Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik

Novanto dan Hary Tanoe : Berbeda dan Memang Tak Sama

23 Juli 2017   14:45 Diperbarui: 23 Juli 2017   14:52 1233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak yang tak pernah bisa memahami bagaimana cerita sesungguhnya dari kasus-kasus mencengangkan yang melibatkan seorang Setya Novanto. Sebelum ini, semua tudingan yang disangkakan padanya sering berakhir dengan status tidak -- atau belum -- terbukti sebagai sebuah kejahatan. Sebut saja kasus 'cessie' Bank Bali yang mencuat beberapa belas tahun lalu. Begitu juga saat peristiwa pencatutan nama Presiden Jokowi terkait divestasi Freeport yang diplesetkan sebagai drama 'papa minta saham' dan menghebohkan itu. Diantara kedua peristiwa itupun masih terdapat sejumlah kasus lain yang mengkaitkan namanya.

Tapi kali ini -- pada kasus mega-korupsi e-KTP yang diduga melibatkan sejumlah wakil rakyat, pejabat pemerintah, dan pengusaha yang merugikan negara hingga triliunan rupiah -- status dugaan keterlibatan kader penting partai Golkar itu, telah resmi ditingkatkan sebagai tersangka. Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pula! Lembaga amanah Reformasi 1998 yang sejak berdiri hingga hari ini, selalu memiliki bukti kuat dan meyakinkan yang mendasari setiap ketetapannya. Keraguan publik bahwa kasus yang sesungguhnya sangat menjijikkan itu hanya bagian dari 'politik gertak sambal', segera beranjak sirna. Bahwa status tersangka belum memiliki kepastian hukum tetap sebelum sidang pengadilan berakhir, adalah soal lain.

***

Berdasarkan fakta lapangan yang terjadi selama ini, adalah wajar jika publik luas masih menyisihkan keraguan pada kelanjutan proses hukum yang menimpa sosok lainnya yang bernama Hary Tanoesoedibjo. Kasus-kasus yang ditangani lembaga penegak hukum konvensional memang sering berakhir dengan antiklimaks. Mulai dari penghentian perkara hingga putusan pengadilan yang akhirnya membebaskan terdakwa karena tak terbukti bersalah.

Perkara Hary Tanoe berawal dari pesan singkat yang dikirimnya kepada Kasubdit Tindak Pidana Khusus terkait kasus perpajakan Mobile 8, salah satu perusahaan dibawah kendalinya yang bergerak di bidang telekomunikasi. Sepintas memang terkesan sepele. Seperti berbagai bentuk ungkapan kejengkelan masyarakat umumnya terhadap pejabat publik yang tak becus. Hal yang sesungguhnya cukup jamak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari kita sejak merdeka hingga hari ini. Pesan yang dikirim via sms tersebut berbunyi sbb:

"Mas Yulianto, kita buktikan siapa yang salah dan siapa yang benar. Siapa yang profesional dan siapa yang preman. Anda harus ingat kekuasaan itu tidak akan langgeng. Saya masuk ke politik antara lain salah satu penyebabnya mau memberantas oknum-oknum penegak hukum yang semena-mena, yang transaksional yang suka abuse of power. Catat kata-kata saya di sini, saya pasti jadi pimpinan negeri ini. Di situlah saatnya Indonesia dibersihkan."(https://news.detik.com/berita/d-3564171/jaksa-agung-mengaku-tak-kejar-target-soal-perkara-sms-hary-tanoe)

+++

Saya bukan ingin membela Hary Tanoe. Juga tak bermaksud menyudutkan Setya Novanto. Tapi berharap agar kedua proses hukum terhadap mereka masing-masing bisa berlangsung seadil-adilnya. Tidak dikurang-kurangi tapi juga tidak dilebih-lebihkan.

Bagaimanapun, mereka berdua adalah 'turunan langsung' rezim Orde Baru yang setelah Soeharto mengundurkan diri pada hari Kamis, 21 Mei 1998, bermutasi ke habitat yang baru, lalu menggurita dan tumbuh semakin pesat menguasai jagad Indonesia ini. Mereka tak hanya menjangkau sektor ekonomi yang bernilai strategis tapi juga pada urat nadi politik dan simpul-simpul kekuasaan bangsa. Sebab pada kenyataannya, kombinasi kapital, politik, dan kekuasaan memang masih leluasa dan hampir segala-galanya mempengaruhi arah perkembangan negeri yang kita namakan Indonesia ini. Hal yang memprihatinkan, ketiga kekuatan itu acap ditawar-menawarkan untuk kepentingan sempit, melaksanakan niat-niat jahat yang merugikan negara, termasuk korupsi-kolusi-nepotisme.

Novanto diduga mendaya-gunakan jejaring dan pengaruh kekuasaannya, komunitas lingkungan warisan Orde Baru yang tak hendak 'move on', serta para oportunis mediocre yang menjamur di era Reformasi, untuk melaksanakan niat jahat memperkaya diri maupun mendahulukan kepentingan kroni di sekitarnya. Hal-hal demikianlah yang menyeruak dari balik skandal e-KTP -- dimana ia telah menjadi tersangka -- maupun kasus-kasus lain yang namanya pernah disangkutkan tapi tidak atau belum terbukti. Semacam upaya gotong-royong untuk menggerus kekayaan dan merugikan negara.

Sementara Hary Tanoe, bisnis dan kekuasaan yang dimilikinya hari ini, melejit dan berkembang pesat lebih dikarenakan perkawinan dari 'keberuntungan' dengan 'kecerdikan' dan 'kelicikan'-nya memanfaatkan situasi dan kondisi yang genting. Berbeda dengan Novanto, sejauh ini memang belum terdengar kabar tindak pidana korupsi yang menempatkan dirinya pada posisi tersangka. Dengan kata lain -- terlepas dari soal etika, sopan-santun, dan nilai-nilai kehidupan yang sifatnya sangat subyektif -- Hary Tanoe telah meraih semua capaiannya hari ini secara resmi dan legal. Setidaknya hingga kemudian terbukti berbeda atau sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun