Mohon tunggu...
Masdarudin Ahmad
Masdarudin Ahmad Mohon Tunggu... PNS -

"Merasa, Maka Menjadi"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bang Merin

27 April 2014   03:34 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:09 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jasad lelaki itu ditutupi kain lepas corak batik. Terbujur tidak bergerak. Mukanya dibiarkan terbuka. Mata dan mulutnya tertutup rapat. Ruangan yang dingin dan indah itu sudah tidak berarti lagi baginya. Sahabat dan keluarga datang melihat. Ada yang mengusap atau sekedar menyentuh wajah dan tubuh itu. Dingin...

"Ayah sudah pergi meninggalkan kita," bisikku ke anakku di gendongan. Aku mematung di seberang jendela kamar itu. Menatap hampa jasad yang tidak bernyawa. Dia suamiku, bang Merin namanya. Anak yang baru berumur lima bulan dipelukanku adalah buah hati kami, saya dan bang Merin.

Kematian datang tiba-tiba. Warga masih kurang percaya. Sanak dan saudara dekat serta tetangga ramai berdatangan untuk memastikan. "Baru saja dia pulang dari minum kopi di kedai simpang." Kudengar Atan, sahabat dekat suamiku berbicara dengan muka setengah tidak percaya.

"Katanya dia sakit perut, lalu mandi. Dari kamar mandi duduk di kursi mengeringkan badan." Milah menjelaskan kepada yang datang. "Tiba-tiba terdengar meja jatuh dan pecah, ketika kulihat abang sudah lunglai di atas kursi," kata Milah mengakhiri cerita.

Aku hanya dapat menangis dan meratapi dari balik jendela kayu yang tidak berterali. Anakku yang baru berumur lima bulan ikut menangis di gendongan. Pastilah tangis anakku bukan karena rasa sedih ditinggal mati ayahnya. Anak sekecil itu belum dapat merasakan makna sebuah kematian. Tetapi aku memahami tangis itu, karena seperti juga ibunya yang tengah menitikkan air mata, meratapi nasib diri.

Walaupun kematian adalah kepastian yang tidak mungkin terhindarkan dan ditinggalkan orang yang dicintai sudah pernah kurasakan, tetapi di setiap peristiwa ada menggoreskan kedukaan yang berbeda. "Kasihan bang Merin, suamiku," aku membatin dalam suasana duka mendalam. "Anak kita masih sangat kecil, Bang." "Dengan siapa lagi kami akan mengadu?"

Para pelayat sangat ramai berhimpun pepat. Mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Anggota persyerikatan kematian sibuk mempersiapkan acara ritual adat terhadap jenazah. Sedangkan sebahagian lagi sibuk memasang tenda dan kursi untuk para pelayat yang membeludak sampai ke pinggir jalan.

Sahabat dan keluarga dekat sibuk memberi bantuan terakhir untuk jasad bang Merin: dimandikan, dikafankan, dishalatkan dan terakhir dikuburkan.

Kembali kepada keadaan semula ketika dilahirkan, semua membutuhkan pertolongan orang. Tetapi bukan saya, isterinya yang kehadirannya tidak diharapkan. Bahkan dianggap penyebab kematian bang Merin, suamiku.

Tidak ada seorangpun yang mempedulikan diriku. Keberadaanku dan anak bang Merin yang kugendong dibiarkan. Tidak ada yang menyapa, memandangpun tidak. Satu dua mata melihatku sinis, seperti mengusir. Tangis anakku yang mungkin ingin melihat ayahnya semakin membuat aku tidak dapat membendung air mata.

Terbayang kembali semua peristiwa yang pernah kulalui bersama bang Merin. Ketika dia selalu menggodaku dari sebalik jendela, tempatku melihat jasadnya. Bang Merin selalu mnungguku di jendela ini, mengharapkanku keluar dan duduk di teras samping rumah. Rumahku dan rumah bang Merin beradu teritis, hanya berjarak parit sepadan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun