Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kebahagiaan di Balik Menghujat

15 Oktober 2019   15:23 Diperbarui: 17 Oktober 2019   03:34 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mukanya kayak anj*ng"

"Buka aja baju lu sekalian, kan demen badan lu diliatin banyak orang..."

"Ahh.. caper banget sih Pak, gamau lengser ya, makanya main drama..."

"Dasar mahasiswa, masih minta duit sama bapak emak juga, sini berantem aja sama saya, masih bau kencur juga."

***

Indahnya menghujat seperti ini tanpa mempertimbangkan dulu perasaan orang lain, dan melihat konteks dari suatu kejadian. Apalagi kalau saat kita memakai akun yang anonim dan tidak perlu lagi bertanggung jawab apabila "dicari".

Mungkin untuk sebagian orang, apa yang dilakukan para warganet sungguh jahat dan tidak bermoral, bahkan mereka yang senang memaki ini dengan komentarnya yang jahat bisa dikategorikan sebagai pembunuh, karena secara tidak langsung mereka sudah membunuh mental dan karakter orang yang mereka komentari.

Tapi tahukah Anda, bahwa warganet ini sebenarnya hanya butuh perhatian dan pelampiasan emosi, dan korban dari orang yang mereka hujat. Selain itu, mereka ingin merasa "berkuasa" ketika tidak ada orang yang mengizinkan mereka berkuasa atas diri mereka sendiri.

# Hujatan untuk melampiaskan emosi pribadi

Sekarang ini dari segala penjuru dunia, semua hal dinilai dari hal-hal yang berhubungan dengan materi. Seperti sukses itu kalau mendapatkan penghasilan sekian, punya jabatan yang tinggi, punya rumah mewah, dan sebagainya. 

Bahagia itu banyak travelling ke seluruh penjuru dunia kalau bisa, memiliki wajah yang cantik, memiliki body seperti selebriti atau selebgram, gonta ganti smartphone, dan sebagainya.

Apalagi sekarang banyak orang di sosial media yang sering berbagi kebahagiaan dan membranding dirinya yang sukses kepada para followersnya. 

Maksudnya itu hanya untuk menularkan hal-hal yang positif, namun di balik dari maksud baik, ternyata ada saja orang yang merasa cemburu atas kesuksesan dan kebahagiaannya.

Karena kecemburuannya dan tahu bahwa dirinya akan sulit mendapatkan hal seperti itu, maka secara spontan yang penuh emosional, memencet tuts keyboard smartphone dengan mengatai orang tersebut. 

Dengan maksud, orang tersebut harusnya sadar diri dong supaya tidak pamer. Banyak orang kali yang belum mencapai hal seperti itu, termasuk dirinya yang memaki.

Dengan memakinya, rasanya beban yang selama ini harus ia capai bisa hilang seketika. Ada rasa lega ketika melampiaskan emosi dan bebannya dalam bentuk hujatan. 

Ketika rasa lega itu muncul, ada rasa bahagia saat ada yang setuju dengan apa yang diucapkannya secara negatif, ada yang memberikan like dan komentar yang sama pedasnya. Hohoho... ada teman yang memiliki perasaan yang sama toh.

Kita bisa lihat tontonan sinetron ataupun reality show, tidak ada tuh yang memberikan indoktrinasi masyarakat untuk berjuang menghadapi persoalan hidup. 

Kalau mendapatkan kesulitan, maka yaa orang itu sial dan harus dikasihani, apalagi kalau semakin dijahati, pasti pemeran dalam sinetron atau reality show itu akan berteriak "Kenapa semua orang jahat sama saya? Kenapa dunia ini tidak adil terhadap saya?", atau paling tenangnya, menangis sesunggukkan meratapi nasib.

Kita tidak pernah diindoktrinasi untuk bersemangat dan berjuang meraih apa yang kita cita-citakan. Ketika ada rintangan menghadang, hmm.. kita tidak pernah diindoktrinasi untuk berjuang melawan kesulitan dalam hidup. 

Selain itu, hampir tidak pernah kan kita digaungkan untuk intropeksi diri  dan mengevaluasi apa yang selama ini telah kita lakukan untuk mencapai standar kesuksesan dan kebahagiaan.

Jadi jangan salahkan warganet ini yang akhirnya terpuruk mengasihani diri sendiri, dan membela dirinya karena tidak bisa mencapai nilai kesuksesan dan kebahagiaan sesuai dengan standar masyarakat dengan cara menghujat orang-orang yang sudah mencapai kebahagiaan dan kesuksesan ini. 

# Hujatan karena ingin mendapatkan perhatian

Dengan dunia yang hampir menilai segala sesuatunya dari hal materi, banyak orang yang sibuk sendiri dengan pekerjaannya. Sehingga ketika pulang ke rumah, mereka butuh me time, asyik sendiri dengan dunianya, menjelajahi internet.

Orang-orang di rumah, seperti pasangan ataupun anak yang ingin berbicara dan mendapatkan perhatian, akhirnya merasa terabaikan. 

Kemudian, ketika keluar rumah, teman-teman dan tetangga lebih senang berdiskusi tentang orang lain atau dirinya sendiri, tidak bisa warganet ini benar-benar mendapatkan perhatian khusus dari orang-orang terdekat. 

Akhirnya, dunianya yang paling indah adalah berselancar di media sosial.

Terkadang di media sosial, selebriti ataupun selebgram hanya mau membalas orang-orang tertentu saja. "Ah, coba maki-maki ah, ga akan dipedulikan juga.", kemudian mendapatkan komentar balasan dari sang selebriti ataupun selebgram, betapa senangnya. "Oh begini toh caranya supaya mendapatkan perhatian."

Pada akhirnya, mencari perhatian melalui hujatan, menjadi hal yang sangat indah dilakukan, karena kebutuhan untuk diperhatikan oleh orang-orang sekitarnya sangat sedikit sekali, hampir-hampir tidak ada.

# Hujatan karena ingin merasa "berkuasa"  

Ketika banyak orang yang mendominasi hidupnya, dan membuatnya seperti tidak bisa berkuasa sama sekali terhadap dirinya, akhirnya timbul penilaian rasanya enak sekali menjadi orang yang berkuasa. Toh, selama ini kita selalu digaungkan negara kita kan berdemokrasi.

Demokrasi kan kebebasan berpendapat, masa tidak boleh mengeluarkan pendapat apa yang didalam pikiran. Bisa suka-suka gue dong.

Dengan memberikan komentar negatif, menyerang kemudian menghasut, kebetulan ternyata banyak orang memberikan like dan memberikan komentar setuju, ada perasaan bahagia disana, warganet ini merasa "berkuasa" dengan komentar negatifnya. 

Ada kebahagiaan dibalik komentar-komentar menghujat.

Dan saya rasa warganet ini akan berhenti berkomentar jahat ketika diri mereka benar-benar mendapatkan rasa sayang dan perhatian yang cukup. 

Mereka diajarkan dan diindoktrinasi untuk berjuang mendapatkan apa yang mereka ingin mereka capai, mereka dilatih untuk menghargai dan bertoleransi dengan apa yang telah dimiliki orang lain dan mereka diberikan untuk memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri.

Kemudian, mungkin mereka juga akan bisa berhenti berkomentar jahat, ketika mereka belajar untuk mengintropeksi diri dan mengevaluasi apa saja yang telah mereka lakukan untuk hidup. 

Jiwa-jiwa yang sakit seperti ini, namun mereka tidak menyadarinya, perlu kita rangkul. 

Jadi bagi Anda yang terkena komentar negatif dan pedas para netizen, berbahagialah dan tidak perlu dibawa stres, karena Anda telah membantu warganet ini untuk menyembuhkan sakit hatinya dan menjadi tolok ukur kesuksesan dan kebahagiaan mereka yang sulit mereka raih. 

Makanya, mereka memberikan waktu luang mereka untuk kepo pada kehidupan Anda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun