Mohon tunggu...
Luqman Hakim
Luqman Hakim Mohon Tunggu... -

Seseorang yang ingin sukses

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Islamisasi Ilmu Menurut Al-Attas dan Al-Faruqi

15 Desember 2011   16:37 Diperbarui: 4 April 2017   16:31 1114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ketika membahas tentang Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, maka tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan dua tokoh intelektual muslim dunia, yaitu Syed Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi. Keduanya disebut-sebut sebagai penggagas ‘proyek’ ini. Bahkan, keberadaan lembaga International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Malaysia dan International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Amerika Serikat tidak lepas dari ‘campur tangan’ mereka. ISTAC didirikan oleh Al-Attas, dan IIIT didirikan oleh Al-Faruqi.

Lantas, bagaimana pandangan mereka terhadap gagasan Islamisasi ilmu?

Titik Kesamaan


Baik Al-Attas maupun Al-Faruqi mempunyai asumsi yang sama ketika membicarakan ilmu. Ketika ditinjau dari sudut epistemologi (cara memperoleh ilmu / sumber ilmu) misalnya, bagi mereka ilmu tidaklah bebas dari nilai. Mereka juga yakin bahwa Tuhan (Allah) adalah sumber asal segala ilmu; dan bahwasanya ilmu adalah asas bagi keimanan dan amal sholeh.


Mereka juga sependapat bahwa ilmu Barat; terutama ilmu kemanusiaan, kemasyarakatan, dan ilmu pengetahuan lainnya bersandar pada falsafah dan pandangan alam sekuler, di mana Tuhan (Allah) telah dipinggirkan.


Kedua pemikir ini juga memiliki pandangan yang sama bahwasanya metodologi ilmu modern yang berasal dari Barat ini banyak dipengaruhi oleh metodologi sains alamiah. Metodologi ini disebut-sebut lebih menekankan objektivitas, akan tetapi melampaui batas karena menolak segala kenyataan atau hakikat yang tidak dapat dibuktikan secara empiris.


Kalau dilihat dari sudut epistemologi, falsafah Barat ini hanya menerima akal dan panca indra sebagai sumber ilmu. Adapun wahyu maupun ilham tidak diterima sebagai sumber ilmu. Apalagi, ketika teori evolusi Darwin bergulir dan diterima, maka ilmu pengetahuan (sains) telah mengenyampingkan al-khaliq (sang Pencipta) dan meyakini bahwa proses alam ini terjadi secara evolusi tanpa Pencipta. Oleh karena itulah, bagi Al-Attas dan Al-Faruqi ilmu modern ini bukannya mengokohkan iman kepada Allah sebagaimana peranan ilmu dalam pandangan islam, tetapi sebaliknya malah membuat rusak serta menjadikan tersesat aqidah Islam.


Letak Perbedaan


Akan tetapi, ada sedikit perbedaan dalam pendekatan yang digunakan oleh Al-Attas dan Al-Faruqi. Dalam proses Islamisasi ilmu, menurut al-Attas melibatkan dua langkah utama. Pertama ialah proses mengasingkan unsurunsur dan konsep-konsep utama Barat dari ilmu tersebut. Langkah kedua ialah menyerapkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya. Dalam hal ini Al-Attas mengambil pendekatan Imam Ghazali dalam aspek jiwa, di mana ia menyarankan supaya sifat yang keji dibuang dahulu sebelum jiwa dihiasi dengan sifat yang terpuji.


Kalau dalam proses penyucian jiwa Imam Ghazali menyarankan sifat keji yang “dibuang” adalah beberapa sifat seperti dengki, sombong, dan lain-lain, maka dalam proses Islamisasi Ilmu Al-Attas menyarankan agar unsur-unsur dan konsep-konsep asing (pathogen) bagi Islam yang harus “dibuang” adalah (1) konsep dualisme (dualism) yang meliputi Hakikat Kebenaran; (2) doktrin humanism; (3) ideologi sekuler; dan (4) konsep tragedi-khususnya dalam kesusasteraan.


Adapun kalau Imam Ghazali menyarankan sifat-sifat terpuji yang harus “dimasukkan” setelah proses pembuangan dalam penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) adalah beberapa sifat seperti tawaddhu’, qonaah, sabar, dan lain-lain, maka unsur dan konsep utama Islam yang harus “menggantikan” unsur-unsur dan konsep asing dalam proses Islamisasi ilmu adalah (1) manusia; (2) din; (3) ‘Ilm dan ma’rifah; (4) hikmah; (5) ‘adl; (6) amal-adab; dan (7) konsep universitas (kulliyah-jamiah).


Berbeda dengan Al-Attas yang menggunakan pendekatan Imam Ghazali, yaitu menngunakan kaidah pembersihan sebelum dilakukan penghiasan, al-Faruqi menawarkan 12 langkah yang harus dilalui dalam proses Islamisasi ilmu. Ke-12 langkah tersebut adalah: 1. Penguaasaan disiplin modern-prinsip metodologi, masalah, tema dan perkembangannya 2. Peninjauan disiplin 3. Penguasaan ilmu warisan Islam (antologi) 4. Penguasaan ilmu warisan Islam (analisis) 5. Penentuan relevansi Islam yang tertentu kepada suatu disiplin 6. Penilaian secara kritis disiplin modern-memperjelas kedudukan disiplin dari sudut Islam dan memberi panduan terhadap langkah yang harus diambil untuk menjadikannya Islami 7. Penilaian secara kritis ilmu warisan Islam-pemahaman terhadap Al-Quran dan Sunnah, perlu dilakukan pembetulan terhadap kesalahpahaman 8. Kajian masalah utama umat Islam 9. Kajian masalah manusia sejagat 10. Analisis dan sintesis kreatif 11. Pengacuan kembali disiplin dalam kerangka Islam:buku teks universitas, dan 12. Penyebarluasanluasan ilmu yang sudah diislamkan.
Perbedaan lainnya dalam pendekatan mereka berdua ialah melibatkan ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ingin diislamisasikan. Al-Attas membatasi ilmu yang ingin diislamisasikan adalah pengetahuan kontemporer (yang telah ter-Baratkan). Akan tetapi Al-Faruqi memandang bahwa proses Islamisasi patut juga dilakukan ilmu turats islamyy (ilmu-ilmu keislaman yang tidak ter-Baratkan).
Adapun perbedaan di antara konsepsi Al-Faruqi dan Al-Attas yang amat jelas berkaitan dengan kepentingan tasawwuf dalam merumuskan konsep-konsep dasar dalam semua cabang ilmu. Al-Faruqi mengecilkan peranan tasawwuf dan berpendapat bahwa kerohanian yang terpancar melalui tasawwuf Cuma membawa kepada kelesuan dank arena itu wajar ia dianggap sebagai hal yang tak perlu bahkan merusak. Ia pun tidak mengakui intuisi sebagai sumber dan metode yang sah bagi saintifik karena intuisi ini didukung oleh tasawwuf.

Sementara itu, Al-Attas beranggapan bahwa tasawwuf tidak hanya penting, tapi perlu bagi perumusan teori ilmu dan pendidikan. Selain itu, tasawwuf dipandang sebagai cara untuk memperoleh ilmu kerohanian, di mana ilmu kerohanian dianggap sebagai cara utama untuk menyelamatkan manusia dari cengkeraman empirisme, pragmatisme, materialism, dan rasionalisme sempit yang merupakan sumber utama sains modern. Bagi Al-Attas, justru ilmu kerohania menjadi cara untuk mengatur pendidikan dari perspektif terpadu dan kopmprehensif. Atas pandangan ini, Al-Attas berbeda dengan Al-Faruqi dalam memandang intuisi. Al-Attas mendukung intuisi sebagai sumber dan metode yang sah dalam metodologi saintifik. Ia menegaskan bahwa intuisi dan penafsiran simbolik dari tejs suci memainkan peranan yang penting dalam memperoleh ilmu saintifik. Hal ini menurutnya berbeda dengan metodologi sains modern yang tidak mengakui intuisi sebagai metode saintifik.


Berangkat dari perbedaan pandangan terhadap tasawwuf sebagai metode dan sumber ilmu, maka terdapat beberapa implikasi bagi konsep ilmu, pendidikan dan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer dan Islamisasi secara umum.


Al-Faruqi pun memberi penekanan kepada transformasi sosial dibanding idealisme sufi yang memberi perhatian kepada perubahan individu. Ia menguatamakan masyarakat dan negara dibanding individu. Ini jelas sekali dari penekanan Al-Faruqi kepada ummah. Adapun Al-Attas lebih menekankan individu dalam mencari penyelesaian kepada masalah yang kita hadapi daripada menekankan kepada masyarakat dan negara. Baginya, ummah dan negara tidak akan bisa dibangun jika individu Muslim tidak memahami tentang Islam dan pandangannya, serta tidak lagi menjadi Muslim yang baik. Al-Attas juga berpandangan bahwa penekanan kepada masyarakat dan negara membuka pintu sekularisme, ideologi, dan pendidikan sekuler.


Demikianlah pandangan Al-Attas dan Al-Faruqi berkaitan dengan Islamisasi Ilmu. Dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Al-Attas dan Al-Faruqi memiliki kesamaan pandangan bahwa akar masalah umat Islam terletak pada pada sistem pendidikan mereka, khusunya masalah ilmu kontemporer, di mana penyelesaiannya terletak dalam Islamisasi ilmu pengetahuan masa kini (kontemporer). Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri ditemukan adanya perbedaan-perbedaan di antara keduanya sebagaimana disebutkan di atas.


Akhirnya, semoga tulisan ini mampu membuka cakrawala berpikir kita serta menambah luas pemahaman kita tentang Islamisasi ilmu yang disebut-sebut sebagai “proyek” penting dan mendesak untuk segera direalisasikan.

Ponorogo, 15 Desember 2011



Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun