Mohon tunggu...
masrierie
masrierie Mohon Tunggu... Freelancer - sekedar berbagi cerita

menulis dalam ruang dan waktu, - IG@sriita1997 - https://berbagigagasan.blogspot.com, - YouTube @massrieNostalgiaDanLainnya (mas srie)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tempo Dulu di Bandung (5), Kenangan Jalan dan Babakan Siliwangi, Gandok

27 Mei 2015   17:25 Diperbarui: 14 Mei 2019   12:17 1909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Acara Kompas TV di Sabuga, 23 Mei 2015. Pagi itu  sengaja saya minta angkot untuk berhenti di jalan Siliwangi, bukan jalan Tamansari. Sebelum hadir di Sabuga, sengaja saya memotret Sepanjang Jalan Kenangan.

Kenangan itu saya upload juga di Youtube

Jalan Siliwangi pada masa silam termasuk jalan senyap. Apalagi kalau malam datang, dari arah jembatan, lembah kali Cikapundung, terdengar suara serangga hutan.  Dari kutupret.wordpress.com  , ada foto  kawasan ini, ketika masih berbentuk sawah. Pada masa kolonial Belanda.

14327460361879575700
14327460361879575700

Pada masa kecil, saya pernah tinggal di perkampungan Gandok, sebelum pindah rumah  di dekat Gedung Sate Bandung. Terus terang,  kalau mengingat masa kecil di tempat ini,  bahagia sekali rasanya.

Perkampungan Gandok letaknya memang di jalan Ciumbuleuit  selatan. Alias belakang  Pasar Gandok. Sekarang perkampungannya sudah tidak ada, berubah menjadi Gallery Ciumbuleuit Apartment. Belum lama ini malahan saya  lihat berdiri pula  Harris Hotel.

Gandok, lokasinya di tikungan Ciumbuleuit , dan jalan Siliwangi. Perkampungan ini sekarang sudah tidak ada, menjadi Gallery Ciumbuleuit Apartemen dan Harris Hotel. Foto Koleksi Pribadi Masrierie
Gandok, lokasinya di tikungan Ciumbuleuit , dan jalan Siliwangi. Perkampungan ini sekarang sudah tidak ada, menjadi Gallery Ciumbuleuit Apartemen dan Harris Hotel. Foto Koleksi Pribadi Masrierie

 

Gandok, Kampung Kota Masa Silan

Di masa kecil , orang tua saya masih mengontrak rumah, kami sempat berpindah dari Dago ke Gandok (Ciumbuleuit Selatan) ini.  Ada sebuah perkampungan , yang lokasinya terletak di bawah jalan. Tak jauh dari  Pasar Gandok , untuk mencapai rumah kontrakan tersebut, kami harus menuruni tangga batu . Sebuah tempat yang penuh kenangan, rumah semi permanen, dengan dinding tembok bercampur bilik anyaman bambu bercat putih. .

Tinggal di sini kami menggunakan air sumur yang bening dan bersih.  Pembantu ibu saya , bernama Itok, adalah warga asli Ciumbuleuit , Kampung Cisatu , yang terletak di utara. Sangat mengasyikkan saat orang dewasa sibuk  menimba air dari sumur,  dengan ember terbuat dari kaleng. Ember tersebut diulurkan ke bawah dan ditarik ke atas dengan katrol  dan tali dari ban bekas warna hitam. Airnya jernih dan sejuk. Dengan air itulah kami minum, mandi, mencuci dan masak. 

Tahun 1960an, ember plastik tergolong barang mewah. Baskom dan ember kebanyakan dari kaleng dan enamel. Sesekali saya penasaran ,  mengintip ke dalam sumur, hiiiii, gelap menyeramkan. Itok dengan sabar mengangkuti air dari bak di samping sumur ke kamar mandi. 

Tak jauh dari sumur, ada pagar tanaman . Daung cingcau dan mawar merah. Kegembiraan kami saat pagar ditumbuhi bunga-bungamerah yang wanginya sampai ke jendela kamar. 

Sering kami  membuat cingcau sendiri saat itu. Daun yang banyak di belakang rumah ditumbuk dan diperas airnya. Tentu saja dengan air matang. Kalau sudah mengeras, cingcau hijaunya di potong kotak.... Diminum dengan air gula merah dan santan kelapa. Mmmm , segar , manis dan menyehatkan. 

Tak terlupakan juga , kala kami  duduk di pekarangan tetangga. Menunggu mereka memetik alpukat dari pohon  yang cukup tua.  Kalau sudah begitu, ibu akan membayar  alpukatnya, dan saat kumpul keluarga, bareng kami menyantap alpukat dengan gula aren yang telah diolah jadi kinca. Gula aren direbus bersama daun pandan. 

Hawa  sejuk Kota Bandung, membuat alpukat berasa segar tanpa harus pakai batu es. Tentang es, pada masa itu termasuk barang mewah . Pemilik kulkas dan televisi hanya kalangan tertentu saja. Perkampungan  Gandok  selalu ceria dengan denyut kehidupan. 

Saat pagi atau senjakala, ibu-ibu  penjaja makanan  menggunakan bakul dan  selendang batik  gendongan berkeliling menyapa. Jajanan yang sering lalu lalang dijajakan, adalah kacang tanah rebus  , dibungkus dalam kertas bekas berbentuk kerucut. Ada juga kacang merah digoreng garing. Kalau comro memang dari dulu sampai sekarang masih populer. Sekarang ini jajanan  kacang tanah rebus dan kacang merah goreng garing  sudah langka.

Favorit kakak saya gulali, mirip permen hanya terbuat dari gula merah. Dilekatkan pada ujung bambu, makannya seperti makan permen loly saja. Jualannya dengan cara dipikul.     

Permen ayam-ayaman di tukang gulali juga dijual. Warnanya merah menyala.  Tapi pewarna makanan pada masa itu  asli untuk dimakan. Tidak seperti sekarang, banyak pewarna  tekstil dikemas seolah pewarna makanan.

Suasana perkampungan masa itu  indaaah. Warganya sangat ramah dan kekeluargaan. Setiap pagi terdengar kokok ayam jantan. Pada siang hari  ayam kampung betina berkotek riuh. Ternyata ada telur di dekatnya.

Asal tahu saja, telur ayam pada waktu itu merupakan santapan mewah dan mahal. Jadi kalau makan pakai telur , sudah luar biasa spesialnya. Satu butir telur dikocok-kocok, tambahkan tepung terigu. Goreng, dipotong kecil-kecil bagi rata.

Waktu itu ada tetangga kami yang disunat. Pestanya sampai  3 harian. Pakai ada acara pengantin sunat yang diarak-arak. Naik kuda yang didandani , baju yang dikenakannya baju tarian warna warni  menyala.  Iramanya mirip yang pernah dipentaskan di Rancasari Bandung.

Saya diajak orang tua menonton  acara suatu malam. Ternyata kuda lumping. Saya sangat ketakutan, ketika melihat orang yang makan beling mengamuk.

Jika musim panen padi, kampung ini dipenuhi dengan gabah padi yang dijemur sehabis dipanen. Maka  ramailah kaum wanita, kebanyakan ibu-ibu berkebaya dan bersanggul, menumbuki biji gabah. Tujuannya menggiling (dulu mesin penggiling langka)  agar terkupas dari kulitmya. Terdengar iramanya  seru sekali. Lesung kayu panjang berjajar di setiap sudut kampung.

Kalau malam sudah datang hanya suara jangkrik saja terdengar. Belum semua rumah memiliki listrik. Di lembah belakang, kalau malam penduduknya menyalakan lampu cempor. Bahkan memasakpun menggunakan tungku kayu bakar.

Di perkampungan ini  saya  sering bermain dengan anak tetangga.  Mereka suka bermain anjang-anjangan. Memetiki dedaunan,  mendandani boneka,  dan main masak-masakan. Pagar belakang rumah berupa  barisan daun cingcau dan mawar merah tua yang kalau berbunga aduhai semaraknya.

Sering pula  bersama teman bermain ke sawah di belakang rumah. Ada umpak-umpak sawah menuju sungai Cikapundung yang masih sangat bersih. Kalaupun kecoklatan bukan karena kotor, ada sedikit lumpur. Tapi cenderung bening.

Terkadang ayah mengajak kami menyusuri sawah, menyeberangi jembatan. Akhirnya menuju Babakan Silihwangi. Tujuannya,  memotong jalan ke Reaktor Nuklir . Beberapa kali saya diajak ayah ke sana. Pada akhirnya kelak ayah saya tertarik di bidang nuklir.

Lain ketika kami berjalan ke perkampungan di samping Lembah Babakan Silihwangi , berkunjung ke rumah sahabat ibu saya, Erna Musa Syarif. Belakangan  tante Erna, begitu saya memanggilnya, pindah ke Jakarta.

Gemericik sungai Cikapundung dan sawah hijau, kini sudah berubah total.

OPLET, JALAN KAKI KE SEKOLAH, JALAN SILIHWANGI

Kalau sudah malam daerah Ciumbuleuit yang masih tergolong ‘pinggiran’ ini mulai sepi. Kendaraan umum yang lewat di Gandok, adalah oplet. Itupun agak jarang.

Sayangnya untuk jalan Silihwangi belum ada kendaraan umum. Pada saat itu kalau kita ingin bepergian, bukan menyewa taksi. Kalau tidak punya motor, atau sepeda, bisa menyewa delman.

Tapi jalan Silihwangi tergolong curam. Setiap pagi saya harus berjalan kaki untuk sekolah di TK Prof Moestopo yang terletak di jalan Dago. Mungkin karena usia masih 5 4 atau 5 tahun, jalan kaki sejauh itu terasa melelahkan. Saya suka mengadat malas sekolah, kalau pembantu mengajak saya berangkat.

Perjalanan serasa panjang, membuat saya sering beristirahat di sisi jalan Silihwangi. Sambil menatap indahnya sawah dan kerbau yang sedang meluku. Tahun 1980an, di sini terdapat RUMAH MAKAN SUNDA BABAKAN SILIHWANGI milik Pemda setempat.  Sempat juga di sini ada sanggar lukis Ligar Sari. Itu  masa silam.

Kini sawahnya sudah tidak ada. Berdiri di sini Gedung Sasana Budaya Ganesha . Dengan fasilitas olahraga yang bersebelahan.

Mungkin generasi sekarang tak pernah tahu, dulu di sini membentang lembah indah hijau dengan  mata air, gemericik sungai mengalir, sawah yang hijau dan  pesona alam  sejuk .

Jalan Silihwangi 1970an

Jembatannya belum dilebarkan. Dulu jembatan di jalan ini sempit. Kehijauan yang indah di lembahnya dulu masih ada.

Jalan Silihwangi 2003an.

Pernah ada demo dan protes ketika  ada wacana Lembah Babakan Silihwangi ini di buat kondominium.  Waktu itu saya masih menyimpan  jepretan gambarnya.

Jalan Siliwangi  masih tidak macet seperti sekarang. Ini  adalah jalan favorit kami kalau akan menuju Ciumbuleuit.

Jalan Siliwangi 2015

Sambil datang ke Kompas Kampus, Kompas TV, 23 Mei 2015.  Saya memotret jalan ini dan membandingkannya dengan masa silam.

 

Jalan Siliwangi Mei 2018
Jalan Siliwangi Mei 2018
Baca juga TULISAN BANDUNG TEMPO DULU dengan foto-foto  kenangannya  yang lain:

 Tentang Asrama Putri ITB Gelapnyawang  Bandung di  SINI 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun