"Karakter pertama dan utama yang harus ditumbuhkembangkan dalam diri anak-anak kita adalah rasa percaya diri. Karena dengan modal inilah mereka akan mampu tumbuh menjadi pembelajar mandiri (@ayah_rayya)".
Â
Menjelang dimulainya tahun ajaran baru tahun lalu, Mendiknas -- yang waktu itu masih dijabat oleh Anies Baswedan (sekarang Gubernur DKI Jakarta) -- mengeluarkan himbauan untuk para orang tua supaya mengantarkan putra-putri mereka pada hari pertama masuk sekolah. Â Diyakini oleh menteri bahwa ada banyak sekali manfaat dari aktivitas mengantar anak di hari pertama masuk sekolah ini. Tak hanya interaksi antara orang tua dan guru, pun antar orang tua pun bisa saling mengenal. Pada akhirnya, komunikasi dan interaksi ini diharapkan akan meningkatkan rasa nyaman, aman dan percaya diri saat anak belajar di sekolah. Dengan modal ini maka anak-anak pun akan mampu mengoptimalkan potensi yang ada dalam dirinya.
Alasan lain yang dikemukakan oleh Mendiknas adalah karena hari pertama -- khususnya bagi anak-anak yang masuk kelas 1, 7 dan 10 -- adalah hari dan momen bersejarah. Itulah hari dimana mereka mulai menapaki jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi. Mereka masuk ke sekolah-sekolah baru. Bertemu dengan guru-guru yang baru, berkenalan dengan teman-teman baru, dan berinteraksi dengan lingkungan sekolah yang baru. Momen bersejarah ini layak untuk 'dirayakan' bersama dengan orang tua mereka. Â
Sayangnya, ketika mendiknas diganti himbauan baik ini pun lenyap tak berbekas. Hari pertama masuk sekolah pun kembali menjadi hari-hari biasa seperti yang terjadi sebelum tahun lalu. Momen istimewa dan bersejarah ini pun tak lagi menjadi perhatian bagi para orang tua. Meskipun saya rasa masih banyak para orangtua yang mengantarkan --bahkan menunggui -- putra putrinya sekolah di minggu-minggu pertama masuk sekolah.
Bicara mengantar sekolah di hari pertama ini, ingatan saya terbang kembali di saat saya dan istri mengantar anak-anak kami masuk sekolah di Darwin, Australia. Kota kecil di bagian utara benua kanguru, yang kami tinggali hampir lima tahun. Apakah yang membedakan aktivitas mengantar sekolah ini dengan di Indonesia? Adakah aktivitas ini sampai harus menjadi sebuah himbauan yang dikeluarkan pemerintah? Dan apakah kami para orang tua hanya mengantar anak pada hari pertama saja?
Sebagai murid yang berasal dari negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari mengharuskan kedua anak kami masuk ke kelas Intensive English Unit di Anula Primary School (Sekolah Dasar Anula). Izza, anak pertama saya, masuk Intensive English Unit di kelas 5. Sementara adiknya, Ayya, mulai kelas Intensive English Unit ketika masuk kelas transisi atau selevel dengan TK B di Indonesia. Jadi pemerintah menyediakan fasilitas kelas khusus ini di beberapa sekolah publik (negeri) saja. Jadi tidak semua sekolah mempunyai fasilitas ini. Â
Anak-anak yang masuk di kelas IEU ini berasal dari beragam negara dan latar belakang. Ada dari India, Rusia, Cina, Jepang, Korea, negara-negara Amerika Latin dan juga  Afrika. Dalam kondisi seperti ini, saya membayangkan kalau anak-anak saya akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan teman-temannya dan mengikuti pelajaran di kelas. Bagaimana tidak, pengantar yang dipakai guru adalah bahasa Inggris.
Namun, kekuatiran saya ini ternyata tak terbukti. Satu hal yang membuat takjub adalah bahwa kemampuan adaptasi anak-anak yang sangat luar biasa. Jiwa anak yang bebas, tak ada rasa ragu, tak ada rasa takut dan malu, membuat anak saya bisa cepat berinteraksi dengan teman-teman barunya. Meskipun banyak dari mereka yang menggunakan bahasa tarzan alias bahasa isyarat!
Ada sebuah fenomena menarik yang bisa dijumpai di Darwin dan kota-kota  lain di seluruh Australia serta kota-kota di negara maju lainnya yakni tidak adanya pembantu atau asisten rumah tangga ataupun baby sitter pada sebuah keluarga. Mahalnya upah minimum untuk mempekerjakan para pembantu ini menjadi alasan pertama dan utama. Tak hanya bagi mereka yang berpenghasilan pas-pasan. Pun terjadi pada mereka yang kaya. Sangat jarang yang memiliki pembantu rumah tangga. Sehingga nyaris tak pernah saya lihat anak-anak bersekolah diantar orang lain selain orangtua mereka sendiri. Â
Dengan situasi dan kondisi seperti ini, maka tak hanya hari pertama para ayah dan ibu ini mengantarkan anak-anaknya ke sekolah. Namun, hari kedua, ketiga dan hari-hari selanjutnya pun mereka tetap mengantarkan anak-anaknya. Jadi mengantarkan anak-anak ke sekolah adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan orang tua. Tak ada himbauan apapun dari pemerintah untuk melakukannya.