Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Aturan Memiliki Garasi Hanya Sebagian Solusi Kemacetan Jakarta

10 September 2017   13:33 Diperbarui: 10 September 2017   20:47 3099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas Derek dari Dishub Pemprov DKI Jakarta sedang mederek mobil yang parkir smebarangan/Kredit Foto: Tribunnenews.com.

Baru wacana perluasan saja sudah banyak menuai protes. Profesi tertentu memerlukan sepeda motor yang lebih irit, para karyawan yang gajinya pas-pasan, hingga tukang ojek termasuk ojek daring. Para biker berdalih motor bukan penyebab kemacetan. Di sisi lain terlalu banyak sepeda mtor juga mengundang ketidaknyamanan, seperti seenaknya berada di depan zebra cross, melintasi trotoar. Ujung-ujungnya masalah ekonomi juga.

Tujuan semua kebijakan itu sebetulnya agar masyarakat akan menggunakan moda transportasi umum yang kini sedang dibenahi, mulai dari Trans Jakarta hingga MRT. Jika transportasi umum sudah nyaman, jumlah ditambah, frekuensinya sering, jangkauannya lebih luas dengan menyertakan angkot sebagai feeder. 

Budaya Punya Kendaraan Pribadi

Pertanyaan besar apakah para pemilik kendaraan pribadi itu mau pindah ke transportasi umum? Saya khawatir tidak akan terlalu signifikan, karena ada faktor lain seperti kebiasaan yang dicontohkan para pejabatnya-kecuali kalau para pejabat eselon atas dipaksa naik kendaraan umum hingga jadi contoh. Soalnya ada budaya bahwa memiliki kendaraan itu adalah status.

Belum lagi tayangan televisi, infotainment, sinetron, hingga iklan yang terus menggambarkan bahwa naik kendaraan pribadi ini punya gengsi juga faktor yang harus diperhitungkan. Belum lagi yang berprofesi dengan mobilitas tinggi, termasuk juga ke luar kota. Itu faktor pertama menurut pemikiran saya.

Faktor kedua ialah salah desain pembangunan merupakan penyumbang kemacetan. Bagaimana ceritanya dulu pusat komersial banyak berpusat di Sudirman, Thamrin, Kuningan, hingga S. Parman, Yos Sudarso dan sentra mandiri seperti Kelapa Gading? Kantor kantor pemerintahan juga banyak di kawasan itu? Bukankah titik kemacetan di daerah tersebut ditambah kawasan seperti Cawang, di mana mereka yang tinggal di sub urban harus mobilitas ke SCBD dan tempat bekerja lainnya.

Faktor ketiga keamanan. Memang di Transjakarta bahkan di kereta commuter pun relatif aman. Namun ketika keluar dan harus melintasi JPO dijamin tidak akan ada gangguan? Apakah jaminan keamanan itu bisa 24 jam? Jangankan pelaku kriminal orang kantoran kalau melihat gerombolan yang nongkrong membuat jantung berdebar. Belum lagi harus melalui gang dan jalan yang agak sepi.

Itu baru bagi mereka yang "sendirian" naik kendaraan pribadi, bagaimana dengan yang membawa keluarga, termasuk mengantar anak dan isterinya? Bagaimana dengan week-end, apakah mau keluarga kelas menengah itu bawa anak dan isteri ke Ancol naik Trans Jakarta, nah ke dalamnya bagaimana? Ke Mal sekadar untuk makan saja tidak mau.

Masih ada cara lain yaitu pembatasan kepemilikan mobil seperti satu rumah tangga hanya boleh punya satu mobil. Kalau isterinya bekerja dan lain arahnya ada kebijakan khusus dengan pajak khusus pula. Sementara anak mereka yang masih usia sekolah tidak boleh membawa kendaraan pribadi, diantar, naik bis sekolah atau naik transportasi umum.

Usia untuk mendapatkan SIM dinaikkan menjadi 21 tahun hingga otomatis membuat anak anak usia SMA tidak bisa lagi membawa sepeda motor. Itu juga mengurangi risiko kecelakaan dan juga kendaraan tidak dibawa anak-anak ABG. Tentunya penegakkan hukumnya juga keras. 

Naik Kendaraan Umum Mahal dan Tidak Efesien?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun