Sunur duduk di tumpukan bata yang tersusun memanjang dengan muka tegang. Nafasnya masih tak teratur, keringat mengucur membasahi kaos oblongnya yang lusuh. Ia menaikkan kaos bagian bawah keatas, hingga memperlihatkan perutnya yang basah penuh peluh.
"Nur!"
Tiba-tiba saja Marsinah ibunya yang sejak subuh sibuk di dapur telah ada di belakangnya.
"Sarapan dulu! Tadi mau berangkat malah ada bakul ayam nawar blorokmu. Enggak aku lepas Cuma ditawar tujuh puluh." Sambung marsinah sambil meletakkan bakul berisi nasi, ikan asin, dan sambal di tumpukan bata.
"Sudah enggak nafsu makan mak."
"Lha  apa sudah makan di warungnya inem?"
"Cetakan batanya hilang!"
Sunur sembarangan  menarik karung kosong dari celah-celah tumpukan bata. "Tadi pas mau aku ambil karungnya sudah di luar. Kosong." Katanya kemudian.
Marsinah seketika terpekur. Duduk disembarang lantai bedeng penuh abu bekas pembakaran bata bolong, yang juga sembarangan menyandarkan punggungnya di tumpukan bata yang siap diangkut pemborong. Melihat ibunya yang tiba-tiba lunglai, Sunur meloncat dari tempat duduk  meraih tubuh ibunya, kedua tangannya dipasangkan di bawah kedua ketiak ibunya. Sekuat tenaga berusaha mengangkat beban tubuh perempuan yang berukuran lebih besar itu.
"Mak! Bangun mak! Mak..."
(***)