Mohon tunggu...
Kamajaya
Kamajaya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Kuda Perang

Berlari kencang terengah-engah

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Duka Menjadi Suspect Covid-19 dan di Balik Kamar Karantina

28 Maret 2020   00:17 Diperbarui: 28 Maret 2020   13:54 20708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI Ruang isolasi rumah sakit untuk penanganan pasien virus Corona atau Covid-19 (EPA-EFE/STR CHINA OUT via Kompas.com)

Tanggal 27 Februari, hari Rabu sore saya tiba di Kuala Lumpur, Malaysia. Kunjungan ke sana dalam rangka menemani kawan mengurus perpindahan kuliahnya dari Kuala Lumpur ke Jakarta. 

Kunjungan yang semula direncanakan maksimal hanya dua hari ini pun ternyata tak sesuai harapan. Kampus yang dituju sedang memiliki kegiatan 'outing' bagi para staff dan civitas akademiknya ketika kami datangi di hari Kamis pagi. 

Celakanya lagi, kegiatan outing tersebut dilakukan di hari kerja, Kamis-Jumat. Sehingga mengharuskan kami kembali ke kampus tersebut di Hari Senin tanggal 2 Maret.

Lima hari di negeri Jiran, kami pun was-was. Dikarenakan Malaysia sudah lebih dulu dinyatakan sebagai negara yang terjangkit Virus Covid-19. Semua siaran televisi dan radio Pemerintah Malaysia gencar menyosialisasikan mengenai bahaya Covid-19 dan langkah-langkah preventifnya. 

Di sana, kami pun tak banyak beraktivitas, selama lima hari kami lebih banyak tinggal di kamar hotel dan sesekali keluar untuk makan di Restoran India yang persis berada di lantai bawah tempat kami menginap.

Hari Senin siang, 2 Maret, urusan kami pun usai. Kami bergegas ke Bandara mencari penerbangan secepatnya ke Jakarta. Sesampainya di Bandara, kami pun takut melihat banyak penerbangan menuju Indonesia dibatalkan dan di bandara ramai orang-orang yang hendak kembali ke negaranya. Beruntung pesawat yang kami pesan pun tak dibatalkan keberangkatannya dan kami bisa terbang meuju Jakarta.

Sampai di Bandara Soekarno Hatta, kami tiba di terminal 2. Kami menduga begitu sampai akan ada thermal scanner ataupun petugas kesehatan yang memeriksa kondisi penumpang, lantaran kami datang dari negara yang sudah terjangkit. 

Dugaan kami ternyata salah total, begitu tiba kami hanya diminta menyerahkan potongan kartu kuning (Health Alert Card) dari Kemenkes yang telah kami isi sebelumnya di atas pesawat. 

Saya pun heran, sebegitu bebasnya pemeriksaan di Bandara Soetta? aAalagi di tanggal tersebut persis Presiden Jokowi mengumumkan kasus pertama WNI dinyatakan positif Covid19

Merasakan Gejala

Dua belas hari sepulang dari Malaysia, tanggal 14 Maret tubuh saya pun tak sehat. Saya merasakan gejala-gejala seperti demam, bersin-bersin, sesak nafas dan gejala-gejala Covid19 seperti yang ramai diberitakan. 

Saya pun inisiatif lapor ke hotline Corona 119 ext 9. Saya yang tinggal di wilayah Serpong, Tangerang Selatan ini pun diwawancara via telpon, ditanyakan keluhan dan pernah kontak tidak dengan orang positif Corona saat di Malaysia. 

Saya pun jawab tidak tahu, karena saya tidak bisa mengidentifikasi orang-orang di Malaysia yang dinyatakan positif Corona. Saya pun lantas diminta mendatangi Puskesmas terdekat untuk diperiksa. 

Lantaran itu hari Sabtu, saya pun agak ragu mendatangi Puskesmas, karena biasanya hanya ada pemeriksaan di hari kerja saja. Hari itu pun kemudian saya memutuskan untuk total beristirahat dan meminum obat influenza dan tolak angin yang dibeli di minimart.

Ditolak Rumah Sakit Rujukan

Karena kondisi tak kunjung membaik, Minggu 15 Maret atas saran seorang rekan jurnalis, saya pun diarahkan untuk mendatangi RS rujukan terdekat untuk memeriksakan kondisi saya. Dengan berbekal kartu kuning yang masih saya simpan, saya pun menuju RSUD Kabupaten Tangerang untuk memeriksakan diri. 

Sebagai RS rujukan saya pikir tersedia fasilitas 24 jam bagi warga yang memiliki gejala ataupun keluhan terhadap Virus Corona ini. Saya datang dan menanyakan ke Satpam sambil menunjukkan kartu kuning di manakah tempat pemeriksaan bagi pasien yang memiliki gejala Corona. Saya pun diarahkan agar langsung ke ruang IGD . 

Di ruang IGD saya pun menyampaikan keluhan yang dialami kepada perawat pria yang sedang berjaga. Say diminta duduk di depan meja registrasi sambil dirinya berkonsultasi ke petugas kesehatan lainnya.

Di ruang IGD saat itu saya mendengar tangisan-tangisan dari keluarga pasien korban kecelakaan atau pun dari pasien yang dinyatakan meninggal dunia akibat sakit lainnya saat itu. 

Sekitar 30 menit duduk menunggu di meja petugas IGD. Saya pun kemudian diarahkan ke ruang observasi di samping ruang IGD. Di ruang tersebut, saya yang dengan kondisi badan lemas, pusing dan meriang.

Ini pun diminta berbaring di ranjang sambil menunggu pemeriksaan dari dokter. Hampir dua jam saya menunggu, namun tak kunjung datang dokter untuk memeriksa keluhan yang dialami. 

Saya kemudian keluar dan bertanya kepada Satpam yang berjaga: apakah dokter masih lama untuk datang memeriksa saya?

Alangkah terkejutnya saya, saat Satpam menjawab jika saat ini hanya ada dokter jaga dan saya diminta kembali keesokan harinya ke Gedung MCU (Medical Checkup) yang terletak sekitar beberapa ratus meter dari bangunan utama RSUD Tangerang ini. Merasa tak pasti, saya pun memutuskan pulang dan mengambil KTP yang sempat diminta untuk pendataan.

Dengan didampingi kerabat, saya pun kemudian menuju RS Omni Alam Sutra untuk memeriksakan diri. Saya pun datang dan langsung menyampaikan keluhan ke petugas jaga di ruang emergency RS Omni sambil lagi-lagi menunjukkan kartu kuning yang saya bawa. 

Namun, diluar dugaan petugas kesehatan yang berjaga yang didampingi oleh dokter jaga menyampaikan bahwa pihak RS Omni tak bisa memeriksakan saya, lantaran saya diduga (suspect) Corona. Dengan alasan pihak RS tak memiliki fasilitas kamar isolasi dan bukan merupakan RS rujukan yang ditunjuk pemerintah.

Jam menunjukkan pukul 23.30 saat itu, saya masih berupaya ikhtiar untuk memastikan kondisi. Saya pun kemudian menuju ke RS Eka Hospital BSD untuk memeriksakan diri. Belajar dari pengalaman dua RS sebelumnya, saya pun datang menyampaikan keluhan tanpa menunjukkan kartu kuning yang dibawa. 

Saya pun diterima dan dimasukkan ke ruang IGD untuk dilakukan pemeriksaan. Oleh dokter yang memeriksa saya ditanya keluhan dan apakah ada riwayat perjalanan ke luar negeri baru-baru ini. Saya jujur menjawab.dan kemudian saya dipindahkan ke ruang khusus tersendiri yang terpisah dengan pasien di ruang IGD lainnya.

Di ruang itu pun kemudian saya diambil sampel darah dan dilakukan rontgen untuk mengetahui kondisi tubuh. Sekitar pukul 01.00, usai semua tes dilakukan saya pun meminta agar dilakukan rawat inap di RS tersebut agar bisa dilakukan pengobatan menyeluruh. 

Namun, dokter menjawab pihaknya tidak bisa merawat saya karena saya berstatus suspect/ODP Corona dan menyebut bahwa RS Eka Hospital bukannlah RS Rujukan.

Pukul 04.00 hasil tes darah dan rontgen pun keluar. Dinyatakan oleh perawat jika sel darah putih (Leukosit) saya di atas batas normal atau dalam artian tubuh sedang melawan infeksi (Bakteri atau Virus) yang saya alami. Saya pun kemudian diminta ke kasir untuk menyelesaikan administrasi. 

Biaya sekitar 2,5 juta pun harus saya keluarkan subuh itu untuk membayar serangkaian tes dan obat-obatan yang diberikan. Saya pun kemudian pulang, berbekal obat yang diberikan dengan optimis akan merasa baikan.

Empat kali dosis obat-obatan yang diberikan saya minum (pagi, siang, malam, pagi). Saya merasa tak kunjung baikan, malahan demam dan sesak nafas yang saya alami makin menjadi. Saya pun was-was. 

Senin, 16 Maret, saya memutuskan memeriksakan diri ke salah satu dokter spesialis di RS Omni yang menjadi langganan saya jika ada keluhan kesehatan.

Mengetahui gejala dan riwayat perjalanan yang saya miliki, dokter dengan tegas meminta agar saya langsung rujuk mandiri ke RSPI Sulianti Saroso sebagai RS rujukan pemerintah untuk pasien Corona. Dengan tegas bahkan ia mengatakan " You mau bayar gw 1 Trilyun pun saya gak akan merekomendasikan kamu untuk dirawat di sini. Sana segera ke RSPI"

Berstatus PDP 

Tiga kali penolakan di RS dan anjuran tegas dari dokter langganan agar saya segera memeriksakan diri ke RSPI Sulianti Saroso pun saya ikuti. Sore itu, 16 Maret, saya didampingi seorang teman berangkat mengendarai mobil sendiri dari Serpong menuju Sunter, Jakarta Utara. Dengan badan demam mengigil saya pun akhirnya tiba di RSPI. 

Begitu tiba saya langsung menuju tempat pemeriksaan atau semacam pos pemantauan Covid19 yang banyak terdapat orang mengantri untuk dilakukan pemeriksaan. 

Saya pun bertanya kepada petugas yang berjaga dan meminta nomor antrian untuk dilakukan tes. Namun petugas berkata, jika hari ini pemeriksaan hanya akan dilakukan hingga pukul 9 malam, saat itu saya tiba sekitar pukul 7 malam. Dan masih terdapat banyak orang yang masih menunggu antre untuk dipanggil.

Tak mau kedatangan saya sia-sia, saya terus meyakinkan petugas yang berjaga agar tetap diberikan nomor antrilean dan bisa diperiksa oleh petugas medis di RSPI jam berapapun nanti akan dipanggil. 

Petugas pun menanyakan apa keluhan yang saya alami dan apakah pernah saya bepergian ke luar negeri selama 14 hari terakhir. Saya menjawab tanpa ragu, mendengar jawaban saya oleh salah seorang petugas keamanan saya pun kemudian dibawa ke ruang observasi untuk dilakukan pemeriksaan tanpa perlu mengambil nomor urut antrean pemeriksaan. 

Di ruang observasi, saya kemudian diberikan bantuan pernafasan melalui selang oksigen dan langsung dilakukan tes sampel darah dan foto rontgen paru-paru. 

Dua jam observasi, petugas pun kemudian menyatakan saya berstatus PDP dan harus dilakukan perawatan di RSPI untuk dilakukan observasi lebih lanjut.

Dari ruang observasi, saya pun kemudian dipindahkan ke ruang IGD. Ruang tersebut cukup luas, berisikan sekitar 8 bed tempat tidur yang telah berisikan pasien. 

Saya kemudian dibaringkan di sebuah bed yang hanya dibatasi kain pembatas dengan bed lainnya. Selang infus pun mulai dipasang beserta selang oksigen yang membantu meredakan sesak nafas yang dialami. 

Di ruang IGD petugas medis dengan pakaian pelindung berlapis selalu stanby di ruangan 24 jam. Petugas medis di ruangan pula yang memberi kami makan, obat-obatan, hingga rutin selalu mengecek suhu tubuh dan tensi tekanan darah.

Di ruang IGD tersebut, saya dapat merasakan banyak pasien yang kondisinya lebih buruk dari saya. Saya ingat betul di samping kanan terdapat seorang ibu-ibu yang terus-terusan batuk parah, dan di depan bed saya terdapat juga seorang WNA yang selalu berteriak-teriak jika petugas hendak memberinya makan ataupun mengambil sampel darahnya untuk diperiksa.

Saya pun jadi takut, apalagi di ruang IGD tersebut hanya satu kamar mandi yang digunakan oleh semua pasien secara bergantian. Sebagai langkah preventif, setiap ke kamar mandi saya pun selalu membawa tisu yang sebelumnya sudah saya berikan antiseptic untuk membersihkan gagang pintu kamar mandi, ataupun juga untuk membersihkan dudukan toilet sebelum saya gunakan.

Di ruang IGD, obat-obatan antibiotic seperti Azyhtomicin, Methysoprinol, Vitamin C, Paracetamol dan beberapa antibiotic lainnya diberikan sekaligus untuk membantu meredakan keluhan yang saya alami.

Hampir setiap hari petugas rutin mengambil sampel darah saya untuk dikirim ke laboratorium, selain itu juga dilakukan tes swap, pengambilan sampel dahak melalui hidung dan tenggorokan.

Dahak dari tes Swap inilah yang kemudian dikirimkan ke Laboratorium Kementrian Kesehatan untuk mengetahui seorang pasien dinyatakan positif tidaknya terjangkit Virus Corona.

Sekitar 4 hari di ruang IGD, saya tidak diperkenankan bertemu siapapun termasuk keluarga. Namun saya tetap diijinkan untuk mengakses telepon seluler untuk memberitahu perkembangan kesehatan saya lewat telepon kepada keluarga dan kerabat. 

Juga termasuk perkembangan jika sejak hari ketiga kaki kanan saya terasa sakit dan tak bisa digunakan untuk berjalan normal, penyebabnya entah karena efek obat-obatan atau mungkin makanan yang dikonsumsi.

Ruang Isolasi

Masuk hari kelima, saya pun kemudian dipindahkan ke ruang Isolasi khusus, di mana ruangan tersebut hanya diisi oleh saya sendiri. Di ruang isolasi tersebut saya merasa lebih nyaman, dikarenakan di ruang tersebut saya benar-benar dapat beristirahat tanpa adanya gangguan suara batuk atau suara-suara teriakan pasien lainnya seperti di ruang IGD. 

Di ruang isolasi yang berukuran sekitar 4x6 meter ini pun terdapat kamar mandi sendiri, ranjang tempat tidur yang lebih nyaman, lemari untuk menaruh pakaian serta televisi untuk menemani kesunyian di ruang isolasi.

Setiap gerak langkah saya benar-benar diawasi oleh keberadaan CCTV yang tersambung langsung ke ruang perawat, selain itu juga terdapat speaker khusus di ruangan yang memungkinkan saya berinteraksi dua arah dengan perawat yang berjaga di ruang rawat.

Selain dipantau secara aktivitas di ruang isolasi, kondisi tubuh saya pun lebih dipantau oleh perawat yang dalam sehari bisa 3-5 kali datang memeriksa kondisi tubuh. 

Selain memeriksa suhu tubuh, tensi darah,.dan memberikan obat-obatan untuk diminum. Perawat pun selalu menanyakan terkait sudah berapa kali kah saya melakukan BAB, BAK, hingga jumlah asupan cairan yang diminum. Karena hampir setiap hari saya selalu disediakan dua hingga tiga botol air mineral ukuran 1500ml untuk saya minum.

Di Samping Ruang Jenazah

Hari demi hari berada dalam penanganan di ruang isolasi, kondisi tubuh saya pun berangsur membaik. Demam serta sesak nafas yang dialami telah jauh berkurang, walau keluhan di kaki kanan masih cukup terasa. 

Kenyamanan di ruang Isolasi sebetulnya agak sedikit terusik, saya merasa sempat mengalami hal-hal ganjil selama berada dalam ruangan sendiri. 

Mulai dari adanya suara ketuk-ketuk jendela kamar mandi secara keras saat saya tidur hingga akhirnya membangunkan saya.

Namun ketika bangun saya hanya melihat bayangan berwarna merah di depan jendela dan suara ketuk-ketuk pun menghilang, lalu suara anak kecil tertawa-tawa, kran air wastafel yang sering menyala sendiri, hingga sekelebat-sekelebat bayangan yang sering melintas. 

Sempat takut awalnya dengan hal ganjil yang saya alami.dan kemudian sayaendapati peta ruangan yang terdapat di samping kanan pintu ruangan. 

Alangkah terkejutnya saya, jika kamar isolasi yang saya tempati berada persis di samping kiri ruangan kamar jenazah di rumah sakit ini. Mengetahui hal tersebut, justru tak membuat nyali saya ciut.

Saya malah bergumam dalam hati, mungkin saja penghuni sini ingin berkenalan dan minta saya permisi telah berada di ruang tersebut. Akibat hal itu pula, saya kemudian memutuskan untuk mengubah pola tidur.

Selama di ruang isolasi saya pun selalu tidur menjelang subuh dan namyak memanfaatkan waktu di tengah malam dengan berdoa dan sesekali menonton televisi atau tayangan di youtube.

Pulang

Hari kesembilan, tepatnya tanggal 24 Maret sekitar pukul 9 pagi, seorang dokter paru masuk ke ruangan dan memeriksa kondisi tubuh sambal menanyakan keluhan apa saja yang saya alami.

Saya pun menjawab sudah tidak ada keluhan selain kaki kanan yang masih terasa sedikit nyeri. Dokter pun menyampaikan, dari hasil tes Swap ketiga yang dikirimkan ke laboratorium Kemenkes, saya dinyatakan telah negatif Covid19 dan diperkenankan untuk pulang hari itu juga.

Saya pun bergegas menghubungi kerabat untuk minta segera dijemput dan diurus semua keperluan untuk saya pulang. Sebelum saya meninggalkan ruangan, kamar isolasi yang saya tempati pun dilakukan proses penyemprotan desinfektan, tak hanya ruangan namun semua barang bawaan yang saya bawa pun termasuk pakaian, hp, kacamata, perlengkapan mandi tak luput untuk disemprotkan.

Selama proses desinfektan ruangan dan barang-barang saya pun kemudian diarahkan perawat menunggu di kursi depan kamar pemusalaran jenazah.

Sekitar satu jam saya menunggu, akhirnya proses desinfektan pun usai. Akhirnya, sekitar jam 7 malam, berbekal obat-obatan, foto hasil rontgen dan resume medis dari rumah sakit saya pun akhirnya bisa meninggalkan selasar rumah sakit dan berganti pakaian pasien rawat inap dengan pakaian saya sehari-hari.

Sembilan hari mendapatkan perawatan di RSPI Sulianti Saroso saya merasa terharu sekaligus bangga akan dedikasi dan kedisiplinan petugas medis di rumah sakit milik pemerintah tersebut.

Beribu terimakasih saya sampaikan kepada Dokter, Perawat, Cleaning Service, yang tak satupun saya mengenali wajahnya yang terlindung masker dan helm pengaman yang setiap hari berinteraksi dengan saya di ruangan.

Saya yakin, di setiap musibah selalu ada lebih banyak berkah dan pelajaran yang tak kita kira. Bersabarlah.dan tetap selalu disiplin. Wabah ini ada tidak untuk selamanya. Kita bisa mengatasinya bersama-sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun