Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Ode untuk Ibu

23 Juni 2017   22:10 Diperbarui: 23 Juni 2017   22:13 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lebaran itu.....

Ibu, aku masih ingat tempat kau dulu duduk di teras dengan benang rajutan di tanganmu.  Berkali kali kau harus membetulkan letak kacamatamu yang hampir terjatuh.  Terus bertempur memasukkan benang pada lubang jarum tanpa mau dibantu.

Beginilah sebuah perjuangan nak, selama kau masih yakin maka berusahalah sampai kau merasa sudah waktunya dibantu.  Ingat nak, itu bukan namanya menyerah.  Dan itu juga bukan namanya kalah.

Ketika kau berhasil memasukkan benang itu, matamu berbinar seperti kejora.  Kau lanjutkan dengan menjahit satu demi satu kancing bajuku yang terlepas.  Dengan tekun dan penuh kasih.  Seolah itu adalah mustika bertuah yang harus kau jaga selalu.

Aku memandang keriput di wajahmu.  Garis garis itu aku ingat seperti bianglala tak berwarna.  Sungguh indah tak terbantahkan.  Kau melihatku sejenak sambil tersenyum.  Senyum itu sehangat khatulistiwa.  Ah Ibu, bagaimana aku bisa melupakan senyummu itu.

Kau berdiri dan pergi ke dapur.  Entah membuat apa di tungkumu.  Yang pasti setelah itu aku tahu.  Kau akan menawarkan sesuatu kepadaku.

Ibu membuatkan sayur kesukaanmu.  Pedas bersantan.  Ibu selalu membuat ini meski ada saatnya kamu lebaran tidak pulang nak.  Ibu merasakan kasih yang mengikat dari sayur panas yang kau makan hingga matamu terpejam kepedasan.  Ibu teringat saat kamu kecil dan merengek meminta baju lebaran.  Wajahmu persis sama dengan itu.

Aku tidak pernah menolaknya Ibu.  Aku pasti akan mengambil sepiring nasi dan sayur itu.  memakannya di sampingmu yang hanya asyik memandangku.  Lalu menyodorkan segelas air dari gelas seng terkelupas.  Setelah melihatku berkutat dengan keringat yang membanjiri wajah dan leherku.  Kau ambil ujung kebayamu.  Menghapus keringatku sambil berkata lirih.

Nak, keringat selanjutnya setelah kamu kembali ke Jakarta kelak, bukanlah keringat karena kamu kekenyangan.  Tapi keringat yang kamu sumbangkan untuk lelah bagi orang orang yang membutuhkanmu.  Bukan hanya keluargamu, namun juga sesamamu.

Aku terpana saat itu Ibu.  Itu adalah pesan dari malaikat.  Aku mencatatnya baik baik dalam hatiku.

---------

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun