Mohon tunggu...
Kaha Anwar
Kaha Anwar Mohon Tunggu... Serabut-an -

MJS Press

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Memerdekakan Kemerdekaan

17 Agustus 2012   14:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:37 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1345211980768482956

[caption id="attachment_207309" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber gambar: dokumentasi Kaha Anwar"][/caption]

Dalam catatan sejarah, sudah 67 tahun Indonesia merdeka. Ini berarti sangat tidak mungkin Indonesia belum atau katakanlah tidak merdeka, tetapi mengapa kemerdekaan harus dimerdekakan kembali? Apakah ada yang kurang dari kemerdekaan tersebut? Jika ada dimana letaknya? Atau jangan-jangan kata”kemerdekaan” hanyalah sebatas kata yang merebak di saat mendekati ulang tahunnya saja?

Memerdekaan kemerdekaan berarti ada indikasi bahwa dalam kemerdekaan tersebut belum ada kemerdekaan. Seakan-akan kemerdekaan masih terpasung dalam kata dan belum mencapai tataran makna yang lebih jauh. Memang makna kemerdekaan bukan sekedar kita menafsirkan dan memaknai kata “kemerdekaan”. Lebih dari itu, kemerdekaan berangkat dari kondisi nyata suatu bangsa. Keadaan masyarakatnya, sosial ekonomi, kebudayaan, ketahanan serta keberanian menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang berdaulat.

Silahkan menyigi keadaan nyata bangsa Indonesia, apakah sudah merdeka atau malah sebaliknya merangkak dalam kemerdekaan? Jika Indonesia benar-benar telah merdeka lantas siapa yang paling menikmati kue kemerdekaan tersebut? Seberapa besar terciptanya keadilan yang dilandasi rasa kemerdekaan 67 tahun silam itu? Apakah para punggawa negara benar-benar melaksanakan “pemindahan kekuasan dalam tempo sesingkat-singkatnya”? Kemana pemindahan kekuasaan itu di taruh? Apakah Indonesia semakin di kapling-kapling dalam wadah yang diberi nama atas nama “demokrasi”?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang ingin dibongkar dalam bukuMemerdekaan Indonesia Kembali”. Kemerdekaan perlu ditelaah ulang, dipertanyaakan kembali supaya kemerdekaan yang telah diraih dengan tetesan darah dan air mata sepanjang penjajahan kolonial benar-benar menemukan hakikatnya. Sehingga kemerdekaan bukan hanya sekedar gegap gempita menjelang Agustus-an dengan seperangkat upacara kenegaraan dan perlombaan yang sejatinya semakin memerihkan kemerdekaan itu sendiri.

Widibyo, salah pemerhati masalah politik yang alumnus FISIP Universitas Indonesia, dalam memaknai kemerdekaan dan nasionalisme menilai bahwa bangsa Indonesia belum memahami makna dan arti kemerdekaan secara menyeluruh seperti yang diharapkan para pendiri bangsa ini. Kemerdekaan bukan hanya berarti “bebas dari belenggu penjajah asing”, tetapi lebih dari itu, yaitu; 1) Kemerdekaan merupakan alat untuk mempersatukan kebhinekaan yang dimiliki bangsa Indonesia menjadi satu kesatuan yang kokoh. 2) Kemerdekaan adalah alat untuk membangun etos dan identitas nasional. Dalam pengertian ini, kemerdekaan merupakan instrumen untuk membangun jati diri bangsa yang tunggal, yaitu bangsa Indonesia. 3) Kemerdekaan merupakan instrumen untuk membangun cita-cita bersama, lembaga politik bersama, bahasa bersama, kebudayaan bersama, nasib bersama, masa depan bersama, dan kebhinekaan yang ada.

Pekik kemerdekaan merupakan hal yang paling sering didengar namun apakah pekik sebelum kemerdekaan dan sesudahnya masih memberikan ruh kebangkitan dalam membangun bangsa Indonesia? hal ini yang disoroti oleh A.Muis, sebagai Guru Besar Ilmu Komunikasi dan Hukum memaknai pekik merdeka dewasa ini sebagai pesan komunikasi yang lebih luas dari pada makna pekik merdeka pada enam puluh tujuh tahun silam. Pekik merdeka sekarang dan masa datang tidak cuma mengedepankan semangat patriotisme. Lebih dari itu, pekik merdeka berkonotasi tuntutan perubahan dan pembaruan. Indonesia memang sudah setengah abad lebih merdeka dan berdaulat. Namun kemerdekaan individu masih banyak yang terbelenggu oleh berbagai kekangan dan kesulitan. Mayoritas bangsa kita masih terbelenggu oleh penindasan individual dalam hubungan-hubungan social ekonomi, pelanggaran HAM.

Berbeda dengan Toeti Adhitama. Dengan gaya jurnalisnya menuturkan pengalaman imajinatifnya bahwa dirinya teringat zaman gerilnya, tatkala antara rakyat dan tentara pelajar sama-sama memanggul senjata, bersikap saling menolong dan melindungi. Masa-masa itu adalah masa keakraban, tidak ada jaran di antara mereka, yang ada adalah rasa persaudaraan, persahabatan, dan kasih sayang. Namun dalam perjalanan waktu kemudian, banyak kejadian yang merongrong nilai-nilai luhur yang pernah kita kenal, kita hayati, dan kita amalkan dahulu. Terlintas oleh keinginan-keinginan baru di zaman baru yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok. Menjadi pemimpin di negeri ini mungkin harus siap disanjung dan dihujat, baik di muka buruk pada akhirnya. Masih ingat dibenak kita, Bapak Soeharto (alm) pernah dielu-elukan sebagai Bapak Pembangunan tetapi diakhir hayatnya harus terlunta-lunta oleh hujatan dan bayang-bayang pengadilan. Sementara mereka yang ikut membesarkan musibahnya, yang sekarang ini masih bisa menikmati kebebesan dan hasil jarahannya, mungkin sedang berfoya-foya dengan keluarga di dalam negeri atau di pengasingan.

Di panggung kehidupan lain kita lihat obat terlarang menyebar luas sampai anak-anak usia SD, porno semakin merebak tanpa rasa malu, risih dan takut dosa. Preman-preman seakan menjadi makhluk ditakuti sehingga nama”preman” lebih membumi dibanding nama pahlawan sebab ketakutan akan kegarangannya. Di akhir tulisan, Adhitama menanyakan, apa akar masalah semua ini? Akar masalahnya, mungkin, karena perjuangan murni dan luhur itu dalam perjalanan masa terjebak oleh keinginan-keinginan individu yang lepas kendali. Akibatnya, saat-saat ini masih ada yang bisa dengan lantang mengatakan;”kemerdekaanmu, belum kemerdekaanku”.

Di dalam ranah hukum, Romo Franz Magnis Suseno mengkritik bahwa paham dasar negara hokum adalah bahwa yang berkuasa ialah hukum. Pemerintah melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya atas dasar, serta dalam batas-batas hukum yang berlaku. Sebaliknya, dalam negara kekuasaan bukan hukum melainkan kemauan sewenang-wenang penguasa menentukan pemakaian kekuasaan negara, negara hukum dipandanga penting oleh beliau, karena dalam kondisi-kondisi modern hanya ketaatan hukum yang menjamin rasionalitas, keadilan, dan harkat kemanusiaan hidup bersama dalam masyarakat.

Mengakhiri tulisan buku ini, Gus Dur (alm) kembali menekankan pentingnya upaya “revitalisasi nilai-nilai kebangsaan, kemerdekaan, dan demokrasi”. Proklamasi kemerdekaan RI sebagai puncak dari kesepakatan bangsa untuk mewadahi kehidupan kebersamaannya melalui pembentukan Negara kebangsaan yang merdeka, berdaulat, dan demokratis.

Nilai-nilai kebangsaan, kemerdekaan, dan demokrasi akan terus menyertai perjalanan bangsa ini ke depan. Ketiganya terjalin dalam hubungan persenyawaan yang kuat. Kita tidak mungkin mengembangkan demokrasi dan memberi makna kemerdekaan di luar bingkai kebangsaan. Demokrasi memberi legitimasi kepada kedaulatan rakyat tidak mungkin diekspresikan secara efektif di luar formasi kebangsaan. Kedua nilai itu, kebangsaan dan demokrasi, tidak bisa hidup sempurna dalam keterpisahan. Kebangsaan tanpa demokrasi akan kehilangan dinamika hidup, dan demokrasi tanpa nasionalisme akan menjadi liar.

Kemerdakaan bukanlah batas antara bekerja keras dan leyeh-leyeh (enak-enakan), tetapi lanjutan dari perjuangan itu sendiri. Kemerdekaan bukanlah benda yang setelah diraih kemudian disimpan, melainkan roda yang harus tetap bergulir untuk menggapai tujuan bernegara. Apalagi bangsa Indonesia punya pengalaman bersejarah yang dijajah berbagai bangsa, setidaknya ini menjadi spirit yang menggedor jiwa raga setiap anak bangsa: jika moyang kita bisa meraih kemerdekaan, kita yang muda pun siap sedia mengobarkan panji perjuangan mereka. Seberapa kuat dan besarnya ancaman, jika kita bersatu padu menghadapi pastinya ancaman itu akan capek sendiri.

Kemerdekaan bukanlah bebas liar. Kemerdekaan bukanlah entropi sosial yang berakhir kacau balau. Kemerdekaan itu adalah menjalin yang terserak, menyatukan unsur-unsur niat membangun bangsa supaya menjadi senyawa yang bisa menghantarkan kepada kemuliaan derajat dan martabat bangsa.

Judul:Memerdekakan Indonesia Kembali; Perjalanan Bangsa dari Soekarno ke Megawati

Editor:Imam Anshori Saleh & Jazim Hamidi

Penerbit:IRCiSoD, Yogyakarta

Tahun Terbit:Agustus, 2004

Tebal:xl + 198 halaman

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun