Mohon tunggu...
Jemie Simatupang
Jemie Simatupang Mohon Tunggu... Administrasi - Tuhan Bersama Orang-orang Yang Membaca

Pedagang Buku Bekas dari Medan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Setelah Gayus Ingin Jadi Polisi

12 Januari 2011   03:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:41 1235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sekedar ilustrasi (sumber:4.bp.blogspot.com)

[caption id="" align="alignleft" width="354" caption="sekedar ilustrasi, karya Agus Suwage (sumber:4.bp.blogspot.com)"][/caption] Oleh JEMIE SIMATUPANG GAYUS TAMBUNAN—mau tak mau—kembali menjadi perhatian publik di negeri ini. Cemana tidak, setelah aksinya yang super rapi keluar tahanan dan plesir di sejumlah tempat—di dunia—kini kita dibuat terpesona[?] dengan pledoinya di pengadilan baru-baru ini: ia menawarkan diri menjadi staf ahli [polisi, jaksa, kehakiman, KPK] untuk membongkar jaringan kejahatan—mafia—yang ada di negeri ini, tak hanya yang kelas teri tapi sampai yang kakap bahkan hiu. “Cuma 2 tahun, saya akan bongkar sampai ke akar-akarnya!”—kira-kira begitu—kata Gayus. Barangkali ini membolak-balik logika kita. Selama ini formula yang kita amini secara massal untuk membersihkan yang kotor harus pakai penyapu yang bersih—membasmi kejahatan dengan orang yang baik. Gayus tidak. Resepnya: mengobati penyakit dengan penyakit. Yah, bisa jadi di dunia kedokteran ini logis [vaksinasi misalnya], tapi di dunia kriminal adakah penjahat membasmi penjahat demi hukum? Tapi begitu, tak sedikit juga dari kita yang berseru: beri dia—Gayus—kesempatan. Bahkan ada pula wacana mempahlawankannya. Kita tampaknya memang, meminjam Yasraf Amir Piliang [YAP], berada dalam situasi dimana batas-batas benar-salah, baik-jahat, pahlawan-pecundang, moral-amoral menjadi simpang siur—kabur. Simulakra. Tak bisa lagi kita membedakan di antara keduanya. Dan Gayus adalah salah-satu kekaburan kita ketika mengamininya sebagai pahlawan.Kondisi begini memang bisa saja terjadi, di tengah ketidakpercayaan publik terhadap insitutusi penegak hukum yang selama ini lumpuh di negeri ini. Hiper-kriminalitas Super Gayus. Begitu terloncat dari mulut kita melihat bagaimana dia bisa keluar dari tahanan untuk sekedar plesir ke berbagai tempat di dunia—ke Singapura, Thailand, Makau, Bali, dan lain tempat lainnya. Ia bisa membayar petugas tahanan, petugas imigrasi, dan lain-lain pihak untuk mendukung kejahatan yang dilakukannya ini. Begitu rapi. Begitu terencana. Dan busyet, tak ada tampang salah ketika kejahatannya itu kemudian terbongkar di hadapan publik. Dia cuma mengakui, “Ya, yang di Bali itu saya!” lain kali, “Oo, yang itu juga saya!” Selain sakit jiwa, bisa jadi ini mungkin apa yang dibilang sebagai hiper-kriminalitas. YAP, dalam salah satu bukunya, menyatakan bahwa hiper-kriminalitas terjadi ketika kejahatan berkembang sedemikian rupa, sehingga mencapai tingkatnya yang sempurna. Artinya kejahatan telah menjadi satu wacana yang direncanakan, diorganisir dan terkontrol secara sempurna melalui tekhnologi tinggi, menajemen tinggi, dan politik tinggi sehingga melampui otoritas hukum, kemampuan akal sehat, dan jangkauan nilai-nilai budaya. YAP sendiri dalam hal ini meminjam The Perfect Cirime-nya Jean Baudrillard. Ya, dengan melihat tafsiran YAP, kita bisa tercenung sejenak seraya mengangguk-anggukkan kepala: fenomena apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus ini. Juga sebenarnya dengan kejahatan-kejahatan lain yang tak [belum] terungkap: century gate, miranda gate, dlsb. Lihat betapa sempurnanya kejahatan itu, terencana, rapi, dan terarah. Semua disiapkan dengan matang, bahkan ketika kalau saja kejahatan itu terbongkar. Dan kita pun dibuat berselisih pendapat dengan borok yang mereka lakukan—karena tak terlihat lagi sebagai layak kejahatan. Ia telah mempui batas realitas kejahatan itu sendiri. Pengadilan Semu Di tengah kejahatan yang melampui realitas itu yang terjadi kemudian, kala lelaku itu terungkap, ketidakberdayaan penegak hukum. Ia umpuh. Karena bisa jadi mereka juga bagian dari kejahatan itu, pun kalau tidak, para aktor kejahatan ini bisa membungkam—dengan uang, kekuasaan, dll—mereka. Apa yang kita lihat di pengadilan kemudian hanyalah pengadilan semu belaka. Layaknya pengadilan semu kalau ingin menamatkan pendidikan hukum di negeri ini, semua hanya seolah-olah semata. Bayang-bayang. Dari hakim sampai terdakwa semua semu belaka. Begitu juga kemudian proses pengadilan, tak lain bak sinetron di televisi—yang malah kadang tak menghibur—semata. Hanya simulasi. Cuma permainan—layaknya anak-anak—belaka. Dalam bahasa yang lebih filosofis—sebagaimana dikatakan YAP dalam “Mengadili Bayang-bayang”—bahwa berbagai perisitiwa yang digelar di pengadilan tak lebih dari rangkaian tontonan hukum yang semu (simalacrum of justice), yang memproduksi iring-iringan image kebenaran hukum (image of truht), ketimbang kebenaran hukum yang hakiki (the truth); yang hanya mengusur bayang-bayang (fatamorgana) obyek hukum ketimbang obyek hukum yang sesungguhnya. Begitu juga kalau kita lihat perkaya Gayus. Wacana bahwa dia hanyalah kambing hitam dari kasus besar kerap kita dengar. Bahwa Gayus hanyalah bagian dari kaki tangan mafia pajak yang ada di negeri ini. Tapi penegak hukum seolah tuli. Mereka terus asyik mempertontokan episode Gayus, dan kita dipaksa menerima bahwa Gayuslah satu-satunya yang harus dipersalahkan dalam perkara ini, tidak yang lain. Wajar,  ketika terus dijadikan kambing hitam, Gayus kemudian berontak. Ia—pastinya—paham benar siapa orang-orang kuat yang bermain di balik perkaranya. Dalam pledoinya kemudian menawarkan diri menjadi orang yang terdepan—mengawal komitmen SBY—memberantas korupsi. *** TERAKHIR SAYA TERINGAT lagi pada alm. Satjipto Rahardjo—profesor hukum progresif itu: sudahkah kita—terutama penegak hukum—bertingkah laku, bertindak, dan terutama berhukum dengan hati nurani? Yah, di kala batas-batas moral benar-salah, baik-buruk, dlsb. jadi samar, ketika kejahatan berubah menjadi hiper-kriminalitas yang tak kentara lagi dimana jahatnya, ketika pengadilan hanya sandiwara semata, apa kata nurani kita? Kalau saja hati nurani kita—sekali lagi: teristimewa pengak hukum—masih hidup, saya yakin dia masih bisa berkata: inilah yang benar, dialah si pecundang, dan inilah dalang dari semua kasus ini. Semoga—walau ini harapan utopi semata—kasus Gayus tak berjalan semacam kasus-kasus lain di negeri ini. Hangat untuk kemudian dipeti-eskan, dan kita lupa sama sekali—karena drama baru telah pula disuguhkan![] JEMIE SIMATUPANG, kompasianer asal Medan, pernah didapuk menjadi hakim pengadilan semu.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun