Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggali Spirit Kebhinekaan di Dusun Lamuk

18 Januari 2020   14:14 Diperbarui: 18 Januari 2020   14:14 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari sudah menjelang tengah hari. Tapi kami terus membetulkan letak jaket agar terpasang presisi dengan badan. Agar tak ada lagi hawa dingin yang masuk.

Lamuk, atau orang tempat kami menyebutnya dengan ngLamuk - dengan menambahkan huruf "n" dan "g" untuk kata ini, adalah sebuah desa di lereng gunung Sukorini di kabupaten Temanggung.

Terlihat di perangkat seluler, lokasi ini berada di ketinggian 800-1600 MDPL. Dengan hawa berkisar 10-18,C lokasi ini lumayan dingin bagi kami yang terbiasa di Semarang dengan suhu 20-35 C. 

Saya pegang tangan istri, dingin menyebar dari telapak tangan. Kami bergandengan tangan menyusuri jalan dusun Lamuk yang cukup nyaman. 

Jalan ini merupakan jalan tembus dari Sumowono ke Temanggung atau ke Dieng. Jadi wajar jika jalan ini nampak agak ramai dilalui oleh kendaraan roda 4 dari kedua kabupaten. 


Di Vihara Vajra Bumi Satya Dharma Wirya yang ada di kampung ini kami disambut oleh penduduk lokal. Dan menunjukkan  rumah seorang tetua kampung bila ingin mencari informasi tentang desa ini.

Rumah mungil dan bersih, rumah di ketinggian itu menciptakan pemandangan alam yang mempesona. Deretan rumah penduduk yang hanya 210 KK itu terlihat rapi dengan barisan jalan-jalan kecil yang membelah antar rumah. Sawah dan tegalan penduduk juga terpampang indah dari halaman depan rumah ini. Saya berguman, damai benar bila bisa tinggal di daerah ini.

Pemandangan dari depan rumah/dokpri
Pemandangan dari depan rumah/dokpri
Daerah yang subur, dengan air dari sumber mata air yang mengalir sepanjang tahun baik musim hujan maupun kemarau sungguh membuat siapapun betah.

Pak Yamto, demikian tokoh masyarakat dusun Lamuk ini memperkenalkan diri.
Wajahnya bersih, lugu, dan terbaca dari cara beliau berbicara terasa sangat ilmiah. 

Pengalaman beliau sebagai tokoh Agama Budha di tempat ini terukir indah dari gaya bicaranya yang saya rekam.

"Warga di kampung ini satu RW pak", kata pak Yamto membuka pembicaraan.

Penduduk kampung Lamuk saat ini lebih kurang 210 Kepala Keluarga. Yang tinggal di wilayah 2 RW kelurahan Kemanggisan kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung. Dan bertani menjadi mata pencaharian utama bagi penduduk kampung ini.

"80% beragama Budha pak", terang pak Yamto lebih lanjut. 

Ada dua vihara yang ada di kampung ini. Satu yang berada di bawah naungan pak Yamto dan satu lagi di bawah, tapi sayang saya gagal menemui pengurus vihara yang berada di bawah.

"Sedang ke luar kota pak", terang salah seorang penduduk yang kami temui di jalan.

Di Lamuk juga ada satu gereja dan satu musholla, tentu dengan jemaat yang lebih kecil daripada jamaah Budha. 

Dusun Lamuk tercipta sebagai dusun kesenian yang ada di Kabupaten Temanggung. Berbagai macam kesenian dari wayang, ketoprak, reog, Soreng, ada di dusun ini.

Acara merti desa setiap tahun selalu meriah. Dihadiri oleh seluruh warga desa dengan makan bersama di makam sebagai wujud Rasya Syukur dan mengingat para leluhur. 

Sehabis acara makan bersama di makam bisanya dilanjut dengan pagelaran seni seperti reog atau wayang kulit. 

"Setiap tahun kami datang ke candi Borobudur untuk mengikuti peringatan Waisyak", kata pak Yamto.

Pak Yamto menyampaikan, mungkin warga dusunnya yang paling banyak datang saat Waisyak.

Peralatan peribadatan agama Budha/dokpri
Peralatan peribadatan agama Budha/dokpri

"Karena hampir semua berangkat pak,  kecuali yang beragama lain", lanjut pak Yamto penuh semangat.

Dusun Lamuk memang bisa jadi contoh adanya kehidupan toleransi yang sangat tinggi. Bisa dibuktikan pada  saat ada acara-acara peringatan agama Budha, semua orang datang di rumah tetua warga dengan makan bersama. Demikian juga saat lebaran dan natal. Semua dirayakan oleh seluruh warga dengan kebersamaan. 

Lilin yang terus dijaga Sepenjang waktu agar tetap menyala/dokpri
Lilin yang terus dijaga Sepenjang waktu agar tetap menyala/dokpri

Setelah berbincang sejenak dengan suguhan kopi panas dan makanan kecil, pak Yamto menawari kami untuk melihat Vihara yang yang tadi kami datangi. 

"Vihara ini dahulunya kecil pak", kata pak Yamto setelah kami sampai. 

Tapi dari swadaya penduduk dan sumbangan para dermawan, vihara ini diperlebar agar bisa memuat lebih banyak orang.

Didepan altar/dokpri
Didepan altar/dokpri

Kegiatan peribadatan agama Budha dipimpin pak Yamto dilaksanakan di tempat ini. Juga kegiatan anak-anak dan para remaja dengan dengan berkesenian seperti menabuh gamelan dan belajar tari dengan instruktur warga setempat.

Tak segan, Pak Yamto mempersilahkan saya mengambil gambar di ruangan vihara.

"Monggo pak", jawab pak Yamto saat saya meminta ijin apa boleh mengambil gambar dalam ruangan Vihara.

Altar dengan patung sang Budha dan puluhan perangkat untuk keperluan peribadatan  tertata rapi di meja kecil depan altar. Terlihat lilin besar menyala sebagai symbol agar kehidupan yang nyaman dan terus berkelanjutan terus berjalan.

Kami meninggalkan dusun Lamuk dengan rasa yang mendalam, tak mudah terlukis kata. Sekarung ketela rambat dinaikkan ke jok saat saya sudah di atas motor bersiap menstater. 

"Untuk oleh-oleh orang di rumah pak", kata pak Yamto ramah dan berharap suatu hari saya bisa datang lagi untuk tetap menyambung silaturahmi.

Dusun Lamuk  yang penuh kedamaian, memberi semangat yang yang tak pernah padam seperti nyala lilin di Vihara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun