Pada saat jaga di klinik pertama, sekitar pukul 20.00 WIB saya di datangi pasien dengan penurunan kesadaran. Pasien datang dengan di gotong oleh istri dan anaknya. Pasien tampak lemah dan mengeluh seperti kesakitan. Saya pun langsung menyuruh agar pasien dibaring kan di kursi ruang tunggu. Saya bertanya ke istri pasien, bapaknya kenapa? Bapak tadi jatuh dok, kepalanya berdarah. Mendengar cerita itu sontak saya langsung memeriksa kepala pasien.
Saya periksa memang terdapat luka lecet di bagian tepi kepala, dan disertai darah, ukuran kurang lebih 1x1 cm. Lalu saya dan perawat jaga membantu pasien untuk digotong ke dalam ruang praktek untuk di bersihkan luka.
Pasien dari awal datang terus mengeluh, tidak tampak tenang. Sampai pada saat saya selesai bersihkan luka pun pasien masih sering merasa kesakitan. Lalu ketika darah bersih,terpikirkan oleh saya apa sebenarnya yang di keluhkan sakit oleh pasien ini, kenapa tidak tampak tenang? luka hanya luka lecet dikit padahal. Saya lakukan pemeriksaan tanda vital, seperti tekanan darah, nadi, pernapasan dan suhu. Semua dalam batas normal. Dan saya bilang kepada perawat ketika itu “Mas kayaknya pasien ini cuma pura-pura, ud sering saya dapat pasien begini di IGD”. Ya benar, mendengar saya berbicara itu, pasien ini spontan langsung menggenggam tangan saya dan mengakui kalau dirinya berpura-pura. Pasien berbicara seperti berbisik dengan saya karena tidak mau didengar oleh istrinya yang menunggu di luar.
Pasien mengakui bahwa dirinya sedang bermasalah dengan istrinya. Dan dirinya butuh diperhatikan oleh istrinya. Ternyata luka tersebut didapat karena pasien memukul kepalanya dengan batu bata yang kecil. Sesampai dirumah barulah pasien memulai sandiwaranya.
Sebelumnya pasien meminta saya untuk merahasiakan hal ini, dan meminta untuk tetap bilang bahwa dirinya sedang sakit gawat. Mendengar ucapan tersebut saya langsung secara tegas bahwa seorang dokter tidak dapat berbohong mengenai penyakit yang ada pada pasien, saya memiliki kode etik dan sumpah yang di pegang. Lalu saya jelaskan ke pasien untuk masalah keluarga mungkin saya tidak layak untuk ikut campur. Tapi saya akan bilang ke istrinya bahwa dirinya perlu diperhatikan untuk kesehatannya.
Pada akhirnya saya pun bercerita mengenai kondisi pasien kepada istrinya tanpa membongkar sakit sandiwaranya tersebut. Saya jelaskan bahwa pasien harus diperhatikan, di awasi obat, dan dijaga makanannya. Nasehat-nasehat ini saya berikan hanya semata-mata bentuk perhatian istri kepada suami secara umum, agar terbina lagi harmonisasi di keluarga. Mendengar nasehat, istri pasien tampak begitu meng”iya”kan apa yang saya bilang. Dan selanjutnya saya suruh istri pasien untuk mengambil obat di depan. Di saat itu saya kembali nasihatin ke pasien agar tidak mengulangi perbuatan sandiwara ini, dan masing-masing termasuk pasien untuk mengintrospeksi diri dimana yang salah dari sifatnya.
Pasien pulang dengan tanpa keluhan sedikitpun, rasa sakit-sakit, teriak-teriak yang hanya sandiwara pun tidak tampak. Dan semoga keharmonisan keluarganya pun juga membaik, meskipun apa yang dilakukan pasien tidak benar.