Mohon tunggu...
Ode Abdurrachman
Ode Abdurrachman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Trading Blogger - Pemerhati Pendidikan | Ketua IGI Provinsi Maluku | Ketua Dikdasmen PDM Kota Ambon Guru, Pengajar, aktivis Muhammadiyah Kota Ambon

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ada Apa dengan Akreditasi ?

2 November 2013   04:55 Diperbarui: 4 April 2017   18:15 18823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ada Apa dengan Akreditasi?

Judul artikel ini mirip dengan judul film yang pernah booming di tahun 2002, film lepas dengan judul Ada Apa Dengan Cinta, (AADC)  salah satu judul film yang menjadi tonggak bangkitnya gairah perfilman di Indonesia dan film yang paling laris di jamannya, karena rela ditonton berulang-ulang oleh penggemarnya yang sebagian besar anak muda bahkan orang tua, karena menyuguhkan nuansa romantisme percintaan dua anak muda Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian Sastrowardoyo) yang gemar menulis puisi, luar biasa.

Tapi jika kita bahas Ada Apa dengan Akreditasi? yang disingkat dengan AdAkA? tentu  jangan bayangkan dulu tentang sebuah romantisme percintaan, tetapi penulis ingin mengantarkan pembaca kepada romantisme kehidupan akademik di Kampus yang dinamis, fluktuatif.  Hubungan pasang surut yang dalam istilah ini penulis sebut Romantika (Romantisme kehidupan akademik) penulis istilahkan Romantika karena layaknya pasangan sebuah hubungan relasi romantis yang kuat, tidak bisa terpisahkan, yang punya ikatan emosional kaut, dan cenderung disalahtafsirkan sehingga kadang hubungan ini mengalami fluktuatif, cemburu, benci tapi rindu.  Dalam istilah formal juga hubungan pasang surut ini dilabeli sebagai dinamika kehidupan kampus, dan  tergolong hubungan yang sehat.

Sesuatu yang sangat menarik untuk dibahas, sebab cenderung melibatkan perasaan emosi warga kampus yang dinamis terlebih lagi selalu saha melibatkan emosional dan perhatian publik karena bersentuhan langsung dengan berbagai kepentingan masyarakat, karena pasang surut hubungan kampus, mahasiswa dan masyarakat, adalah hubungan yang mesti dimaknai sejiwa mesti berbeda secara fisik.

Jika dicermati dari kejadian protes mahasiswa di kampus Unidar kampus B Ambon yang berbuntut ‘ bakubawa’ persoalan akreditasi di DPRD, mestinya dipahami sebagai interaksi hubungan yang penuh Romantika, bahwa kadang untuk sebuah kebaikan kita harus menelan pil pahit untuk sebuah kesembuhan,  atau mengkonsumsi sesuatu yang asam, atau bahkan manis, dan dalam kacamata demi kesembuhan, mesti dianggap ini sebagai sebuah yang positif.

Bahwa dari kejadian protes itu, otomatis semua orang bisa belajar secara praktis, betapa pentingnya 'makhluk' yang disebut akreditasi bagi kehidupan kampus. sayangnya proses akreditasi ini jarang sekali meliabatkan berbagai elemen yang ada dalam organisasi, maka issu akreditasi ini kemudian bergulir menjadi bola panas dan jarang bisa ditelusuri pemaknaan sebenarnya. apalagi publik harus tahu sejauh mana isu ini sebenarnya karena selama ini selalu berhenti pada isu dan rumor yang serba tida jelas.

Kiranya tulisan ini tidak hadir semata-mata ingin menggurui pembaca, tetapi berusaha melengkapi berbagai referensi yang sudah dipahami bersama akan pentingnya akreditasi, dan ingin menyajikan cara pandang yang berbeda dalam melihat akreditasi, juga menawarkan solusi atas kerisauan sebahagian mahasiswa, alumni dan masyarakat tentang kegundahan mereka selama ini terkait Akreditasi.

Pasalnya akreditasi yang sedang hangat dibicarakan saat ini baik di tingkat akademisi, universitas, hingga ke program studi, sampai level mahasiswa, sungguh menjadi bahasan yang seksi dan makin hangat dibahas juga pada skala nasional maupun bukan saha lokal, seperti di kota Ambon. Sebab secara Nasional, issu ini makin menghangat karena akreditasi kampus menjadi amanat undang-undang No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang memberi deadline (batas waktu) kepada setiap kampus untuk wajib akreditasi mulai Agustus 2014.

Seberapa Pentingkah status Akreditasi Kampus?

Sejatinya akreditasi dimaksud adalah sebuah pengakuan publik atau pengakuan eksternal kepada instansi dalam hal ini Perguruan Tinggi dengan standar tertentu semata-mata untuk memberi jaminan kepada masyarakat bahwa lembaga atau kampus tersebut layak dan menjadi acuan utama untuk terjadinya proses belajar, sehingga outputnyapun dijamin dan bisa digunakan oleh masyarakat pengguna lulusan dalam hal ini dunia kerja.

Pemerintah dalam hal ini kementerian Pendidikan melalui UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi telah memberi ultimatum bahwa mulai Agustus 2014 saat diberlakukannya UU tersebut, semua prodi dan institusi atau perguruan tinggi sudah harus terakreditasi. Sementara kenyataan di lapangan, setidaknya saat ini ada enam ribu program studi yang hingga agustus 2013, belum terakreditasi, Dengan demikian otomatis akan mematahkan semangat output lulusan, serta pencari kerja sarjana  dari kampus yang prodinya terakreditasi C, apalagi hanya status akreditasi terdaftar di BAN-PT. Selain itu karena kebutuhan pengguna lulusan misalnya selalu menyaratkan menggunakan lulusan ijasah yang akreditasinya B.

Akan tetapi mengutip perkataan Rektor UII yang juga ketua Umum APTISI (Aosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia), Prof. Dr. Edy Suandi Hamid saat ceramah di Universitas Budidarma, (4/10/2013) bahwa sampai sekarang belum ada satupun peraturan pemerintan (PP) atau peraturan menteri (permen) yang dibuat untuk melaksanakan UU tersebut atau petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, sebab bukan pekerjaan yang mudah bagi BAN-PT (Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi) untuk menjatuhkan vonis itu, di samping lambantnya proses akreditasi dikarenakan minimnya jumlah asesor. Sementara kenyataan yang ada bahwa jumlah kampus swasta di Indonesia sangat banyak, dan jika deadline pemerintah hingga tahun depan sudah harus terakreditasi sungguh suatu hal yang mustahil sehingga Rasanya hampir pasti, pelaksanaan UU ini akan ditunda, selain itu urusan akreditasi ini bisa berdampak pada gejolak baru di masyarakat kampus swasta dan berimbas negatif  bagi para lulusan perguruan tinggi.

Dikarenakan lambannya proses akreditasi pemerintah ini, maka kenyataanya pelaksanaan pelayanan akreditasi yang dilakukan pemerintah melalui BAN-PT selama ini masih belum maksimal. Faktanya hingga kini kampus yang baru terakreditasi kurang dari 120 unit, sementara ada 3.218 Perguruana Tinggi Swasta, 93 kampus negeri, dan 614 perguruan tinggi agama negeri. Sehingga pihak kampus sering dirugikan terhadap lambannya pelayanan akreditasi ini. Padahal terkadang pihak kampus sudah melayangkan permohonan akreditasi baru ke BAN-PT. Namun pelayanan di BAN-PT lambat karena selalu mengeluh keterbatasan asesor (JPN.13/10/13). Selain itu kendala pemerintah adalah pendanaan akreditasi yang biaya akreditasi setiap program dibebankan kepada pemerintah yakni sebesar 30 juta per akreditasi, sedangkan anggaran di APBN 2013 hanya untuk mengakreditasi 3.200 unit (Malang Post, 8 /10/13)

Mestinya proses akreditasi tidak bertumpuk di BAN-PT. Tetapi juga dibagi ke Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) yang dibuka oleh masyarakat/swasta, yang diharapkan bisa meringankan beban BAN-PT sebagaimana amanat undang-undang Dikti yang disahkan 13 Juli 2012, pada Pasal 55 ayat (4) yang menyebutkan: “Akreditasi perguruan tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi” ; serta ayat (5): “Akreditasi Program Studi sebagai bentuk akuntabilitas publik dilakukan oleh lembaga akreditasi mandiri”. Lebih lanjut pada pasal 55 Ayat (6) diebutkan bahwa: “Lembaga akreditasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan lembaga mandiri bentukan Pemerintah atau lembaga mandiri bentukan Masyarakat yang diakui oleh Pemerintah atas rekomendasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi“.

Dari berbagai sumber yang dilansir media saat ini, pemerintah sedang  menyiapkan regulasi teknis berdirinya Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) untuk mengatasi banyaknya lembaga yang memerlukan akreditasi. Lembaga ini seharusnya merupakan perwakilan dari masyarakat, misalnya masyarakat profesi, Kopertis juga sudah harusnya menyiapkan LAM, dimana nantinya untuk akreditasi Prodi melalui LAM dan akreditasi institusi melalui BAN-PT sebagaimana amanah dari Undang-Undang No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi.  Jika Saat ini Persyaratan ijazah legal hanya cukup prodinya saja yang terakreditasi. Tetapi dalam Undang-Undang 12/2012,  ijazah legal jika dikeluarkan oleh kampus yang institusi dan prodinya terakeditasi, dan peraturan ini berlaku per 10 Agustus 2014.

Realitas di Lapangan?

Kenyataan yang terjadi di lapangan, bahwa status akreditasi ini kerap menjadi pro dan kontra baru di kalangan pengguna lulusan, termasuk masyarakat umum, terlebih lagi pada lingkungan akademik baik lingkup negeri maupun swasta. Sebab di tengah tuntutan pencari kerja yang berbekal ijasah yang tidak terakreditasi dipastikan tidak akan lolos dalam seleksi pemberkasan administrasi yang mensyaratkan  akreditasi program studi minimal B, khusus pada seleksi CPNS. Sehingga banyaknya program studi di kampus negeri dan swasta yang belum terakreditasi B, merasa sangat dirugikan dengan regulasi pemerintah ini, padahal infrastruktur akreditasi belum berjalan baik, dalam hal ini lambatnya proses akreditasi oleh BAN-PT.

Persoalan lainnya adalah keterbatasan SDM Kampus, dimana staf dosen yang mengajar tetap di kampus rata-rata masih bergelar sarjana (S1) jarang yang Magister (s2) apalagi (S3), kalaupun ada masih dalam proses penyelesaian studi, inipun membutuhkan waktu yang tidak singkat. Maka terkadang untuk menyiasati kelangkaan SDM ini biasanya kampus swasta dibantu oleh staf dosen dari kampus negeri yang dikaryakan di PT Swasta tersebut guna menutupi kekosongan yang ada, hal ini wajar terjadi karena tugas pokok dosen dan fungsi Dosen sendiri selain melakukan aktivitas pendidikan pengajaran dan penelitian, juga wajib melakukan pengabdian baik di masyarakat maupun lembaga pendidikan. Jangankan di daerah di berbagai kota Besar program karya dosen negeri di berbagai kampus swasta menjadi sangat berarti untuk menutupi kekosongan yang ada.

Namun rupanya  hal ini pula yang menjadi titik lemah manajemen kampus swasta, karena cenderung selalu menggantungkan pada SDM dosen Negeri, atau Dosen yang diperbantukan, sehingga perekrtutan dosen baru sangat lambat terjadi, untuk regenerasi pengajar di kampus swasta. atau bisa dikatakan jarang ada atau bahkan tidak ada sama sekali. Sehingga tidak aneh jika kemudian jarang ada Dosen yang kompetensinya sebidang yang melamar dan menjadi pengajar pada program studi tersebut. Sebab syarat mutlak program terakreditasi adalah sebidang dengan program studi atau mata kuliah yang diajarkan pada program studi tersebut. Mungkin karena kebijakan kampus swasta yang membatasi atau ketiadaan anggaran untuk merekrut dosen baru baik dari yayasan atau kopertis sehingga, tetap saja ketika datang kebijakan akreditasi untuk menilai sebesar apa kompetensi SDM di kampus tersebut, tidak masuk dalam hitungan jika dosen yang ada adalah dosen yang dikaryakan atau yang diperbantukan, bukan dosen asal program studi atau kampus tersebut.

Hal ini bisa kita amati dari laman resmi pangkalan data perguruan tinggi https://forlap.dikti.go.id/, bahwa di Maluku, rata-rata kampus yang memiliki program studi yang memperoleh akreditasi baik adalah yang SDM atau tenaga pengajarnya rata-rata magister (s2) bahkan doktor (s3) dan sebidang keilmuannya, selain itu berimbang dengan jumlah mahasiswa. Jika tidak maka,  inilah yang menjadi faktor menghambat akreditasi program studi, akreditasi fakultas, termasuk akreditasi universitas. Selain keterbatasan dosen tetap di tiap program studinya, yang tidak berimbang dengan jumlah mahasiswa. ironinya fenomena ini bukan saja terjadi di kampus swasta, melainkan tidak jarang terjadi di kampus negeri sekalipun.

Lantas bagaimana menghadapi akreditasi?

Sebenarnya mereka yang sedang bermasalah dengan yang namanya akreditasi tidak perlu khawatir secara berlebihan, sebab yang mengalami hal ini bukan saja di tingkat lokal Ambon atau Maluku semata,tetapi dalam skala nasional. Jika kita menelusuri  berbagai sumber di media, ada ratusan kampus swasta yang masih terhambat akreditasi dan kini sedang dicarikan solusinya dengan membentuk Lembaga Akreditasi Mandiri secepatnya sebelum diberlakukan UU No.12/2012 tentang pendidikan tinggi Agustus tahun depan, guna mempercepat proses akreditasi agar jelas lulusannya dan alumni sarjananya bisa digunakan di dunia kerja dan bermanfaat bagi masyarakat.

Selebihnya kampus swasta atau yang menaunginya yakni kopertis harus menjalin komunikasi yang harmonis dan transparan termasuk kepada para mahasiswanya terlebih lagi masyarakat. Sebab bisa jadi hal yang biasa ini menjadi luar biasa dikarenakan terjadi sumbatan komunikasi dan jika sumbatan ini mengalami ‘masuk angin’ atau ada muatan tertentu akan berimbas ke hal-hal lain yang tidak substansial.

Secara praktis dalam jangka panjang atau secepatnya lingkup universitas hingga program studi minimal sudah memprsiapkan tim kecil persiapan sekaligus pematangan akreditasi yang biasanya terdiri tim tujuh untuk mempersiapkan hal-hal teknis yang berkaitan dengan tujuh standar akreditasi BAN-PT antara lain; 1).standar visi dan misi, 2).standar tata pamong universitas, 3).standar kemahasiswaan dan lulusan, 4). Standar SDM, 5).  Standar Kurikulum dan pembelajaran dan suasana akademik, dan  7). Standar penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat. Karena pengalaman penulis pekerjaan persiapan praktis inilah yang cukup menyita waktu dalam persiapan akreditas.

Sebab terlepas dari polemik akreditasi antara benci dan rindu, penulis melihat ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh PT dalam proses akreditasi tersebut, baik oleh BAN-PT maupun LAM. Seperti yang diungkap juga oleh M. Budi Jatmiko dalam presentasinya pada sosialisasi LAM, Desember 2012, bahwa pada proses akreditasi yang harus diperhatikan adalah; Pertama, reliabilitas dan validitas butir-butir penilaian yang penetapan skor oleh asesornya berdasarkan data yang ada pada Borang Akreditasi serta fakta yang terungkap saat visitasi. Bukan rahasia lagi bahwa butir-butir penilaian akreditas membuat sejumlah PT “mules-mules”. Apalagi pada versi terbaru, standarnya lebih berat dan sebagian besar dari indikatornya bersifat kuantitatif yang sulit dicapai untuk meraih nilai tinggi. Memang bukan masalah sulit atau gampangnya meraih nilai, namun apakah butir-butir tersebut bisa menunjukkan mutu yang sesungguhnya dari sebuah PT atau program studi.

Memang benar bahwa Proses akreditasi kadang atau mungkin sering menjadi momok menakutkan bagi pengelola Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia, khususnya bagi Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Karena Prosesnya terutama pada saat penyiapan borang dan visitasi yang sering membuat jungkir-balik, mengelus dada, menyedot emosi, atau berujung kecewa. Hasil evaluasinya pun bisa menjadi vonis mematikan. Tetapi apapun itu harus dicoba dan dijalani. Dan bagi penulis yang pernah terlibat dan mengalami persiapan hingga vonis pada akreditasi B, pernah mengalami detilnya perjuangan ini.

Khususnya kepada para Mahasiswa

Kembali kepada film Ada Apa dengan Cinta (AADC) di awal tulisan ini, bahwa Ada apa denganmu mahasiswa? Berbagai persoalan di kampus mestinya, dapat diselesaikan dengan dialogis, jika terjadi perbedaan pendapat merupakan hal yang lumrah terjadi, namun tidak harus sampai pada tindakan pemaksaan pendapat. Kebuntuan pemahaman biasanya disebabkan adanya miskomunikasi antara mahasiswa dan pihak kampus terlebih lagi masyarakat, jika sumbatan dan keterbatasan akses informasi ini dicairkan, mestinya peristiwa protes yang tidak santun, pengrusakan dalam berbagai aksi bisa dihindari. Mengingat protes mahasiswa akan status akreditasi bukan secara lokal saja berlangsung di Maluku, tetapi kerap terjadi hampir di seluruh kampus yang terhambat proses akreditasinya, baik dikarenakan kendala faktor eksternal maupun faktor internal.

Meski secara umum diakui bahwa tanggung jawab pimpinan PT harus wajib bisa ‘mengurus’ setiap fakultas dan prodinya, namun secara teknis pimpinan PT tidak serta merta bisa mendisain atau melakukan setting tertentu, agar bisa begitu saja menggenjot proses akreditasi sebuah prodi hingga universitas, sebab pimpinan PT hanya akan memanej dan melanjutkan setiap usaha akreditasi yang dilakukan oleh sebuah tim penjamin mutu di level universitas, berdasarkan kinerja program studi dalam hal ini mestinya yang bekerja sangat keras itu adalah tim khusus akreditasi yang dibentuk di tingkat prodi, fakultas hingga universitas yang terdiri dari Dosen, Mahasiswa dan Alumni dan serta elemen terkait, yang mepersiapkan berkas borang dan menyiapkan bukti fisiknya,  namun jika akreditasi di tingkat program studi hingga universitas sudah siap dan valid, tidak juga otomotis prodi atau kampus dapat terakreditasi begitu saja, jika tidak masuk dalam penjadwalan visitasi akreditasi oleh BAN-PT. Dikarenakan jumlah asesor dan pendanaan yang sangat terbatas di tingkat BAN-PT, sehingga selalu masuk dalam daftar antrian untuk penjadwalan visitasi. Hingga tidak aneh jika hingga saat ini 6.000 program studi belum pada tahap akreditasi, jangankan swasta, kampus negeri saja belum semua terakreditasi.

Semangat inilah yang juga diserukan oleh ikatan PT swasta,  yang hingga kini memperjuangkan 6.000 (enam ribu) prodi dan ratusan kampus swasta untuk secepatnya bisa terakreditasi dengan mendirikan LAM (lembaga akreditasi mandiri), agar secepatnya bisa mengakreditasi program studi dengan biaya sendiri.

Pengalaman penulis ketika mengawal sebuah akreditasi prodi di sebuah kampus Negeri di Ambon, dari persiapan tim borang hingga persiapan akreditasi dari akreditasi C ke status B, butuh waktu sekitar 5 tahun, kemudian pematangan bukti akreditasi borang butuh waktu 1 (satu tahun), dan 6 (enam) bulan, tentu bukan waktu yang singkat, butuh waktu dan intensitas komunikasi yang harmoni antara seluruh elemen di tingkat prodi hingga universitas.

Sayangnya seringkali para mahasiswa yang melakukan protes ini tidak bisa menahan diri dan diprediksi terprofokasi oleh pihak yang tidak memiliki watak seperti mahasiswa sejati, belum lagi jika dipastikan ada kepentingan tertentu yang menunggangi setiap unjuk rasa atau aksinya, mungkin maksudnya benar menyampaikan aspirasi, tetapi cara yang digunkaan sungguh tidak cerdas bahkan cenderung menciderai nama besar mahasiswa sebagai agen of change.

Tindakan perusakan terhadap fasilitas kampus yang dibangun susah payah adalah mengganggu kepentingan banyak kalangan adalah sungguh tidak mencermikan sebagai mahasiswa. Bagaimana mungkin oknum mahasiswa yang berunjuk rasa bisa seenaknya merusak fasilitas kampus sementara ada hak mahasiswa lain di situ ? padahal ketika penulis  jadi mahasiswa jika sampai ekstrem pun, hanya sampai pada aksi menempel lack ban menyilang di pintu rektorat dan difoto kemudian dipublikasi tanda protes yang ekstrem, tentu tidak sampai merusak.

Mestinya mahasiswa dan elemen kampus dalam kasus peningkatan kelas akreditasi harus bisa mensuport dan terlibat aktif dalam seluruh prosesnya, bahwa keterlibatan mahasiswa sangat penting sebab, penilaiannya hingga visitasi juga melibatkan mahasiswa dan elemen kampus, pihak prodi hingga universitaspun mestinya merangkul dan memberdayakan mahasiswa dalam berbagai kegiatan yang menunjang point akreditasi, khususnya yang berkaitan dengan visi dan misi prodi hingga universitas berkaitan dengan tri dharma PT.

Ada apa dengan Iklim kehidupan Kampus?

Seiring banyaknya protes yang tidak sehat dan anarkis di kalangan Mahasiswa secara lokal, dalam berbagai aksinya mungkin mereka lupa, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang begitu pesat di abad ini tidak lagi memberi tempat kepada hal-hal yang berbau anarkis, kekerasan, dan cara-cara tidak etis di publik, artinya masyarakat tidak lagi simpati dengan kekerasan apapun alasannya, karen secara lokal orang Maluku sudah trauma dengan berbagai konflik yang pernah terjadi, Maluku yang sudah damai dan mambangun kenapa masih ada saja segelintir orang yang mempertahankan egosentris dan otot-ototan (baca:kekerasan) untuk menyelesaikan masalah. Jika bukan masyarakat tidak terdidik, mungkin masih bisa dipahami, tetapi ini mahasiswa yang memegang teguh prinsip kebenaran ilmiah,  masih menjadikan kekerasan sebagai solusi menyelesaikan masalah.

Terlebih lagi dalam dunia pendidikan, dunia yang melahirkan para cendikia-cendikia mempuni di bidangnya sungguh sangat naif mengedepankan aspek otot bukan otak. Mestinya hadirnya media sebagai sarana informasi dan komunikasi dimanfaatkan sebagai penyambung aspirasi dan dimanfaatkan dengan baik, dalam dunia pendidikan, ragam teknologi hadir dengan berbagai aspek kemanfaatannya sebenarnya untuk memfasilitasi terjadinya proses belajar yang beretika, lihat saja koran, radio, majalah dan internet, mestinya dimanfaatkan dengan baik untuk menyalurkan aspirasi, dan tentu selalu mengedepankan etika, bahkan estetika.

Malah dari data hasil observasi singkat penulis terhadap beberapa mahasiswa yang berinteraksi dengan penulis secara lokal, jarang dari mereka memenfaatkan media sebagai sebuah potensi yang mampu mengasah kompetensi dan melejitkan prestasi, terbukti dari 10 orang hanya 2 mahasiswa yang memanfaatkan media sosial sebagai media pembelajaran un sich. Sebagian besar dari mereka lebih memandang media mainstream atau media sosial khusunya dalam scope akademik dan pendidikan dipandang sebagai hal yang kurang penting, kecenderungan mahasiswa hanya pada kegiatan iteraksi ringan tanpa makna, media sosial cenderung menjadi ajang narsis dan sumpah serapah (tempat sampah), yang tidak bermakna, lebih parah lagi sebagian dari mereka bahkan cenderung menjadikan  media sosial sebagai Tuhan jadi-jadian, tempat memohon, meminta dan berkeluh kesah.

Belajar dari Protes Akreditas Mahasiswa Unidar Ambon

Kasus terakhir tentang berbagai aksi demo sebahagian mahasiswa Unidar Ambon pekan lalu, diprediksi dikarenakan informasi yang diterima mahasiswa sepotong-sepotong dan jarang ada dari mahasiswa sendiri yang mau membaca regulasi, peraturan, materi tentang akreditasi, kebenaran legalisasi hanya didengar dari mulut ke mulut, apalagi sebatas isu dari SMS dan BBM. Pertanyaannya kemudian inikah cara penelusuran sumber informasi akurat sebagai proses mencapai sebuah sumber kebenaran ilmiah itu? Padalah sumber referensi ilmiah di tengah jaman yang terbuka luas bisa diakses oleh siapa saja dan kapan saja. Apalagi terkesan aksi protes mahasiswa selalu menghindari aspek dialogis dan mendahulukan aksi ekstrim dengan turun jalan untuk menunjukan pamor dan pamernya sebagai mahasiswa, kenapa tidak berfikir kedepankan dialogis dan aksi turun jalan? Karena setahu penulis iklim kampus sangat terbuka untuk berberdialog dan melakukan diskusi baik langsung maupun tidak langsung.

Jikapun terjadi kebuntuan dalam berdialog masih banyak cara yang dilakukan selain dengan jalan kekerasan, yang memperburuk citra kampus, mestinya bisa duduk bersama dengan seluruh elemen kampus untuk mecari solusi terbaik melakukan penuntutan akreditasi, malah dengan jalan aksi anarkis dengan merusak fasilitas kampus yang sudah baik, akan semakin mundur pula proses akreditasi kampus karena butuh waktu dan dana untuk recovery.

Sebagai calon intelektual muda, mestinya para mahasiswa bisa menyalurkan berbagai kompetensi, aspirasi dan prestasi dengan memanfaatkan  media, sekelas media sosial misalnya dengan cara yang simpel, banyak jalan yang bisa ditempuh diskusi untuk, orasi, protes, menulis artikel, unjuk rasa damai, mengunggah video protes, dan ini sebenarnya tugas mahasiswa sebagai ilmuan., jika terpaksa harus turun ke jalan,  tentu bisa meminimalisir hal-hal negatif atau menghindari ketakutan masyarakat lain, toh masyarakat sangat terganggu. Kenapa tidak kedepankan diskusi tatap muka langsung, semuanya bisa dengan mudah dilakukan secara langsung atau bahkan via online (internet), toh semuanya bisa bahkan setiap mahasiswa punya potensi untuk melakukan itu. Apalagi dengan sosial media, TV, Koran, Internet, hingga pada  hasil observasi kecil-kecilan, menelusuri informasi mandiri, dengan melakukan penelitian dan dipublikasi sebagaimana layaknya tugas seorang ilmuan, tentu semua bisa dilakuakn ini jika para mahasiswa mau belajar dan terus belajar.

Apalagi akses informasi kampus kini begitu mudah, ditambah lagi informasi apapun bisa diakses melalui media sosial, informasi website dan informasi pendukung lainnya. Sangat bisa menelusuri sejauh mana geliat kampus membangun image dan brain termasuk mengusahakan akreditasinya.  Sepengetahuan penulis bahwa peran SDM dan tenaga-tenaga IT kampus cukup sukses telah mengusahakan lalu litas mahasiswa di dunia maya, sistem infomrasi akademik yang mulai berkembang di  kampus begitu hebatya, jangankan di daerah atau skala nasioal, rating lalulintas sekelas Unidar itu masuk dalam rating jajaran 200 besar kampus ternama di dunia. Sungguh prestasi yang membanggakan, dan ini tidak dimiliki kampus sekelas kampus negeri sekalipun.

Pengalaman penulis yang hampir empat tahun (2009-2013) ketika diperbantukan mengajar di beberapa program studi di Unidar, sedikit banyak tahu bahwa semangat kampus ini membangun brand dengan visi misinya termasuk slogan ‘garden of knowledge’ dengan persiapan untuk reakreditasi di tahun-tahun ke depan, sungguh sudah sangat siap, tinggal menunggu waktu visitasi dan kelengkapan fisiknya saja..

Quo Vadis Mahasiswa Unidar jika tidak Terakeditasi ?

Tidak terakreditasinya beberapa program studi di Unidar bukan berarti sebuah akhir dari perjuangan mahasiswa mengeluti keilmuannya di kampus.  Keilmuan yang meliputi kompetensi pedagogik, psikomotor dan afektif menuju sebuah prestasi memang merupakan cita-cita ideal dari sebuah perjuangan menjadi mahasiswa selalu dianggap menjadi titik keberhasilan ketika terjuan di masyarakat, padahal penilaian kompetensi mahasiswa semata-mata tidak diukur dari prestasi akademik dan kemampuan kreativitas baik individu maupun kolektif, tetapi kemampuan holistik yakni perpaduan dua kemampuan tersebut dengan kemampuan afeksi yakni kecerdasan emosional dan sikap yang dibentuk selama menjadi mahasiswa.

Secara profesional Penulis berbeda pendapat jika sebagian besar mahasiswa atau lulusan sarjana selalu mengandalkan ijasah apalagi yang berlabel akreditas untuk menjamin kualitas hidup sebagai sarjana yang memiliki multikompetensi. Sebab ijasah secara umum hanya mengakumulasi kemampuan prestasi pedagogik secara intelektual (kognitif) dan kreativitas (psikomotor) secara formal, namun jarang mengungkap kemampuan  softskil (afektif) yang dibutuhkan sebagai seorang ilmuan cerdas dan berkarakter kebangsaan.

Sebab luasnya domain (baca:bidang garapan) keilmuan dan kreativitas di tengah masyarakat, punya potensi besar untuk diolah dan dikembangkan sebagaimana keilmuan yang didapat di kampus, tentu dengan keilmuan softskill, bukan semata-mata hardskill. Lihat saja ratusan bahkan ribuan orang yang menjadi pengangguran terdidik di masyarkat lantaran dibatasi kemampuannya oleh selembar ijasah. Kalo ijasah teknik, selalu menunggu dibukanya peluang teknik, kalau ijasahnya guru, selalu menanti peluang menjadi guru. Ini namanya menanti hujan turun dari langit. Hujan pasti akan datang, tetapi banyak hal yang bisa dilakukan seblum datangnya hujan.

“Mestinya jika tidak bisa masuk ke birokrasi, kita bisa jadi penyedia jasa untuk birokrasi, jika tidak menjadi pegawai negeri, kita bisa menyuplai kebutuhan pegawai negeri, dan jika tidak bisa jadi direktur perusahaan, kita bisa jadi direktur sawahan (petani sukses)", luasnya bidang garapan mahasiswa sesuai dengan keilmuannya sangat berpeluang sukses di masyarakat dengan tidak hanya mengandalkan ijasah sarjana yang terakreditasi.

Geliat dunia usaha yang kini mulai bangkit di seantero Maluku, mungkin akan lebih bijak jika  mahasiswa dan alumninya mau berekspansi dan berekspresi memanfaatkan ini, selain membuka lapangan kerja baru dengan kompetensi dan skill serta pengalaman yang sudah dibangun di kampus bukan tidak mungkin akan menjadi modal besar terjun ke masyarakat. Nyatanya kemampuan hardskil, keterampilan, keahlian, profesional itu hanya menyumbang 20% dari kinerja ketika terjun di masyarakat, selebihnya adalah Softskill, Perilaku, attitude, performen, sikap, kepribadian inilah sejatinya yang dibutuhkan masyarakat. Banyak Koruptor atau penjahat orang hebat terampil, dengan gelar sarjana bahkan Profesor, Doktor, cerdas, pinter, tapi ketika kepribadian bobrok dan suka mencuri bahkan korupsi, ya tidak juga dipakai.

Sebagai bahan refleksi akhir bahwa jika ingin mulai sesuatu mulailah dari hal kecil, mulai dari diri sendiri, dan mulai saat ini (AA Gym). Ketika anda bertanya sejauh mana akreditasi, mestinya anda sudah mulai ‘mengakreditasi diri sendiri', inilah yang jarang mahasiswa lakukan; misalnya apakah kemampuan ‘akreditasi pribadi’ sebagai mahasiswa memiliki kemampuan holistik (kognitif, psikomotor dan afektif-teori Bloom), sebab meskipun nilai akreditasi kampus atau program studi anda akreditasinya B atau A tapi nilai 'akreditasi kepribadian'  anda tidak mencukupi, mungkin anda bisa saja diterima di sebuah instansi tapi tidak di masyarakat. Semoga sukses akreditasi kampus bisa dimulai dari suksesnya ‘mengakreditasi’ diri sendiri.

Jika siapa saja yang megaku cerdas dan tangguh juga, cermat serta terampil, di samping punya kepribadian yang baik, mestinya tidak hanya dibatasi oleh selembar ijasah atau akreditas sehingga nilai yang ada dalam lembaran kertas tidak mengkerdilkan anda untuk melakukan hal-hal yang luar biasa, di masyarakat. Bukan cerita baru bahwa kini orang yang sukses bukan diukur dari gelar sarjana dan ijasah, tapi keuletan dan konsisten, disamping kreatif dan berani mencoba hal baru. Beranilah berkreasi positif dan tanggungjawab. Catatan di lapangan banyak mengungkap fakta bahwa penggerak ekonomi bangsa itu adalah industri kreatif kenapa tidak mencobanya?, jadi sarjana yang tidak hanya mengandalkan ijasah mestinya  banyak baca, pasti berjaya, dan juga banyak cinta sehingga suatu saat nanti anda tidak akan lagi bertanya ada apa dengan akreditasi?  tapi apa lagi yang saya harus buat untuk negeri ini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun