Seperti pohon yang kehilangan akarnya, mati. Sepi dan hampa. Separah-parahnya aku berkata-kata kali ini, yang ada hanya awan dan rerumputan; bukan kau dan pengertian (Dexon, 2017). Seperti kata Dexon di atas. Sekarang, tubuhku terdiri dari hampa, sepi, dan mati.
Kau tahu bahwa aku takkan banyak bersuara ketika kau bercerita. Aku tahu bahwa percuma saja menasehati orang yang sedang bertahan pada luka. Percuma. Kalimat-kalimat bijak takkan banyak membantu; cerita-cerita bahagia takkan berhasil menjadi guru. Karena ketika rasamu meragu, tak ada yang bisa merayumu. Lantas, seperti apa kamu menggambarkan kondisimu sekarang? Seperti awan hitam, katamu.
Kau tak usah berpura-pura bahagia di depanku. Aku tahu, ada begitu banyak keluh kesah yang ingin engkau tumpahkan. Aku siap menjadi danau, yang menampung segala keluh kesahmu. Kau hanya perlu membuat dirimu menjadi awan. Kapanpun dan dimanapun, kau bisa menumpahkan beban dan air mata yang sudah tak tertahankan itu.Â
Sungguh, aku tahu. Pahit telah memenuhi pelataran hatimu. Ia kembali memancarkan fatamorgana yang menyesakkan dadaku. Wajahmu berpoles ragu. Hatimu terlalu pilu. Sedangkan aku, berusaha untuk tidak menikam jantungku.
Kau tahu rasanya memperjuangkan hal yang berakhir menyakitkan? Seperti judul lagi Ebit G Ade, Elegi Esok Pagi.Elegi yang memenuhi cangkir kopimu pagi ini. Aku hanya berharap, aroma kopi yang kau seduh akan tercium sampai di depan kamarku. Setidaknya aku juga ikut merasakan pahit dan panasnya kopi pagimu.
Ah, aku lupa. mengapa perpisahan ini terlalu melibatkan hati? Aku pikir hanya melibatkan panasnya matahari saja. Jika begitu, lebih baik aku menunggu datangnya kereta dari sudut bumi ini.