Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Konektivitas Infrastruktur untuk Si Miskin, Rantai Nilai dan Visi Indonesia

26 Juli 2019   11:10 Diperbarui: 27 Juli 2019   10:12 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Petani Cabe yang Membuang Hasilnya (Foto Jawapos)

Visi Indonesia  untuk Infrastruktur- Seberapa Pro Si Miskin?

Banyak pihak yang 'deg degan' ketika membaca secara tekstual Visi Indonesia Presiden Jokowi terkait "melanjutkan pembangunan infrastruktur". Sayapun sempat merasakan demikian juga.

Tak sedikit yang membuat komentar tanpa mengurai dengan memadai visi itu. Ini wajar karena uraian dan diskusi terkait visi ini belum banyak dilakukan secara substansial. 

Coba kita cermati lagi. Kita bisa melihat ruang luas untuk memaknainya. Kelengkapan kalimat dari visi itu adalah "Melanjutkan pembangunan infrastruktur yang berkesambungan dan tersambung ke industri kecil, dan artinya menyambungkan infrastruktur besar seperti jalan tol, kereta api, pelabuhan, dan bandara dengan kawasan-kawasan produksi rakyat".

Mungkinkah ini yang sudah ditunggu tunggu perempuan dan laki laki petani rumput laut di wilayah pesisir Sulawesi Selatan seperti di Bone, Takalar, Jeneponto, dan Bantaeng yang selama ini hidupnya pas pasan?

Mereka menjual hasil rumput laut kepada pengepul. Seringkali mereka tak tahu siapa pedagang besar yang mengolah rumput lautnya? Merekapun mungkin tak tahu bahwa pabrik rumput laut adalah dimonopoli unit usaha milik pemerintah daerahnya. Juga, informasi terkait ke mana rumput lautnya diproses dan dijual ke luar negeri juga tak mereka miliki. 

Juga, mungkinkah ini yang diharapkan oleh petani kopi di wilayah Toraja dan Enrekang yang selama ini memproduksi kopinya dan menjualnya ke pengepul yang kemudian menjualnya ke Hajjah Cuping di pasar Sudu di Enrekang. Mereka mungkin tak pernah paham bahwa Hajjah Cuping mampu memasok sekitar 110.000 ton kopi per tahun kepada PT Semangat dan PT Megah Putra di Makassar atau ke pedagang besar dan eksportir di Medan. Mungkin mereka tak tahu bahwa kopi Toraja yang dipasok ke Medan kemudian diberi identitas 'Sumatra Arabica'. Mereka juga mungkin  tak tahu bahwa kopi mereka masuk ke kafe Starbucks dan dibandrol sekitar Rp 30 sampai Rp 40 ribu per cangkirnya, padahal petani menjual hanya dengan  Rp 40.000,- sekilo. 

Juga, mungkinkah ini yang diharapkan oleh petani gula kelapa di wilayah gambut di teluk Sampit di Kalimantan Tengah?. Petani gula kelapa yang hanya ada di beberapa desa ini masih sangat tergantung hidupnya pada kerja lembaga dan organisasi non pemerintah yang menjemput gula kelapanya dengan perahu ketingting. Bila tidak dijemput, maka gula kelapa hanya menumpuk di rumahnya saja.

Juga, mungkin ini yang diharapkan oleh petani buah Naga di Banyuwangi yang sempat membuang buah Naganya karena hasil produksi meningkat namun menyebabkan harga buah Naga menjadi anjlog pada awal tahun ini?

Petani membuang buah Naga di Banyuwangi (foto Tribun.news.co)
Petani membuang buah Naga di Banyuwangi (foto Tribun.news.co)
Wajarlah bila kita berharap Visi Indonesia menjawab kegundahan banyak masyarakat perdesaan, karena infrastruktur dan konektivitas yang menghubungkan rantai nilai produk dan perdagangannya adalah harapan aktor ekonomi rakyat. 

Infrastruktur dan Isu Konektivitas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun