersaing secara sportif dan berkesinambungan masih jauh dari harapan.

Indonesia dan Perannya

Negara paling besar penduduknya, paling kaya akan potensi, dan tentu sejarah panjang untuk juara umum, yang kini sayangnya mulai dianggap sebelah mata bahkan oleh negara yang baru bisa membangun seperti Vietnam. Liga di Indonesia tentunya bisa menjadi pioner, bahkan J-League yang suah mengesport ke Eropa pernah belajar ke Indonesia, mengapa sekarang melawan Vietnam saja sudah keder duluan?  Malah kita bangga mendatangkan veteran yang sudah tidak mampu di liga utama Eropa, begitu saja dipuja bak pahlawan yang di masa emasnya, mereka itu uzur, bukan lagi berjaya. Demikian juga bibit-bibit di bebagai ajang jelas lebih banyak dari pada negara serumpun lainnya, mengapa harus kalah dan bahkan target saja hanya nomor empat. Kalah dengan Malaysia yang penduduknya jauh lebih kecil. Peran Indonesia sangat strategis. Mampu dalam banyak hal, hanya kemauan untuk bekerja keras yang sangat rendah.

Bendera Terbalik Merasa Terhina, Kalah karena Malas Diam saja

Bangsa ini kalah dalam banyak hal bukan karena tidak berdaya, namun tidak mau kerja keras dan belajar. Ribut bukan pada yang esensial, misalnya meributkan kartu kuning atau wasit curang, namun belajar mengapa Myanmar sudah bisa lega menatap semifinal. Fokus selalu keluar bukan ke dalam. Tidak belajar namun malah iri dan membela diri. Bukan dalam arti merasa terhina karena bendera terbalik itu salah, bukan, namun banyak yang jauh lebih pantas terhina.

Belajar dan Memaafaatkan Teknologi

Anggapan dan merasa hebat di masa lalu selalu saja didengung-dengungkan. Lupa belajar ke depan. Bagaimana dunia membanjiri Indonesia dengan teknologi, namun sering hanya menjadi penghias dan konsumtif, belum produktif. Teknologi sangat membantu. Bakat di era modern bukan segalanya, kerja keras dan cerdas lebih menjanjikan. Belajar dari tetangga jauh lebih baik daripada meributkan hal yang sering remeh temah. Giatkan agi kejuaraan nasional dengan berbagai jenjang. Pernah Indonesia memiliki pelari 100 meter yang waktunya tidak jauh dari juara olimpiade, mengapa kini tidak?  Dukungan dana untuk teknologi dan pembinaan yang minim. BUMN bukan lagi jadi sapi perah pejabat dan partai politik, berikan dukungan kepada cabang olah raga. BUMN bisa menjaid bapak asuh yang memberikan banyak bantuan finansial, jangan lagi diperah oleh pejabat dan parpol untuk egoisme mereka.

Akankah terus menerus berkutat jago kandang yang senyap di tingkat atasnya? Tentu bukan itu lagi.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun