Orang desa yang berkeinginan menjadi gelamor seperti Kota, dan yang di Kota-pun karena sudah gelamor; pengin semakin gelamor akhirnya ketika ia "manusia kota" bosan, ia akan menciptakan Desa dalam Kota itu sendiri apapun caranya termasuk; pergi ke desa hanya sebatas melepas penat kota.
Begitupun dengan suasana Kota yang ingin seperti desa, lain juga yang di Desa ingin menjadi kota itu. Tentu jika wacana ini dimungkinkan, menjadi sangat tidak mungkin! Desa tetap adalah desa dimana ia "desa" merupakan lahan yang murah bagi orang-orang Kota agar uangnya tidak terlalu jauh banyak untuk membeli kebutuhan.
Jalannya ekonomi menjadi sebab semua itu, tetapi ketika keinginan dalam aktivitas ekonomi kini menjadi sepadan antara manusia Desa dan Kota, mungkinkah tidak menjadi ketimpangan itu? Gaya hidup, sepertinya kini tengah menggeneralisir, tidak di Kota maupun di Desa dalam gaya hidup abad 21.
Semua orang berharsrat seperti apa yang tengah dilihatnya: menjadi hidup super muktahir dari media-media yang berkembang di Kota. Memang kini yang terjadi adalah semesta hidup yang sepadan menjadi manusia. Semua dilambangakan untuk konsumsi tentang apa yang membuat mereka senang.
Berbagai kesenangan, apakah semua itu tidak akan diukur? Memang keinginan tidak memilih siapapun sebagai, tetapi berbagai nilai itu yang ditetapakan, apakah kita "manusia" mutakhir tidak dapat memilihnya untuk senang tidak secara berlebih? Dalam hal ini berlebih berarti: "ingin senang tetapi memaksa diri padahal apa yang dihasilkan jauh tidak sepadan dengan hasil-hasil itu secara aktual".
Sebab itulah logika ini mulai untuk ditumbuhkan keberadaannya; berbagai media-media itu, sebenarnya didalam masyarakat keterbukaan akan informasi saat ini melalui jaringan internet sendiri telah mengaburkan persepsi bahwa; tidak ada lagi orang Desa maupun Kota, semua sama dimata hidup dalam moderitas informasi.
Di mana gaya hidup kota juga kini tengah berangsur-angsur menjadi gaya hidup di desa. Semua ingin menjadi menarik meskipun di desa ada keterbatasan dalam kantong-kantong hiburan seperti yang ada dikota. Namun yang dalam ideologi itu teryakini bahwa; semesta berpikir orang desa kini mengkota.
Gaya hidup itu sudah menjalar, seperti yang kita lihat, dari yang paling kecil sekalipun sebagai wadah persamaan itu; misalnya kartu kredit atau ungkapan sederhanannya kartu utang.Â
Bukan saja menjadi wacana merambah ke desa-desa tetapi giuran akan gaya hidup yang lebih baik, masyarakat desa pun kini menunggunya untuk menopang gaya hidup mereka agar terfasilitasi.
 Meskipun realitasnya kini dari pendapatan kerja sendiri jelas, UMK atau upah minimum kabupaten sendiri masih sangat jauh dari kota-kota besar seperti Suarabaya dan Jakarta.