Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kearifan Blumbang yang Perlu Kita Ketahui

9 Juli 2018   08:15 Diperbarui: 9 Juli 2018   08:57 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (kissparry.com)

Di kampungku beberapa tahun terakhir ini selalu menjadi langganan banjir. Ada dua macam banjir, banjir kubro dan banjir sughra. Banjir kubro dalam usia saya yang kepala tiga lebih ini pernah mengalami dua kali, waktu saya SD dan awal tahun 2014. 

Sementara banjir sugra hampir selalu menjadi ritual tahunan di musim penghujan. Dan yang kategori terakhir ini, mulai efektif sekitar sepuluh tahun terakhir.

Mengapa ritual tahunan? Karena setiap musim hujan, kampung kami mendapat kiriman air dari kampung-kampung sebelah. Maklum, desa kami adalah melting pot, tempat bertemunya air-air dari desa-desa disekitar, yang sungai pembuangannya depat di bantaran kampung kami. 

Bisa dibayangkan, sungai yang berukuran hanya sekitar 4 meter, dengan tingkat kedangkalan yang sangat dramatis ini menjadi tumpuan pembuangan air banyak desa dari arah selatan dan timur wilayah kecamatan. Dan kampung kami adalah pahlawannya -- untuk tidak menyebut korban.

Dulu, hampir tiap desa mempunyai kantong-kantong penampungan air, area sawah yang luas, tanah pekarangan yang rendah, sungai yang masih lebar. Sekarang? Sawah-sawah sudah banyak yang diuruk menjadi rumah dan pabrik. 

Tanah pekalangan sudah hampir hilang ditanami bangunan. Sungai-sungi mengecil, tidak berbantaran karena dibatasi oleh talud. Dan... blumbang-blumbang yang dulu ada di belakang rumah sudah banyak yang hilang.

Blumbang, saya tidak tahu nomenklatur yang digunakan di daerah lain -- merupakan tanah kerukan yang biasanya berada di belakang rumah, atau tanah-tanah liar yang digenangi air. Blumbang ini menjadi kantong-kantong air yang menyerap debit air yang besar. Sehingga air hujan tidak langsung terjun ke kali (sungai) pembuangan yang sempit. Air hujan akan singgah dan tinggal di blumbang atau laguna ini. 

Konon, dulu air blumbang ini digunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari, minum, mandi, cuci dan lainnya. Kebutuhan air secara tradisional akan tercukupi dengan debit air melimpah ala blumbang ini.

Bagaimana blumbang terbentuk? Masih menggunakan istilah konon, berasal dari cerukan tanah yang digali untuk keperluan pengurukan. Zaman dulu, orang mengeruk tanah untuk keperluan pembangunan rumah dari belakang rumah. Sehingga hampir setiap rumah yang dibangun, selalu menyisakan blumbang di belakangnya. Maklum tingkat kepadatan hunian tidak seperti saat ini. Sehingga ada semacam kearifan ekologi yang tercipta dari relasi rumah dan kebutuhan air ini. Pada musim kemarau, banyak blumbang yang masih memiliki debit air. Dan jika blumbang airnya asat (kering), maka orang akan menggalinya lagi, supaya tidak dangkal.

Saat ini, hampir sulit menemukan blumbang. Blumbang sudah disulap menjadi rumah-rumah penduduk. Dan jikalau masih ada, blumbag tersebutpun dangkal dan airnya keruh. Sulit untuk bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan akan air. Blumbang adalah sepotong cerita yang saya dapatkan dari masyarakat kampung kami, ketika mengeluh tentang keadaan ekologi, khususnya akan prestasi juara bertahan, menjadi langganan banjir. Begitulah...!!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun