Alhasil, Bimbingan Belajar (BimBel) laris manis di Indonesia. Tujuannya entah agar tidak ketinggalan materi atau sekedar ingin terlihat pandai di dalam kelas. Lucu tapi memang seperti itu.
Pendidikan Indonesia berjalan dengan kompetisi. Murid-murid 'dipaksa' memahami materi yang terlalu tinggi sejak kecil. Akibatnya, keberadaan guru di dalam kelas bukan lagi untuk mendidik dan mengajarkan cara belajar yang benar.
Guru-guru juga sibuk mengejar poin dan rapat tidak menentu. Guru piket ibarat pemain cadangan yang harus siap mengganti kapan saja dengan alasan pemain inti menghadiri rapat atau ikut seminar.
Rasio guru dan murid per kelas membuat konsentrasi murid menyebar. Guru kewalahan jika harus fokus pada setiap murid. Akhirnya, pola mencatat pelajaran terus dipertahankan dalam kelas.Â
Seminar-seminar tidak membuktikan adanya korelasi antara ilmu yang didapat dan pola mengajar guru. Hanya sebagian guru saja yang terdorong memperbaiki kualitas transfer ilmu dalam kelas.
Sekolah unggul memang sejatinya menggelar predikat tersebut karena guru-guru berkualitas. Lain halnya dengan sekolah tanpa lebel unggul, kualitas guru dan fasilitas sekolah tidak cukup untuk mencetak otak berkualitas.
Ruang-ruang belajar di kebanyakan sekolah Indonesia belum mampu menghadirkan lingkungan belajar yang ideal. Guru pada dasarnya masih berkutat pada hal yang sama walau dengan nama kurikulum berbeda.
Merdeka belajar belum memerdekakan pikiran murid untuk bisa menggunakan akal dan pikiran tanpa paksaan. Murid-murid masih terbelenggu dengan ragam materi belajar yang tidak begitu penting dipelajari.Â
Azas kompetisi masih terlihat jelas antar murid, kelas, sekolah. Angka-angka mungkin tidak lagi dipakai untuk perangkingan individu, tapi sertifikat lomba ini dan itu mengajarkan arti bersaing.
Ya, pendidikan Indonesia masih berjalan di rel yang sama dengan lokomotif berbeda. Kurikulum dari dulu sampai sekarang berganti untuk memperlihatkan perubahan yang sama.Â
Kecuali satu, seminar semakin sering diadakan dan fungsi sertifikat untuk naik pangkat. Begitulah paradoks pendidikan Indonesia. Murid datang ke sekolah bukan untuk belajar makna hakiki menuntut ilmu, melainkan belajar untuk menumpuk informasi ke dalam otak.