Mohon tunggu...
Novita Bayuarti
Novita Bayuarti Mohon Tunggu... Penulis - penyuka dunia sastra, seni dan budaya

penyuka dunia sastra, seni dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wiraga Wirama Wirasa

13 Mei 2011   05:25 Diperbarui: 14 Juni 2020   13:05 9135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Alkisah, seorang putri Cina dari negeri Tartaripura bernama Dewi Widaninggar menuntut balas kepada Dewi Rengganis dari pertapaan Argapura atas kematian saudarinya yaitu Dewi Adaninggar. Pertempuran sengit antara dua putri dari dua negeri ini pun terjadi. Widaninggar mampu menandingi Rengganis, bahkan beberapa kali sempat berada di atas angin. Namun apa mau dikata, Dewi Rengganis yang adalah seorang senopati wanita sekaligus ipar dari musuh Widaninggar ternyata terlalu tangguh untuk dikalahkan. Di akhir pertempuran Widaninggar kalah dan mengakui keunggulan Rengganis.

Itulah cerita yang diusung dalam Beksan Menak Rengganis Widaninggar. Salah satu ragam tari klasik gaya Yogyakarta. Beksan atau tari yang dipentaskan oleh dua penari tersebut begitu mempesona saya. Mungkin penonton yang lain juga merasakan hal yang sama. Perpaduan gerak yang diiringgi gending gamelan yang terkadang halus terkadang rancak terlihat sangat apik. Meskipun tidak ada sepatah kata pun yang terucap, namun harmonisasi antara gerak dan gending serta ekspresi para penari mampu membawa penonton larut dalam cerita yang dibawakan.

Rasa kagum saya menjadi-jadi karena saya tahu bahwa salah satu penarinya bukan orang Indonesia. Ya, penari yang memerankan tokoh Widaninggar adalah orang Jepang. Namanya Mami Ohishi, atau lebih akrab disapa Mami, berasal dari Kagawa, Jepang. Seorang yang tak memiliki setetes pun darah ke-Indonesia-an dalam tubuhnya, begitu piawai dan luwes memerankan tokoh dalam tari klasik yang sama sekali tidak bisa dibilang mudah. Terus terang saya merasa tertohok dan malu.  

Saya pun bertanya-tanya, apa yang membuat Mami memilih dan sangat ingin mendalami tari klasik Yogyakarta. Padahal begitu banyak macam seni pertunjukkan lain yang mungkin tingkat kesulitannya tidak serumit tari klasik. Jawabannya adalah filosofi yang terkandung di dalamnya, yakni wiraga, wirama, wirasa. Wiraga adalah dasar wujud lahiriah badan beserta anggota badan yang disertai ketrampilan. Wirama adalah di mana gerak yang dihasilkan harus selaras dengan irama. Sementara wirasa adalah gerak tidak saja harus sesuai irama, namun harus dilakukan dengan rasa (jiwa). Sebuah tarian akan terlihat indah jika sang penari mampu membawakan tarian dengan memenuhi ketiga unsur tersebut.

Begitu pula dengan hidup, wiraga, dalam hidup kita harus selalu berusaha, bergerak untuk melakukan sesuatu. Do something! Lakukan sesuatu karena ini hidupmu. Dan dalam usaha yang kita lakukan haruslah memiliki wirama, selaras, dengan kata lain terencana. Segala sesuatu ada tahapannya, dan kita hendaknya melalui tahap demi tahap dan menyelesaikannya dengan baik. Lalu yang terpenting, semua yang kita lakukan haruslah sungguh-sungguh, sepenuh dan setulus hati atau wirasa.  

Sungguh, perkenalan saya dengan Mami Ohishi, mahasiswi seni tari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, telah membuka mata saya bahwa begitu berharga keberagamnya budaya negeri ini. Adaptasi budaya dengan sentuhan kearifan lokal yang begitu sarat makna dan pada akhirnya menyadarkan saya untuk lebih menghargai nilai-nilai yang tertanam dalam budaya leluhur bangsa ini.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun