Banyak sudah tulisan yang membahas tentang media sosial dan fenomenanya, bahkan ramai studi-studi ilmiah dari sudut pandang psikologi, antropologi dan sosiologi. Meski begitu tidak membuat masalah dan kepelikan di dalam kenyataannya berkurang. Sebaliknya malah lebih rumit dan dalam. Ini adalah cuplikan-cuplikan narasi orang-orang di sekitar saya, tentang media sosial.Â
Finie, si ibu rumah tangga itu posting foto martabak manis buatannya, dengan caption: "Makanan sehat adalah makanan yang dimasak di dapurmu sendiri. Inilah camilan untuk keluarga tercinta."
Si Bella, seorang istri dan juga pekerja bank yang baru pulang tetiba baper. Pasalnya, pernah suatu hari Bella ngobrol sama Finie dan cerita kalau ia sering tidak sempat masak di rumah karena pekerjaannya, akhirnya banyak beli di luar. Sekilas ingatan itupun layaknya api menyambar-nyambar saraf di otak Bella, yang membuat jantungnya berdegup-degup. "Ah ini tentang aku." Tiba-tiba bisikan entah dari mana itu terdengar dengan jelas di alam bawah sadarnya.Â
Ia pun buru-buru ke dapur, ditengok kulkasnya ada keju dan daging cincang. "Resep masak... keju... daging... cincang... mudah cepat" diketik dengan cepat di mesin pencari di hapenya. "Aha!" Setelah satu dua saat, jadilah macaroni schotel pertamanya. Piring mewah diculiknya dari lemari dan ditatanya macaroni itu. Setelah foto berbagai angle, dipilih yang paling bagus, dan diedit biar yang bagian gosong tidak terekspos, diuploadlah ke  media sosialnya dengan caption: "Capek kerja tapi tetep masak cantik dong buat kesayangan."Â
Di waktu yang sama, Benny: "Aku heran, ngapain sih orang koar-koar di Pesbuk? Buat apa gitu lho. Aku ngga ngerti sampai sekarang kenapa orang harus update status, sharing foto..." ujar Benny, sambil menyeruput kopinya di Setarbak. Di depannya, Sesil, sibuk mengabadikan momen saat susu cair dia tuangkan ke dalam kopinya, yang kemudian diupload ke Instagram story-nya dengan tulisan: "di Setarbak, with my boo."Â
Mungkin bener juga kata Benny. Kenapa kita harus umbar sebagian kecil hingga banyak hal yang sebenarnya pribadi, contoh apa yang kita makan, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita lakukan, kalau ngga tujuannya buat "showing (off)".
Media sosial apapun bentuknya memang tidak dimaknai SAMA oleh setiap orang. Ada yang buat jualan, buat iseng, buat dicek sebulan sekali, setahun sekali, buat lihat berita, mekipun yang paling banyak ialah untuk eksis dan PAMER. Yang ditampilkan pastinya yang bagus-bagus, yang sempurrnaa, walau apapun aslinya. Akhirnya kebiasaan ini diikuti yang lain, di-like segambreng, dan yang ngga seperti itu sepi likers... dan begitu seterusnya kalau ngga pakai editan, ngga pake penataan dsb kelihatan kurang instagrammable, ndeso.
Banyak juga yang menganggap media sosial adalah cara kita untuk tetap saling menyambung silaturahmi meskipun terpisah jarak. Tapi apakah kita yakin kalau sudah di medsos lebih akrab, atau malah lebih renggang? Ataukah malah kita jadi mendangkalkan arti pertemanan? Asalkan udah konek di medsos, udah teman.Â
Asalkan udah like dan sering komen fotonya, artinya BFF (best friend forever). Kenyataannya, Finnie dan Bella sampai sekarang masih perang dingin. BAPER, GALAU dan NYINYIR jadi rasa-rasa yang jamak dirasakan oleh pengguna medsos. Akhirnya banyak pertemanan lama harus putus di tengah ramainya sosial media karena ke-pamer-an ini.Â
Tapi dua hari kemudian dia mengubah foto profilnya menjadi kura-kura unyu, yang sebelumnya gambar pegunungan. Alo tidak mau terlalu membuka privasinya di Pesbuk, tapi tidak mendapat atensi pun membuat ia merasa ia sendiri. Ia akhirnya depresi berat dan harus rutin pergi ke psikolog.