Mohon tunggu...
Juneman Abraham
Juneman Abraham Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

http://about.me/juneman ; Asesor Kompetensi - tersertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi; Adjunct Lecturer di Sekolah Tinggi Kepemerintahan dan Kebijakan Publik (SGPP Indonesia); Pengurus Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengubah Posisi Duduk Paslon, Mengubah Segalanya?

9 Februari 2017   18:19 Diperbarui: 10 Februari 2017   11:37 3847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: http://assets.kompas.com

Dalam psikologi politik, cara seseorang memproses informasi memegang peran penting dalam menentukan pilihan politiknya. Sebuah teori persuasi klasik dari Petty dan Cacioppo (1986), memberikan aplikasi pengetahuan bahwa kampanye politik yang mengandalkan gagasan substansial program---dan berbagai argumentasi logis di baliknya---akan efektif untuk para pemilih yang menggunakan "rute sentral" (central route) sejauh mereka peduli terhadap isunya, bersedia menaruh perhatian, mampu menggunakan rasionalitasnya, juga dapat serta bersedia menanggulangi pengecohan-pengecohan yang mereka hadapi saat mereka sedang mengolah informasi tentang kandidat politik.

Sebaliknya, kampanye yang mengandalkan hal-hal lain di luar ide dan penalaran akan efektif untuk para pemilih yang menggunakan "rute sekeliling" (peripheral route). Sebagai contoh, pemilih tipe ini akan lebih terpengaruh oleh kampanye yang mengandalkan perwajahan yang menarik, atau suasana kampanye yang semarak dengan kehadiran artis yang populer, bahkan bagi-bagi souvenir.

Bagaimana jika para kandidat politik berada dalam satu panggung debat? Kita andaikan bahwa yang menonton adalah audiens calon pemilih yang sama-sama mau dan mampu menggunakan rute sentral. Kita andaikan pula bahwa jawaban para kandidat sama berbobotnya. Apakah ada variabel lain yang melekat pada situasi debat yang berpotensi "memenangkan" salah satu kandidat?

Efek Urutan (selanjutnya disingkat: EU), atau "Order Effect", mungkin jawabnya. Mari kita simak terlebih dahulu EU dalam penelitian psikologi politik. Salah satu studi terbanyak tentang EU adalah penelitian bertemakan "ballot order effect" atau efek urutan kandidat dalam surat suara. Teori yang menjadi pangkal studi ini adalah teori Efek Posisi Berangkai ("Serial Position Effect") yang dikemukakan oleh Ebbinghaus (1885/1913). Inti teori ini mengimplikasikan bahwa urutan pertama dan urutan terakhir dalam sebuah rangkaian nama kandidat merupakan urutan yang diuntungkan. 

Sebabnya, karena objek pada urutan itu menyita perhatian ("primacy effect") atau karena terasa paling mutakhir dan dekat ("recency effect"). Pemilih cenderung mengalami pembiasan pikiran oleh EU. Studi-studi pada berbagai sistem pemilihan umum menemukan secara konsisten adanya efek posisi ini---namun tidak tanpa catatan (lihat di bawah ini)---dan ada pula ilmuwan yang menyimpulkan efek tersebut tidak memiliki signifikansi praktis (misalnya, Alvarez, Sinclair, & Hasen, 2006).

Nah, catatannya adalah efek urutan tersebut dapat menguat atau melemah bergantung pada beberapa faktor. Sebagai contoh, (1) Primacy effect lebih mempengaruhi para pemilih tanpa afiliasi politik atau, jikapun berafiliasi, afiliasinya adalah partai kecil (studi di Australia; King & Leigh, 2009); (2) Primacy effect semakin kuat---namun sebaliknya, recency effect semakin lemah---ketika jumlah kandidat semakin banyak (studi di Slovakia; Spác, 2016); (3) Primacy effect lebih mempengaruhi orang-orang yang kurang teredukasi dan dalam kontes pemilihan yang tidak melibatkan petahana (studi di Korea; Jun & Min, 2017); serta (4) Primacy effect berpengaruh pada pemilih yang memiliki perasaan ambivalen (perasaan campur aduk dan tidak pasti) terhadap para kandidat politik (studi di California; Pasek dan kawan-kawan, 2014). Sebagian studi menguji "ballot order effect" pada surat suara yang nama-nama kandidat politiknya disajikan secara vertikal. 

Namun demikian, efeknya juga ditemukan dalam konteks surat suara horizontal (menyamping), dan hal ini berkaitan dengan makna sisi tangan (misalnya, bagi orang kidal, posisi kiri "baik", posisi kanan "buruk") (Kim, Krosnick, & Casasanto, 2013). Salah satu teknik untuk mengendalikan EU disebut sebagai "counterbalancing", yaitu memutar atau mengacak urutan, walaupun risikonya adalah mahal dalam pembiayaan penyelenggaraannya (Drapper, 2016; "Order effects," 2017).

Dalam konteks di luar "ballot order effect", bila kita perhatikan, upaya memutar urutan, permutasi atau rotasi tanya-jawab kandidat, sudah dilakukan oleh Pantia Penyelenggara Debat Cagub & Cawagub DKI Jakarta. Kendati demikian, masih ada satu variabel yang mungkin menyusup mempengaruhi proses kognitif audiens (khususnya audiens yang menonton melalui televisi) ketika menyaksikan debat. Variabel tersebut masih terkait dengan urutan, yaitu posisi duduk (seat position atau seat arrangement), baik posisi duduk penonton (perseptor) maupun posisi duduk yang ditonton (aktor).

Di kalangan pemilih (perseptor), kedekatan posisi duduk antar-pemilih dalam sebuah ruangan tonton serta perbedaan (atau keserupaan) pandangan politik antar mereka selama menonton tayangan debat politik di televisi saling berinteraksi dalam mempengaruhi perubahan sikap politik (Ramanathan dan kawan-kawan, 2010). Dengan perkataan lain, terdapat dinamika pengaruh sosial di antara para pemilih sendiri berkenaan dengan posisi duduk mereka.

Bagaimana halnya dengan pengaruh posisi kandidat sebagai aktor debat yang diobservasi oleh para pemilih? Teori "perceptual salience" (kemenonjolan perseptual) (Taylor & Fiske, 1975, dalam Aronson, Wilson, & Akert, 2013) menjelaskan bahwa "The person (we) could see better was the person (we) thought had more impact on the conversation" (halaman 91). Untuk mengerti teori ini, bayangkanlah bahwa kita sedang mencoba beberapa titik posisi ketika menonton dua aktor debat (Aktor A dan Aktor B) di hadapan kita. Menurut teori ini, aktor yang paling dapat kita lihat dengan jelas akan kita anggap berpengaruh dan "memimpin" dalam debat.

Mengubah Posisi Duduk Paslon, Mengubah Segalanya?
Mengubah Posisi Duduk Paslon, Mengubah Segalanya?
Pada gambar di atas (sumber: Aronson dan kawan-kawan, 2013, halaman 90), dalam sebuah situasi perbincangan yang identik, antara Aktor A dan Aktor B, Pengamat A ternyata menilai Aktor A lebih kompeten daripada Aktor B. Pengamat B menilai Aktor B lebih kompeten daripada Aktor A. Sementara itu, Pengamat A+B menilai kompetensi Aktor A dan B adalah lebih-kurang sama.

Carol Goman (2011), seorang ahli bahasa tubuh, menyatakan, "Seating positions may even help create leaders", dan menambahkan bahwa posisi di tengah ("visually central") menguntungkan aktornya (bandingkan juga: Quora, 2016). Tentu saja, kemenonjolan perseptual juga dihasilkan oleh hal-hal lain di luar faktor posisi duduk, seperti aksi yang "tidak biasa" dari aktor debat (lihat juga: Röser, Krumnack, & Hamburger, 2013). Jangan dilupakan juga bahwa hal ini masih dibalut dengan kenyataan bahwa "Television also has a built-in situational bias regarding style of delivery .... [T]elevision gives the viewer a ringside seat at an event that has its own intrinsic developmental form." (Wheeler, 1962).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun