Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

"Suta Naya Dhadhap Waru", Nama Manusia Jawa yang Berpijak pada Tanah dan Tumbuhan

29 Maret 2017   16:59 Diperbarui: 30 Maret 2017   01:00 1745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Peluncuran buku "Suta Naya Dhadhap Waru" (SNDW) karya Iman Budhi Santosa (IBS) beberapa hari yang lalu, Sabtu (25/3) di taman Budaya Yogyakarta, rupanmya menjadi catatan berharga bagi saya. Apalagi jauh sebelum itu saya telah banyak membaca tulisan-tulisan IBS baik berupa  puisi, geguritan (puisi dalanm bahasa Jawa), esai (artikel, opini) yang diungkapkan melalui berbagai media maupun forum. Buku tersebut berbicara mengenai potret manusia Jawa yang belajar pada tumbuhan. Renville Siagian, sahabat IBS,  dalam tulisan pembuka buku SNDW menyitir ungkapan William Shakespeare "What's in a name?" (Apalah arti sebuah nama?). Pertanyaan inilah  yang memicu IBS mencari asal-usul pemberian nama desa di Jawa menggunakan nama tumbunhan.

Sebelum membahas buku SNDW barangkali perlu kiranya mengenal sosok IBS melalui tulisan-tulisannya. Di tahun 2000-an, beliau banyak bercerita (menulis) secara simbolik kisah-kisah pewayangan (Cupu Manik Hasthagina, Kumpulan Puisi Wayang, 2015). Cerita-cerita semacam inilah yang agaknya masih asing (sulit dicerna) maknanya  bagi anak muda sekarang, kecuali dengan membaca kisah cerita lengkap sebelumnya. Keprihatinannya pada tanah Jawa (dianggap mati), tercermin dalam karya puisi Ziarah Tanah Jawa (2009). Beliaupun juga banyak bercerita tentang Yogyakarta (bagian dari tanah Jawa), tempat beliau ditempa menjadi penulis tak kenal lelah dan pantang menyerah. IBS, lelaki kelahiran Magetan tahun 1948, kini merasa lahir kembali di Yogyakarta. Seperti yang beliau ungkapkan dalam puisi "Di Pangkuan Yogya" (2011), Pemenang II Lomba penulisan Puisi Jogja Erna Literary Foundation 2012. Pembelaan IBS terhadap nama Yogyakarta tertulis dalam salah satu artikelnya berjudul "Yogyakarta, bukan Jogjakarta" (Mbongkar Yogya, 2016) menegaskan kepada kita bahwa beliau sangat menghargai asal-usul nama, apalagi nama yang dipakai bermakna baik. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun