Mohon tunggu...
Mohammad Iwan
Mohammad Iwan Mohon Tunggu... Buruh - Pelajar Seumur Hidup

Untuk tetap selo, menyeruput kopi pahit dua kali sehari adalah kunci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagogog, Sebuah Cerita dari Atas Bukit

29 Maret 2017   22:46 Diperbarui: 7 September 2019   17:13 1120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis di Bukit Bagogog / Foto : Dok. Pribadi


Selasa pagi, tanggal merah terakhir di bulan maret. Saya, Nino (putra kedua saya) dan beberapa laki-laki dewasa berjalan menjelajahi bukit kapur. Bukit yang masih hijau sebagiannya, belum terjamah pahat dan backhoe (sejenis excavator atau alat penggali) itu masih menawarkan kesejukan.

Di bukit yang masih hijau itu ada sebuah perkampungan, Kampung Bagogog namanya, yang dihuni oleh penduduk asli Kelapa Nunggal (salah satu kecamatan di Bogor). Jarak dari rumah ke rumah masih longgar. Beberapa bahkan dipisah oleh tanah lapang atau pohon-pohon besar beralas rumput hijau liar.

Saat yang lain asik membasuh muka dan kaki dengan aliran air dari mata air yang ditampung di beberapa kolam sebesar kamar perumahan sederhana dengan kedalaman sepinggang orang dewasa, saya sempatkan menyapa seorang ibu yang sedang duduk di balai bambu di depan rumahnya yang berdinding anyaman bambu.

"Permisi bu, kalau ke sana itu ada jalan ya?" tanya saya seraya menunjuk ke arah sebuah daerah serupa hutan teduh yang dinaungi pohon-pohon besar. Ada seorang ibu dan anak laki-laki yang tengah melewati daerah itu.

"Ada dek, itu jalan ke kampung Bagogog juga!"

"Oh, saya kira ada jalan memotong ke kahuripan, ibu asli sini?"

"Iya dek, ibu asli sini tapi gak punya apa-apa."

"Maksudnya bu?"

"Iya, rumah ini, tanah ini, bukan punya ibu, ibu cuma numpang, pemiliknya orang Jakarta. Bahkan sebagian besar tanah di bukit ini, katanya sudah dibeli beberapa orang dari Jakarta."

Ada keperihan di setiap kata yang ia ucapkan, saya bisa merasakannya. Semua yang pernah terpinggir dari tanah kelahirannya bisa merasakannya. Wajahnya terlihat masygul, sorot matanya menerawang menyulam waktu dan peristiwa yang entah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun