Mohon tunggu...
Ninoy N Karundeng
Ninoy N Karundeng Mohon Tunggu... Operator - Seorang penulis yang menulis untuk kehidupan manusia yang lebih baik.

Wakil Presiden Penyair Indonesia. Filsuf penemu konsep "I am the mother of words - Saya Induk Kata-kata". Membantu memahami kehidupan dengan sederhana untuk kebahagian manusia ...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Isu PKI, Horor Pembunuhan Salim Kancil dan Batam: Menanti Sikap Presiden Jokowi

1 Oktober 2015   11:23 Diperbarui: 1 Oktober 2015   11:49 1841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kekejaman pembunuhan ala zaman PKI terjadi di Lumajang, dan di Batam. Korbannya bukan para pejabat atau perwira tinggi militer. Korban mereka seperti zaman PKI dulu hanya seorang petani bernama Salim Kancil dan dua cewek cantik di Batam juga digorok. Pola mencari korban terkait dengan kepentingan pengusaha (kasus Salim Kancil) dan kepentingan dendam politik dan ekonomi (kasus Dwiwana Juli Anggi dan Try ChintyaPrasetya) sungguh menyentak kesadaran publik tentang kejahatan dan kekerasan. Tentu ingatan akan kekerasan masa lalu sungguh membuat duka makin menganga. Mari kita tengok implikasi kekejaman pembunuhan (gaya) 1965 ini dengan hati jauh dari rasa bahagia suka-cita suka-suka senang sentosa gembira ria riang pesta-pora selamanya senantiasa.

Salim Kancil didatangi para penguasa – penambang dan kaki tangan pengusaha pasir liar – di rumahnya. Salim Kancil digeruduk puluhan orang di rumahnya. Mereka masuk merangsek dan menyeret Salim Kancil dan mengikat tubuhnya serta membawanya ke depan para petinggi desa dan warga. Pejabat desa itu hanya menonton di Balai Desa – tempat yang seharusnya menjadi pencegah kekerasan. Di Balai Desa itulah Salim Kancil diestrum, diinjak, ditonjok dan dicangkul serta digorok beramai-ramai, tanpa ada yang mencegahnya. Warga menikmati aksi kekerasan terhadap Salim Kancil seperti persis menonton aksi korupsi tanpa berusaha mencegahnya.

Peristiwa itu persis seperti pasca aksi pemberontakan G30/S 1965. Pasca pembunuhan yang didalangi oleh kesetujuan CIA dan dilaksanakan dengan baik, rezim eyang saya Presiden Soeharto melakukan pembersihan – untuk mengamankan posisi eyang saya Presiden Soeharto yang didukung oleh Amerikas Serikat. Maka di bawah komando Sarwo Edhy Wibowo – besan SBY – dilakukan pembunuhan-pembunuhan dan pembersihan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Organ organisasi pemuda NU GP Anshor dimanfaatkan untuk melakukan berbagai pembunuhan – yang Presiden Gus Dur meminta maaf atas pembunuhan yang melibatkan unsur pemuda NU.

Presiden Gus Dur tidak meminta maaf pada PKI tetapi kepada bangsa Indonesia atas keterlibatan pemuda NU. Kisah tragis kematian sekitar 1 juta nyawa pasca G30/S pada masa rezim eyang saya Presiden Soeharto sungguh menjadi catatan hitam sejarah Indonesia. Itulah peristiwa pembunuhan paling tidak beradab. Cara-cara membunuh dengan menggorok dan menyembelih serta memenggal kepala manusia menjadi banjir darah di sungai Bengawan Solo, Progo dan Brantas di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pembunuhan dengan cara tragis seperti itu menunjukkan dendam dan kebencian tingkat tinggi yang dirasuki oleh perasaan kalah dan kalut. Potret kekejaman pembunuhan ala zaman PKI itu menjadi berkembang meninggalkan memori tentang kekejaman. Dalam politik – akibat alam bawah sadar yang dikuasai oleh nafsu dendam sejarah dan pengalaman dalam jiwa yang menular – dipraktikkan pula pada zaman kini. Sikap tidak mau mengalah dan tak mau mengakui kekalahan sebagai contoh dengan melakukan pembunuhan politik seperti 1965-1966 dipraktikkan dalam persaingan politik.

Politik hanya menjadi alat balas dendam bagi yang kalah – menghambat dan merusak tatanan dengan segala cara. Kasus pembunuhan sekitar Gestapu – Gerakan September Tigapuluh – itu diawali oleh balas dendam dominasi organisasi hebat penuh kekuatan: Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI menjelma menjadi parpol terkuat dengan jutaan anggota dan simpatisan. Dan … mereka ini target pembunuhan.

Gaya intimidasi politik oleh politikus yang dipengaruhi pengalaman sejarah kekerasan telah melukai jiwa. Nah, jiwa yang luka yang tidak dibasuh oleh sikap cinta dan maaf sesama bangsa dengan rekonsiliasi saling memaafkan tetap akan menjadi pengalaman sejarah hitam. Pembersihan jiwa dari akar kejahatan telah dimulai oleh Gus Dur – dengan permohonan maaf kepada bangsa Indonesia, bukan pada PKI. Dalam tataran individu, sikap pengusaha dan cecunguk kaki-tangan penambang pasir terhadap Salim Kancil dan juga terhadap beberapa perempuan belia di Batam – yang digorok lehernya – adalah gambaran kekerasan penuh aksi balas dendam. Balas dendam karena kepentingan mereka rasakan dihalangi dan dirugikan oleh Salim Kancil keluarga tergorok di Batam.

Maka, ketika aktivis petani Salim Kancil (46), dibunuh, digorok, dicangkul oleh orang-orang pro pengusaha, itu tanda praktik budaya sejarah hitam Indonesia menyeruak. Salim dibunuh karena menyuarakan penolakan operasi pertambangan pasir di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Horor pembunuhan di Balai Desa – disaksikan pejabat desa yang korup dan pro-pengusahan – menunjakkan institusi hukum lumpuh.

Pembunuhan di tengah masyarakat, pembunuhan dengan cara disetrum dan disengat listrik, dipukuli, digorok dan dibuang laksana nyawa tak berguna adalah pembunuhan yang hanya berlaku di zaman kekejaman eyang saya Presiden Soeharto yang menewaskan lebih dari sejuta nyawa. Presiden Jokowi dan TNI-Polri tidak bisa membiarkan perbuatan pembunuhan beralasan dendam dan penyingkiran paksa model zaman eyang saya Presiden Soeharto.

Presiden Jokowi pun harus tegas menyigkirkan para penghujat dan penuduh dan penyebar isu terkait dengan PKI yang dialamatkan kepada Presiden Jokowi. Presiden Jokowi harus menangkap culprit dan gembong penyebar fitnah tentang PKI itu karena memori tentang PKI adalah memori tentang kekerasan dan pembunuhan.

Sikap Gus Dur yang mencoba membersihkan jiwa harus dicontoh – meminta maaf atas keterlibatan NU dan bangsa Indonesia. Permintaan maaf oleh Gus Dur kepada korban G30S/PKI harus dilihat secara proporsional. Permintaan maaf itu dilakukan dan dilihat dari perspektif kemanusiaan, bukan sebuah pengakuan bahwa pemerintah pernah melakukan kesalahan politik. Dalam pembasmian G30S/PKI ada ratusan ribu mendekati sejuta korban manusia sehingga harus ada pengakuan bersalah tetapi bukan pengakuan seakan-akan G30S benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun