Mohon tunggu...
Mohammad Iwan
Mohammad Iwan Mohon Tunggu... Buruh - Pelajar Seumur Hidup

Untuk tetap selo, menyeruput kopi pahit dua kali sehari adalah kunci

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perawan Kampung Sebelah

23 Januari 2017   01:41 Diperbarui: 23 Januari 2017   06:00 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto : palingseru.com"][/caption]"Ini konyol, tak seharusnya aku yang jadi korban. Terancam gagal menikahi Saodah, perawan dusun sebelah, hanya gara-gara paman jauhku kalah dalam pemilihan Kepala Desa beberapa bulan yang lalu. Dan kesumatnya masih tersimpan di benak warga kedua desa, hingga hari ini.
Seperti secuil bara di dekat setumpuk jerami kering. Kapan waktu, saat angin berembus, ia akan membakar semua yang ada.
Masa aku harus mengulang kisah Romeo yang urung mempersunting Juliet karena perseteruan dua keluarga. Ah, benar-benar konyol."

Gerutu Nadir panjang lebar, sambil tangannya tak henti-henti melemparkan batu kerikil ke tengah hamparan sawah--yang tanaman padinya sudah mulai tinggi--di depannya.

Sampai entah pada lemparan ke berapa, ketika terdengar teriakan seseorang nun di sana, "wooi, kampreet, siapa yang nimpuk gue nih!"

Nadir sadar, lemparan batu kerikilnya mendarat di tempat yang salah. Tanpa pikir panjang. Tanpa menunggu sampai seseorang yang baru saja terdengar teriakannya itu menyadari, ada seorang pemuda nyaris patah hati yang sedang duduk di sebuah bukit kecil di pinggir pesawahan sambil melempar-lempar batu kerikil. Nadir merosot cepat dari puncak bukit kecil itu, berlari tanpa menoleh, meninggalkan lokasi.

Sekira sepenyalaan rokok, Nadir sudah berada tepat di depan sebuah rumah yang tampak lebih tua dari usianya. Berdinding batako pada bagian bawah sebatas pinggang, disambung dengan bilik di bagian atasnya sampai batas balok yang menyanggah bambu tempat genting tersusun sebagai atapnya.

Nadir menghempaskan tubuh kerempengnya di atas sebuah balai bambu yang tampak licin digerus tubuh dan waktu.

Pikirannya kembali melayang-layang, mencoba melukis sebentuk wajah bulat telur, beralis tebal yang nyaris tersambung kedua ujungnya, dengan sepasang pipi kenyal kemerahan yang menampakkan ceruk kecil setiap kali wajah itu tersenyum.

Tanpa sadar Nadir bergumam, tapi sayang suaranya terlalu keras untuk sebuah gumam, lebih tepat jika disebut rintihan.

"Saodah, sabar ya sayang, abang akan melamar Saodah, kalau perlu kita kawin la..."

"Byuur." Belum selesai kalimat Nadir, tiba-tiba wajahnya basah disiram setengah cangkir sisa teh, babenya berdiri melotot di depannya. "Mandi sonoh! Tengah hari bolong masih ngigau aja!"

"Yaah, si Babeh, kagak boleh lihat anak senang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun