Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Puasa, Menjaga Hati dan Jari

18 Mei 2018   10:02 Diperbarui: 18 Mei 2018   10:01 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Manusia dewasa ini, hidup pada dua dimensi realitas, nyata dan maya. Manusia modern sangat sulit melepaskan diri dari kungkungan realitas internet. Sehingga ada semacam identitas yang melekat di dalamnya yang disebut dengan netizen atau warganet. Pada realitas ini, orang seakan bebas untuk berekspresi dan aktualisasi diri. Berbagai realitas internet, dalam hitungan detik mengundang respon dari warganet ini.

Pada tataran ini, orang dihadapkan kemudahan merespon dengan bebas, terkadang nir-norma dan etika. Di dunia internet, orang menjadi mudah mengabarkan berita kebaikan, namun juga gampang memgumbar kebencian. Meskipun pemerintah secara resmi sudah mengeluarkan aturan tentang "etika" dalam arus informasi dan telekomunikasi, tetap saja ujaran kebencian seakan menjadi karakter para netizen. 

Sampai sini, netizen kemudian mudah menyebarkan dan mengkonsumsi informasi yang terkadang kualitas kebenarannya sangat rendah, atau yang sering disebut dengan hoax. Berita hoax, tentu saja berpotensi untuk menghadirkan kebohongan, modus, bahkan fitnah. Padahal agama sangat mewanti-wanti untuk senantiasa melakukan tabayyun, klarifikasi atas segala berita yang belum jelas kebenarannya.

Puasa pada aras ini, tidak hanya menjaga mulut dan hati kita, namun secara teknis harus mampu mengendalikan jari-jari kita dari segala hal yang bisa menjurus pada fitnah dan kebencian. Jika 'diamnya orang berpuasa adalah tasbih", maka diam di sini tidak hanya bermakna 'tidak berbicara", namun juga tidak menggunakan jari di media sosial. Dalam hal ini prinsip yang berlaku " falyaqul khairan au liyasmut", kalau belum bisa menggunakan jari untuk kebaikan, maka lebih baik melipat jari kita dari layar sensitif gawai kita. Karena klik 'like" terhadap berita fitnah dan kebencian, pada dasarnya menyetujui fitnah tersebut.

Kita cukup menyayangkan, berapa banyak berita hoax dan fitnah yang mendapatkan jempol dan apresiasi. Bahkan ada semacam adagium," hoax jika disebarkan terus menerus akan menjadi sebuah kebenaran". Ini rasanya menjadi tantangan orang beriman untuk lebih waspada dalam merespon segala sesuatu di media sosial. Ketika kebencian sudah menjelma menjadi barisan huruf yang indah. Di saat caci-maki dan serapah sudah menjadi bahasa penyapa dan komentar. Tatkala fitnah sudah dibungkus ke dalam selaksa bait dan paragraf. Maka puasa jari rasanya menjadi sesuatu yang bijak dan baik.

Namun jika kita mampu menggunakan jari-jari kita untuk menebarkan cinta dan kebaikan, kebenaran dan perdamaian, hikmah dan kearifan, maka menarikan jari kita pada papan kunci rasanya akan lebih mulia. Ingat, kebenaran jika tidak dilakukan dengan baik, akan mudah dikalahkan oleh kejahatan yang tersistem dan professional. 

Puasa adalah momentum untuk melatih jari-jari kita dengan paradigma cinta dan kebaikan. Ujaran kebencian, terbukti telah mampu memecah belah teman, saudara dan generasi bangsa ini. Berapa banyak generasi muda kita yang sudah teracuni dengan virus kebencian di internet. Anak-anak dan adik-adik kita dengan mudahnya mencela, mencaci-maki, bersumpah-serapah, memfitnah, bahkan menebarkan ancaman dan teror melalui akun media sosialnya. Puasa, tidak hanya membangun kesalehan citizen, tapi juga kesadaran dan kearifan netizen. Mari jaga hati dan jari kita!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun