Mohon tunggu...
Margono Dwi Susilo
Margono Dwi Susilo Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

Pendidikan : SD-SMP-SMA di Sukoharjo Jawa Tengah; STAN-Prodip Keuangan lulus tahun 1996; FHUI lulus tahun 2002; Magister Managemen dari STIMA-IMMI tahun 2005; Pekerjaan : Kementerian Keuangan DJKN

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Aku dan Binatang (Chapter Siji)

3 Juli 2012   09:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:19 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AKU DAN BINATANG (CHAPTER SIJI)

oleh : margono dwi susilo

Lelaki Jawa dianggap dewasa jika telah memiliki lima hal : wisma (rumah), turangga (kuda), wanita (istri), kukila (burung) dan curiga (keris). Saat masih kanak-kanak saya mempunyai kukila/burung, tetapi menjelang dewasa justru tidak. Ada lebih dari 15 burung -- walau semuanya berharga murah -- mereka adalah : kutilang, cucak, jalak uren, gelatik, puter, manyar, tekukur, penthet, dan yang agak mahal perkutut. Karena ordo burung (aves) yang paling bayak berhubungan dengan masa kecil saya maka saya akan memulai cerita ini dari burung.

Pada mulanya memelihara burung sangatlah mengasyikkan. Belasan sangkar burung dengan aneka rupa warna yang bergelantungan di beranda rumah adalah kegagahan tersendiri bagi anak belasan tahun seperti saya, waktu itu. Apalagi jika mereka berkicau bersautan. Anak lain seusia saya yang hanya bisa main kelereng, dakon, gambar, kwaci atau layang-layang akan terpukau. Saya merasa mempunyai kasta yang berbeda. Apalagi kalau ada yang berguman "wah manuke apik timen yo." Woo kereen!

Tetapi seiring bertambahnya umur keasyikan itu berkurang dan akhirnya bergeser, dari burung ke sepak bola dan koleksi buku. Satu persatu burung itu raib dari kandang. Penyebab utama karena saya sengaja buka pintu kandang, terbang bebaslah ia ke penjuru angin. Saya kasihan, karena tidak rutin lagi memberi makan dan minum. Tetapi memang ada beberapa burung yang saya jual kembali ke pasar Gawok, lumayan untuk beli kaset dangdut bajakan. Waktu itu saya suka Ikke Nurjanah dan Evie Tamala.

Pedagang memang luar biasa kejam saat memberikan harga burung kelas tempe bongkrek. Jika anda beli, mahal. Jika jual kembali, murahnya bukan main. Alasannya macam-macam, biasanya si burung dipandang kurang terawat sehingga dibandrol murah. Ya sudahlah, dari pada mati di kandang atau dilepas, pikir saya. Sebagai contoh, di tahun 1990, burung kutilang muda yang sudah berkicau saya beli dengan uang Rp.3.500,- beberapa bulan kemudian saya jual lagi ke pedagang yang sama dihargai Rp.1.200.- Bagi saya ini kejam, apalagi ia pura-pura acuh, menyebalkan. Pedagang yang lain memberi harga tidak jauh beda, bahkan lebih kejam, Rp.1.000. Waktu itu, seingat saya, harga semangkuk soto, tempe goreng dan segelas es teh manis di kantin SMA Negeri Kartasura Rp.200,-.

Selain ke pasar Gawok - yang hanya buka saat hari pasaran Pon - saya juga hunting burung ke Pasar Legi Kartasura dan Pasar Depok di sekitar Stadion Manahan Solo, naik sepeda ontel, atau terkadang Honda Astrea Prima. Biasanya kami pergi sambil menenteng senapan angin. Jika ada burung yang masuk pandangan mata...dor! Bagi kami semua jenis burung enak dan pantas masuk perut. Tetapi burung favorit sasaran kami adalah Tekukur - dagingnya empuk, berlemak dan cukup tebal. Pokoke maknyus!

Kalau burung tidak dijumpai, alternatif lain adalah Tupai (Bajing). Binatang yang satu ini aromanya amis menyengat, sehingga harus pintar memasaknya. Biasanya di semur atau di goreng kering. Terkadang peluru kami juga menyasar Kalong (sejenis kelelawar). Pokoknya tidak ada rotan, rumputpun jadi.

Ada waktu khusus bagi kami berburu burung. Biasanya malam liburan. Kami berburu burung Gereja atau Pipit yang bertengger di pohon Waru sewaktu gelap sehabis isya, saat burung terlelap di alam mimpi. Begini caranya, pertama anda harus mendeteksi pohon yang sering dipakai kelompok burung untuk bermalam. Untuk mengetahuinya anda harus keliling kampung kala senja tiba. Burung yang terbang dari tegalan dan sawah akan masuk kampung dan hinggap di pepohonan untuk istirahat. Nah tandai pohon tersebut, sebanyak mungkin.

Langkah kedua anda perlu bantuan lampu senter, so perburuan ini harus dilakukan minimal dua orang (kecuali anda punya tiga bilah tangan). Jangan harap bisa membidik burung yang berukuran lumayan seperti Tekukur, karena mereka membuat sarang di pohon yang tinggi, seperti pohon kelapa, cahaya lampu senter tidak akan sanggup menjangkaunya. Untuk perburuan malam anda harus puas dengan burung yang bersarang di pohon yang tidak terlalu menjulang - seperti pohon waru - seekuran jempol orang dewasa, seperti Gereja atau Pipit.

Pengalaman saya, burung Gereja dan Pipit yang tertidur lelap tidak akan respon terhadap lampu senter, sehingga pemburu bisa menembak dengan leluasa. Usahakan bidikan anda tepat sasaran - jantung atau kepala - agar langsung jatuh dan tidak mengganggu burung disampingnya. Kesulitan utama justru saat membedakan burung dan daun kering. Lampu senter dengan daya dua baterai cukup kesulitan membedakan tubuh burung dengan daun kering, hampir mirip. Jika tim anda sudah ahli, stock burung dipohon tersebut bisa disapu bersih. Dalam sekali call of duty saya dan tim bisa membawa pulang 15 sampai 20 ekor burung. Lumayan untuk lauk makan malam. Goreng garing, enak tenan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun