Berita kaburnya ratusan napi dari rumah tahanan Sialang Bungkuk Kelas II B Pekanbaru Riau, kisah over capacity-nya rutan-rutan di Indonesia hingga masifnya pemberitaan ditahannya Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyita perhatian publik beberapa hari yang lalu.
Bicara soal penjara kurang lebih 8 tahun silam, saya diajak salah seorang petinggi Bank Syariah Mandiri untuk berbuka puasa bersama. Waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Acara ini terasa istimewa karena bertempatnya di Lembaga Pemasyarakatan kota Tangerang! Dan sore itu – untuk pertama kali – saya masuk ke sebuah komplek penjara. Tempat dimana raga seseorang – untuk sementara waktu – terenggut kemerdekaannya.
Meskipun sepintas para napi merasakan kenikmatan berbuka puasa bersama kami, namun sangat jelas kalau sebagian besar mereka merasakan beratnya beban hidup tanpa kemerdekaan. Hidup dalam serba keterbatasan dan ketidaknyamanan di penjara, dengan status terpidana tentu bukan sebuah kehidupan yang diinginkan oleh mereka. Udara kebebasan tak mereka peroleh hingga batas masa hukuman berakhir.
Namun demikian, sejarah mencatat, justru di penjaralah kematangan diri dan proses transformasi lahiriah dan batiniah seseorang menemukan momentumnya. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai sosok-sosok extra ordinary yang kita kenang sebagai tokoh besar. Mereka-mereka ini mendekam dalam penjara dalam waktu yang tak bisa dibilang singkat. Belasan bahkan puluhan tahun waktu yang harus mereka lalui di balik jeruji. Bagi banyak tokoh keluar masuk penjara adalah sebuah konsekuensi yang harus mereka hadapi dalam perjuangan menegakkan nilai-nilai kebenaran yang mereka yakini.
Raga boleh saja dipasung. Tetapi tak ada seseorang pun yang mampu membawa jiwa dan pikiran tokoh-tokoh ini masuk ke dalam bui. Jiwa dan pikiran mereka mampu terbang menembus jeruji dan tembok-tembok penjara. Soekarno, Pramoedya Ananta Toer, Nelson Mandela, adalah sedikit dari tokoh besar tersebut. Â
Soekarno paham betul bahwa penjara adalah konsekuensi dari perjuangannya membuat negeri ini merdeka dari cengkeraman penjajah. Pledoi ‘Indonesia Menggugat’ yang berisi gugatannya pada pemerintah kolonial waktu itu membawanya masuk ke penjara Sukamiskin, Bandung. Keyakinannya akan kebenaran dan perjuangannya melawan rezim Orde Baru menyeret Pramoedya Ananta Toer dibuang ke Pulau Buru. Tempat dan masa yang justru disanalah lahir karya besar Pram Tetralogi Pulau Buru atau Tetralogi Bumi Manusia.Â
Nelson Mandela menjalani masa kurungan 27 tahun karena menentang pemerintahan apartheid di Afrika Selatan. Kini kita mengenangnya sebagai tokoh besar karena mampu menyatukan bangsa tersebut setelah pecah akibat politik perbedaan warna kulit. Dari penjaralah dia belajar arti memaafkan dan tidak mendendam khususnya kepada musuh-musuh politiknya. Â
Bila kita cermati benang merah ketiga tokoh tersebut, maka penjara hanya bisa  merenggut kebebasan raga seseorang. Namun, jiwa dan pikiran tidak akan pernah bisa dipasung lebih-lebih dimatikan.
Kini yang terjadi justru sebaliknya. Banyak kita temui di masyarakat mereka yang hidup bebas secara raga namun dengan jiwa dan pikiran terpenjara. Dan ironisnya, itu banyak terjadi terhadap anak-anak kita. Baik saat mereka berada di rumah dan di sekolah. Tempat utama dimana seharusnya kebebasan raga, jiwa dan pikiran mereka bisa bersemi.
Selamat belajar!
#30DWC6 #Day3