Mohon tunggu...
Mutiara Me
Mutiara Me Mohon Tunggu... Mahasiswa - saya

Belajar nulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mau Pintar Tidak Harus ke Harvard

21 Maret 2017   11:11 Diperbarui: 22 Maret 2017   01:00 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mau pintar harus ke Harvard? Tentu saja jawabannya TIDAK. Tapi tergantung apa definisi dan komponen 'pintar' buat kita. Apakah pintar berarti menjadi tau segalanya? Apakah pintar itu berarti bisa Bahasa Inggris? Apakah pintar itu berarti bisa mencarikan solusi untuk berbagai persoalan? Apakah pintar berarti bisa berguna bagi banyak orang? berpemikiran modern? Ataukah pintar itu berarti kebarat-baratan? Ataukah pokoknya pintar itu Harvard, dan Harvard itu pintar? Banyak kan pilihannya.

Menurut saya, seseorang menjadi pintar itu tidak bergantung pada institusi dimana dia berada, namun pada KEMAUAN dan SEMANGAT orangnya sendiri. Artinya, seseorang di suatu kampus kecil bisa saja pintar, cerdas, berwawasan tinggi, asal secara pribadi mereka mau mencari informasi, haus akan ilmu dan kesempatan. Intinya, belajar. Di era internet dan keterbukaan informasi seperti ini, siapa saja bisa tahu apa saja. Mereka bisa juga mengikuti kuliah online gratis dari kampus-kampus terkemuka, 'diajar' langsung dari profesor-profesor di kampus tersebut. Pengetahuan yang dulu hanya disimpan dalam kelas-kelas perkuliahan eksklusif, sekarang digeber aksesnya buat semua. Pengetahuan sekarang digantungkan di awan (cloud). Iya semua boleh belajar, di mana saja, kapan saja dan gratis. 

Saya sendiri tidak mau membatasi diri dari apa yang sedang saya kerjakan, dimana saya belajar dan tinggal. Contohnya, saya baru saja menuntaskan mata kuliah Sosiologi Klasik selama 7 minggu, mendapat lecture yang sangat menginspirasi dan jauh dari kata membosankan langsung dari profesor di Amsterdam University, di kamar saya. Gratis. Saya juga sedang mengikuti perkuliahan tentang Family Engagement in Education dari profesor di Harvard University. Lagi-lagi gratis, dan mengikuti kuliahnya sambil makan ayam bakar di kantin. Dan banyak lagi pilihan-pilihan mata kuliahnya. Kalau mau sertifikatnya bisa juga, tapi bayar. Kalau hanya ingin memperkaya wawasan keilmuan, tanpa sertifikat, ya gratis. Kita pun bisa berdiskusi dalam forumnya dan bertanya langsung dengan dosen atau tim dosennya jika ada yang kurang jelas. Kurang apa coba? Mungkin yang banyak terjadi adalah kurang semangat atau kurang waktu, alasannya. Semua tetap kembali ke diri pribadi... 

Tentu saja untuk berkembang dan menjadi ahli, bukan hanya melulu dari bangku akademik atau ruang kelas. Banyak penari profesional, ahli pahat, pebisnis sukses dan lainnya bukan lulusan bangku sekolah tinggi. Kesimpulannya pendidikan formal bukan segala-galanya, banget. Karena belajar itu bisa dari siapa saja dan di mana saja. Saya pun mengalaminya, bukan jadi ahli, tapi mulai menyukai isu-isu sosial dan khususnya isu imigrasi bukan dari pendidikan formal, melainkan dari pengalaman traveling, bertemu dengan berbagai orang dari bermacam negara dan budaya. Saya juga mendapatkan banyak ide dari karya seni yang sering tidak sengaja saya lihat atau temukan. Intinya keinginan tau dan keinginan maju tetap dari kita sendiri, bukan dari mana kita lulus, apakah itu Harvard atau bukan.  

Tapi kan pasti beda kuliah langsung di Harvard dan di internet...

Yah beda pasti, wong kalau kuliah di Harvard, bayarnya mahal, ke Amerikanya mahal, hidup di sana mahal...Kalau mampu atau dapat beasiswa ya bagus. Tapi yang ngga mampu dan ngga bisa dapet beasiswa (misalkan karena usia dan lain sebagainya), masa iya mau menyerah begitu saja? Saya rasa kita selalu bisa mengubah keadaan yang tidak berpihak, dari titik terendah menjadi sebuah lompatan yang tinggi, asal kita mau berusaha menciptakan kesempatannya. Kalau kita memilih menyerah pada keadaan, dengan berbagai alasan, itu paling gampang. Ya, seperti membangun sendiri tembok besar di depan kita dan menuliskan besar-besar kata: DEAD END. 

Itulah kenapa kita harus menggantung mimpi tinggi-tinggi? Karena jarak antara mimpi dan kenyataan lah yang membuat kita terus berusaha bergerak, meloncat dan meraih. Kalau mimpinya ngga digantung ya kita ngga kemana-mana, kalau digantung pendek, sedikit saja udah nyampe. Kalau digantung tinggi, nah di situ kita jadi terdorong untuk bergerak dan meloncat. Tapi entar ketinggian? Yah kita tahu kok tinggi yang logis itu seperti apa. Masa iya kita mau bermimpi jadi anaknya Trump. Eh itu masih mungkin ya... :P

Kembali ke definisi pintar, saya lebih setuju pintar itu bisa memberikan kontribusi riil dan positif di masyarakat, memberikan solusi kritis atas permasalahan yang terjadi dan memihak pada kepentingan bersama (bukan suatu pihak, golongan ataupun negara lain). Mereka yang sudah berkuliah di luar negeri diharapkan bisa seperti itu, dan bukannya berpola-pikir sama dengan negara tempatnya belajar, yang kadang sering kurang cocok untuk diaplikasikan di negara ini. Jangan juga jadi mendewakan negara tersebut dan menjelekkan negara sendiri. Itu yang disayangkan walaupun ilmunya tinggi. Dan mereka yang tidak atau belum mendapatkan kesempatan kuliah di luar negeri ataupun di Harvard, jangan berkecil hati, karena ini semua tentang diri kita sendiri. Sesemangat apa kita ingin maju, karena di mana saja kita bisa, asal MAU. 

Nagoya, 21 Maret 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun