Mohon tunggu...
Ko In
Ko In Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berikan senyum pada dunia

Mendengar dan bersama cari solusi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merti Kali Boyong (1): Refleksi Lingkungan dari Lereng Merapi

10 Agustus 2017   00:05 Diperbarui: 10 Agustus 2017   10:06 1493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta Asian Youth Day ke 7 datang (Foto: Ko In)

Hidup berdampingan dengan sungai Boyong harus hafal dengan perilakunya. Terkadang sungai itu membawa berkah tetapi tidak jarang mengakibatkan musibah jika tidak pandai-pandai mengenal karakter sungai.

Peserta Asian Youth Day ke 7 datang (Foto: Ko In)
Peserta Asian Youth Day ke 7 datang (Foto: Ko In)
Mendekati pukul 13.00 peserta Asian Youth Day mulai datang dan disambut tarian Kuda Kepang oleh anak-anak dan ibu-ibu menembangkan lagu Sluku-sluku Bathok yang diiringi gamelan. 

Usai acara penyambutan. Peserta yang datang dari beberapa negara Asia seperti dari Malaysia, Philipina, Korea, Thailand, India dan Indonesia mendapat slayer untuk dipakai jadi ikat kepala. Tidak sedikit peserta yang bingung cara memakainya sehingga harus dibantu panitia. 

Sementara yang lain menikmati makan siang khas desa sederhana. Sayur oseng, mie, ikan asin , racikan telur dadar dan kerupuk. Warga tidak ketinggalan ikut makan bersama. Siang itu suasana menjadi terasa akrab dengan kebersamaan walau berbeda budaya dan bahasa. 

Panitia membantu pasang ikat kepala (Foto : Ko In)
Panitia membantu pasang ikat kepala (Foto : Ko In)
Nasi bungkus untuk para tamu dan warga (Foto: Ko In)
Nasi bungkus untuk para tamu dan warga (Foto: Ko In)
Acara Merti Kali Boyong dimulai dengan doa. Mohon keselamatan kepada Tuhan dan mendoakan para leluhur desa agar mendapat kehidupan yang baik di alam baka. Arak-arakan diawali oleh sesepuh desa yang membawa hasil bumi dan ubo rampe . Ada kain mori, jarik yang akan dilarung di sungai Boyong.

Tidak ketinggalan lambang negara, Garuda Pancasila ikut diarak sebagai lambang kesatuan, persatuan warga desa, warga desa tetangga dan peserta Asian Youth Day. Semua perbedaan lebur jadi satu dalam kebersamaan.

Dibelakangnya, ibu-ibu dusun Glondong menembangkan lagu-lagu kepedulian lingkungan untuk menjaga sungai Boyong, menjaga dusun Glondong dan menjaga persaudaraan. Selama arak-arakan yang mengelilingi desa. Ada tembang Ngrekso Deso, Kuwi opo Kuwi, Ijo-Ijo dan Srunthulan. Yang terakhir ini sarat pesan dan kritikan.

Ono urang ndelik sor watu

(ada udang sembunyi di balik batu)

Yo berjuang koyo mbah Ranu,

(mari berjuang seperti mbah Ranu)

Aku omong kali Boyong ojo dicolong

(Aku bilang kali Boyong jangan dicuri)

Kali asat ra ono kedhunge

(Sungai susut tidak ada sumber airnya)
Ojo sambat garing bumine
(Jangan mengeluh bumi kekeringan)
Aku omong kali Boyong ojo dicolong

(Aku bilang kali Boyong jangan dicuri)

Gunungan terbuat dari hasil bumi seperti kacang panjang, terong, cabe, buncis, timun, gambas, worter. Berjalan dibelakangnya kemudian diikuti ogoh-ogoh berbentuk ular yang panjangnya 30 meter. Di angkat oleh sebagian peserta Asian Youth Day dan diarak keliling desa untuk nantinya dibakar di sungai Boyong. Sementara gunungannya akan diperebutkan warga.

Arak-arakan keliling desa (foto: Ko In)
Arak-arakan keliling desa (foto: Ko In)
Di arak keliling kampung menuju kali Boyong (Foto: Ko In)
Di arak keliling kampung menuju kali Boyong (Foto: Ko In)
Arak-arakan berjalan mengelilingi desa menuju ke sungai Boyong. Jika dalam kondisi airnya surut menjadi sahabat dan sumber mata pencarian sebagian warga dusun Glondong. Ada yang menambang pasir secara tradisional, beternak ikan dan menanam padi.

Lewat sawah yang sebenarnya bagian dari kali Boyong. Perhatikan ekor ular paling kiri. Bandingkan dengan foto di bawah usai banjir lahar dingin(Foto: Ko In)
Lewat sawah yang sebenarnya bagian dari kali Boyong. Perhatikan ekor ular paling kiri. Bandingkan dengan foto di bawah usai banjir lahar dingin(Foto: Ko In)
Tengah-tengah sungai Boyong yang kering (Foto: Ko In)
Tengah-tengah sungai Boyong yang kering (Foto: Ko In)
Sungai Boyong cukup lebar. Ukurannya mungkin seukuran panjang lapangan sepakbola. Truk biasa turun ke kali untuk mengambil pasir dari penambang tradisional yang umumnya warga dusun Glondong.

Namun manakala sungai mendapat kiriman lahar dingin dari gunung Merapi. Semuanya berubah. Sungai penuh dengan batu besar, pasir dan lumpur yang sangat lekat karena tercampur abu.

Banjir lahar dingin 2010. Orang berdiri, titik paling kiri arak-arakan saat melintasi sawah (Foto: Ko In)
Banjir lahar dingin 2010. Orang berdiri, titik paling kiri arak-arakan saat melintasi sawah (Foto: Ko In)
Siang itu cuaca cerah walau tidak begitu panas karena langit berawan. Sampai di tengah sungai Boyong arak-arakan berhenti dan dilanjutkan dengan pertunjukan wayang kontemporer dengan dalang duduk di tengah sungai. Panggungnya tersusun dari batu-batu sungai dari kali Boyong. 

Dan acara inti Merti Kali Boyong sesungguhnya baru akan berlangsung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun