Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sosiologi Pekuburan, Kambing versus Bunga

12 September 2017   15:50 Diperbarui: 12 September 2017   16:23 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kambing-Kambing Kampung Kandang Jakarta (Dokpri)

Pekuburan Kampung Kandang Jakarta sejatinya bukan dunia orang mati tetapi dunia orang hidup. Karena itu sosiologi berlaku di sana.

Sosiologi pekuburan bicara tentang orang-orang yang berinteraksi atau berkomunikasi  di permukaan tanah kuburan. Bukan tentang jasad-jasad yang sudah kembali menjadi tanah di bawah rerumputan hijau.

Selain pekerja makam dan peziarah, ada kelompok-kelompok sosial lain yang menjalankan aktivitas sosial-ekonomi di pekuburan. Yang langsung teramati adalah pedagang bunga, penjaja makanan, dan penjaja peralatan kebun. Selain itu ada kelompok anak-anak yang memanfaatkan pekuburan sebagai ruang bermain, dan kelompok kecil "joggers" yang memanfaatkan jalan-jalan pekuburan sebagai "jogging track".

Tapi yang hendak dibicarakan di sini adalah interaksi konflik antara dua kelompok sosial yang tidak pernah berkomunikasi, yaitu kelompok kecil peternak kambing dan kelompok peziarah. Karena tak pernah berkomunikasi secara sosial, maka konflik antara dua kelompok sosial ini teramati di permukaan sebagai konflik antara representasi kehadiran masing-masing, yaitu kambing versus bunga (kembang).

Sudah menjadi kelaziman bagi peziarah untuk membeli satu dua ikat kembang di tukang bunga untuk ditaruh dalam pot makam kerabatnya.  Itu sebagai penanda kehadiran, sekaligus pertanda keindahan kasih tak kunjung pudar. Anggaran untuk beli bunga itu bisa Rp 20,000 sampai Rp 50,000. Tergantung jenis dan jumlah kuntum atau ikatan bunga yang dibeli. Paling mahal mawar, tengahan sedap malam, dan paling murah seruni.

Tapi masalahnya kambing tidak punya konsep keindahan, apalagi kemampuan simbolisasi kasih dengan bahasa bunga. Kambing hanya tahu pakan dan non-pakan. Dan tidak banyak jenis tumbuhan yang aman di hadapan kambing. Sebab rentang jenis  tumbuhan yang bisa dijadikan pakan oleh kambing ternyata sungguh lebar.

Begitulah. Karena kambing-kambing di Kampung Kandang dilepas begitu saja di pekuburan oleh warga pemiliknya dari kampung sekitar, maka kambing-kambing itu bebas berkeliaran memakan apa saja yang menurut mereka bisa dimakan. Dan bunga dalam pot makam adalah makanan paling nikmat agaknya.

Kambing makan bunga makam, itulah konflik tak berujung antara pemilik kambing yang "tak hadir" dan peziarah yang "hadir". Maka peziarah tidak bisa menegur atau memarahi pemilik kambing.

Sungguh kesal mengalami kenyataan bunga yang baru 5 menit kita tinggal di kuburan sudah langsung musnah dilalap kambing. Saya pernah mengalaminya.  Tak ada yang bisa saya lakukan kecuali mengambil sebongkah batu dan melemparkannya ke kambing-kambing yang sedang "pesta makan bunga". Sia-sia saja. Beli bunga Rp 25,000 hanya untuk berakhir di usus kambing, sebelum kemudian dicecerkan sebagai "palitol-palitol organik".

Para perawat makam juga kesal, tapi akhirnya apatis saja. Sebab tak mungkin juga mereka terus-menerus bisa menjaga bunga dari serbuan kambing-kambing kampung itu. Lagi pula, mereka tak dibayar untuk mengawasi kelakuan kambing.

Kambing di Kampung Kandang itu sudah menjadi semacam "hama kuburan". Maka harus ada cara untuk mengatasinya. Tidak dengan pestisida, tapi dengan pengendalian secara biologis. Dari pengamatan, ternyata kambing-kambing itu sangat menyukai mawar dan seruni, tapi tidak suka sedap malam. Eurekaa...ketemu solusinya. Maka setiap kali ziarah, maka keluarga saya membeli bunga sedap malam untuk ditaruh dalam pot makam. Dan benar saja, selang satu minggu kemudian, sedap malam itu masih bertahan layu dalam pot.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun