Mohon tunggu...
noor johan
noor johan Mohon Tunggu... Jurnalis - Foto Pak Harto

pemerhati sejarah

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pak Harto Pernah Mau Jadi Supir

17 Maret 2018   09:27 Diperbarui: 17 Maret 2018   09:38 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di memoar romantika Probosutedjo "Saya dan Mas Harto"dituturkan kehendak Pak Harto beralih profesi, sebagai berikut:"Di pertengahan dekade limapuluhan,    Ini adalah kejadian nyata, Mas Harto pernah merasa putus asa dengan pekerjaannya sebagai tentara. Dia tak juga naik pangkat dan merasa disikapi tak adil dalam angkatannya. Dia mengungkapkan niatnya untuk menjadi sopir taksi saja. Menyetir mencari uang dan tidak perlu gelisah dengan pangkat."                                                                                                                                                                

Menyikapi kehendak Pak Harto, Ibu Tien mengatakan bahwa beliu menikah dengan tentara, bukan dengan supir taksi. Dan keinginan itu pun pupus.

Mengapa Pak Harto sampai hendak berhenti dari tentara dan ingin  menjadi supir? Apa ia merasa dipinggirkan? Apa prestasi kemiliterannya diabaikan? Baik disimak karir militer Pak Harto sejak 5 Oktober 1945 hingga dekade tahun limapuluhan.

Memulai karir militer sebagai Komandan Batalyon X dengan pangkat Mayor, berperan dominan dalam "palagan Kota Baru", melucuti persenjatan tentara Jepang. Kemudian ikut dalam "palagan 5 hari di Semarang", dan merebut lapangan terbang Maguwo dari pasukan Jepang. 

Pada Desember 1945, di bawah komando Panglima Divisi V Kolonel Soedirman, Batalyon X di bawah komando Mayor Soeharto, bertempur habis-habisan di Banyubiru---mengusir tentara Belanda dari Ambarawa hingga mundur ke Semarang. Tidak saja Kolonel Soedirman, Panglima Divisi IV Kolonel Gatot Soebroto pun memberikan apresiasi pada Komandan Batalyon X  Mayor Soeharto di pertempuran itu. Kemenangan gemilang ini dikenal dengan "Palagan Ambarawa."

Sesuai dengan keputusan Konferensi Tentara Keamanan Rakyat di Markas Besar Tentara, Gondokusuman, Yogyakarta, 12 November 1945, yang menetapkan Soedirman sebagai Panglima Besar---pada 18 Desember 1945, Kolonel Soedirman dilantik oleh Presiden Soekarno menjadi Panglima Besar  dan dinaikan pangkatnya menjadi Jenderal. Fakta bahwa tentara Indonesia membentuk dirinya sendiri, bukan atas keputusan politik pemerintah. Ini yang membedakan TNI dengan tentara negara lain.


Masih pada Desember 1945, Panglima Besar Jenderal Soedirman, melantik Mayor Soeharto menjadi Komandan Resimen III dan menaikan pangkatnya  menjadi Letnan Kolonel. Tugas Resimen III menjaga pertahanan dan keamanan di Yogyakarta menjadi sangat berat karena sejak 4 Januari 1946, Yogyakarta menjadi Ibukota Perjuangan. Letnan Kolonel Soeharto harus memastikan kelangengan jalannya roda pemerintahan Republik Indonesia sekaligus menjaga keamanan dan keselamatan Presiden, Wakil Presiden, berikut anggota kabinet.

Intuisi militer Letnan Kolonel Soeharto diuji pada 3 Juli 1946---berhasil mengagalkan kudeta Mayor Jenderal Soedarsono, tanpa tembakan sebutir peluru dan tidak pula setetes darah yang tumpah. Namun, sempat terlontar dari Presiden Soekarno ungkapan Opsir Koppig untuk Letnan Kolonel Soeharto karena menolak perintah Presiden untuk menangkap Mayor Jenderal Soedarsono---dalam hirarki militer, perintah kepada Komandan Resimen harus melalui Panglima Besar. Kemudian, tentu Presiden Soekarno memberi apresiasi dan memaklumi---bagaimana strategi komandan resimen menangkap panglima divisi yang akan makar  tanpa negara menjadi onar.

Kembali intuisi militer Letnan Kolonel Soeharto diuji setelah pasukan Belanda berhasil menduduki Yogyakarta, 19 Desember 1948. Apa yang dikenal sebagai agresi militer Belanda kedua---tentara Belanda berhasil menahan Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa menteri. Praktis pemerintahan Republik Indonesia tidak berfungsi, dan hal ini disuarakan dengan keras oleh Belanda ke dunia internasional---Republik Indonesia sudah selesai.

Suara keras Belanda itu dinafikkan oleh Letnan Kolonel Soeharto bersama dua ribu parjurit TNI (brigade plus), menyerang kedudukan Belanda di Yogyakarta pada 1 Maret 1949---menduduki kota Yogyakarta selama enam jam. Anggota Komisi Tiga Negara bersama wartawan asing yang berada di Yogyakarta, memberitakan peristiwa itu ke dunia internasional, membongkar kebohongan Belanda yang selama ini disuarakan dengan lantang.

Keberhasilan Serangan Umum 1 Maret mendapat apresiasi dari Panglima Besar Jenderal Soedirman yang berada di Markas Perang Gerilya di Jawa Timur. Dalam satu surat Jenderal Soedirman kepada Kolonel AH Nasution, disebutkan bahwa Letnan Kolonel Soeharto "bunga pertempuran."

Dampak lain Serangan Umum 1 Maret antara lain memaksa Belanda ke meja perundingan. Dan hasil dari perjanjian Roem-Royen antara lain Belanda harus meninggalkan Yogyakarta.

Setelah Belanda meninggalkan Yogyakarta,  8 Juli 1945, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, para Menteri yang ditahan oleh Belanda dan diasingkan di pulau Bangka telah kembali ke Yogyakarta, termasuk pimpinan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia Syafrudin Prawiranegara---namun Jenderal Soedirman belum bersedia kembali ke Yogyakarta.

Presiden Soekarno, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Kolonel Gatot Soebroto, telah mengirim surat pada Pak Dirman agar kembali ke Yogyakarta---namun Pak Dirman bergeming.

Sampai tiba surat Pak Dirman kepada Sri Sultan, meminta Letnan Kolonel Soeharto datang ke Markas Gerilya Jenderal Soedirman untuk memberi penjelasan situasi politik dan keamanan sebelum beliu memutuskan kembali ke Yogyakarta.                                                             

Mengapa yang diminta datang Komandan Brigade X Letnan Kolonel Soeharto? Mengapa Pak Dirman tidak meminta penjelasan dari Panglima Komando Jawa Kolonel AH Nasution? Atau pada Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB Simatupang? Atau penjelasan  dari Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng? Mengapa tidak kepada Panglima Divisi IV Kolonel Gatot Soebroto?

Sebelumnya, 3 Juni 1949, Jenderal Soedirman mengeluarkan Perintah Harian Panglima Besar no 27/PB/D/49, menetapkan Letnan Kolonel Soeharto sebagai Komando Militer Tertinggi di Yogyakarta. Dengan adanya perintah harian itu, maka semua kolonel yang disebut di atas dan berada di Yogyakarta, di bawah komando militer Letnan Kolonel Soeharto. Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Letnan Kolonel Soeharto adalah perwiran andalan Jenderal Soedirman---sebagai anakmas Jenderal Soedirman yang sangat mungkin membuat iri perwira yang lain.

Selama menyandang pangkat Letnan Kolonel, Pak Harto mengemban 10 jabatan atau pengantian nama pasukan yakni;                                    

  • Komandan Resimen III,
  • Komandan Resimen 22,
  • Komandan Brigade X,
  • Komandan Werhkresi III,
  • Komandan Garuda Mataran,
  • Komandan Brigade Pragola,
  • Komandan Resimen 14,
  • Komandan Resimen 15,
  • Staf KSAD, 
  • Kepala Staf TT IV/Diponogoro.  

Mungkin hanya satu-satunya dalam sejarah TNI, seorang Letnan Kolonel selama 10 tahun menjalani 10 jabatan atau perubahan nama pasukan seperti di atas.                                                                                                                                                    

"Bunga Pertempuran" Jenderal Soedirman ini patut saja frustasi atas karir militernya yang mangkrak selama 10 tahun sebagai Letnan Kolonel, hingga terlontar kehendak menjadi supir.                                                                                                                                         

Di awal pembentukan tentara (1945), Panglima Divisi Kolonel Kawilarang sebagai Kapten  sedangkan Pak Harto sudah Mayor. Panglima TT IV/ Diponogoro Kolonel Bahrum adalah kawan seangkatan sebagai Komandan Brigade pada Perang Kemerdekaan, sama dengan A Yani yang sudah melanjutkan sekolah staf dan komando ke Amerika. Mungkin karena "mangkrak" itu,  Perwira (penuh) Senyum andalan Jenderal Soedirman mengalami stagnasi karir militer hingga berkehendak seperti yang dituturkan Probosoetedjo di buku; "Saya dan Mas Harto".                                                                                

                                                                                                                                             

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun