Dinikahkan dengan pelaku atau memeliharan anak tanpa suami?
Sungguh dilematis pilihan orang tua. Dalam banyak kasus perkosaan atau hamil di luar nikah, orangtua dihadapkan pada pilihan yang sulit . Di satu sisi ada tanggung jawab moral orang tua terhadap anak yang terlanjur dikandung . Manakah yang harus didahulukan ? menyelamatkan anak sendiri dan bayi yang dikandung , atau menyelamatkan nama keluarga berikut semua konsekuensinya ?
Kasus ini pernah dialami oleh seorang kenalan . Seorang wanita muda diperkenalkan oleh kakak kandungnya kepada seorang pria dewasa . Tidak ada maksud untuk menjodohkan keduanya . Apa mau dikata sang pria jatuh cinta mati matian. Si wanita enggan bersikap kurang sopan . Melihat latar belakang pria ini, yang berprofesi sebagai aparat dan berasal dari keluarga baik baik, gadis ini yakin pria ini tidak mempunyai niat yang buruk . Apalagi kedua orang tua mereka saling mengenal .  Gadis ini dengan sopan menolak ajakan pria untuk bepergian jauh . Mereka hanya bertemu di rumah atas sepengetahuan orang tua si gadis .
Namun lama-kelamaan pria ini merasa tertantang untuk bisa membawa si gadis keluar dari area yang dikenal kedua keluarganya. Suatu hari pria itu menjemput gadis ini dari tempatnya bekerja (sebuah bank swasta) dengan berita bahwa kakak si gadis meminta bertemu di sebuah restoran . Tanpa curiga gadis ini mau diajak pergi . Malang bagi si gadis, dalam perjalanan terjadi peristiwa perkosaan .
Keluarga gadispun berang bukan kepalang. Apalagi saat pria mengatakan ini terjadi atas dasar suka sama suka. Kenyataan menunjukan gadis tersebut sempat melompat keluar dari Jip yang membawanya , sehingga mengalami cedera kaki dan lutut parah. Keluarga pria pun menawarkan solusi untuk menikahkan keduanya secara baik baik , sebagaimana niat sang pria sebenarnya adalah menjadikan gadis itu sebagai istri . Inikah solusi yang ideal ?
Jika dipandang dari sisi kedua keluarga , tentu ini solusi terbaik, secara moral, secara sosial . Namun lihatlah dari sisi si gadis . Ia mengalami trauma psikologis yang amat berat . Peristiwa perkosaan telah mengubah pandangannya tentang pria . Gambaran pria yang selama ini adalah pelindung bagi wanita (ayah dan 8 orang kakak lelakinya) mendadak buyar oleh peristiwa tersebut. Dengan bulat tekadnya ia mengandung dan membesarkan anak ini tanpa kehadiran suami . Gadis ini tidak sudi menikah dengan pria yang telah menyakiti dirinya . Jika pria itu mencintainya, mengapa ia menyakiti dirinya demikian keji? Dengan berani ia menentang orangtuanya yang telah setuju menerima tawaran dari keluarga pria untuk menikahkan keduanya.
Wanita ini membekali putranya dengan kasih sayang, didikan moral serta keberanian menghadapi dunia dalam status "anak di luar nikah" sebagaimana tercantum dalam akte kelahiranannya . Dalam pandangannya , ia telah menjaga kesucian diri dan keluarganya. Ia tidak merasa ternoda atas perbuatan orang lain yang menyebabkan dirinya menjadi hina. Anak yang hadir adalah miliknya, sehingga pria itu tak memiliki bukti apapun untuk mengambil putranya kelak.
Dalam banyak kasus hamil tanpa pernikahan, solusi menikahkan wanita korban pemerkosaan dengan seorang pria baik baik, terbukti sarat dengan masalah di kemudian hari. Mulai dari kondisi wanita yang mengalami trauma psikologis, berpengaruh terhadap pertumbuhan anak, kelangsungan rumahtangga yang mau tidak mau menjadi timpang , adanya pemalsuan dokumen kelahiran dan identitas biologis anak . Sampai munculnya skandal yang di kemudian hari beresiko merugikan pihak keluarga .
Kembali ke kisah kenalan saya, wanita ini mendobrak semua ketakutan, mengambil resiko yang mat besar dengan memutuskan membesarkan anak yang ia kandung. Bukan hanya membesarkan , ia berjuang dengan bekerja demi mampu mengirimkan anak itu ke sekolah yang terbaik di kotanya. Keduanya hidup terpisah dari orang tua dan saudara saudara Wanita ini pula sepakat menanggalkan nama keluarga yang melekat dalam dokumen resminya . Ia tidak ingin keluarga besar menanggung malu atas keputusannya .
Jika mempertimbangkan sikap apa yang akan diambil , masyarakat pd umumnya memilih menikahkan anak yg hamil di luar nikah, padahal memelihara anak tanpa menikah juga layak diterima sebagai pilihan . Krn anak tdk menanggung dosa yag diperbuat orang tuanya . Anak dari hasil "kecelakaan" telah berjuang dlm kondisi yang luar biasa sejak pertama kejadian . Penolakan atas diri anak tersebut dimulai dari saat ia masih benih , ketika ia lahir, tumbuh dlm kondisi timpang (bila ibunya kemudian tdk menikah) , bahkan negara mengingkari legalitasnya ( akte kelahirannya sulit mendapat persetujuan di catatan sipil) , Asuransi meragukan aplikasi perlindungan yang diajukan , Pihak sekolah mengerutkan kening saat membaca biodata dirinya saat mendaftar .
Terlepas dari sisi moral bahwa memiliki anak diluar pernikahan adalah kondisi yang tidak lazim dan sulit diterima oleh masyarakat . Ada baiknya kita sebagai masyarakat mengubah cara pandang kita dari fokus ke perbuatan orang tua (yang menyebabkan anak terlahir tanpa ayah yang jelas) menjadi lebih fokus kepada kepentingan dan kelangsungan hidup anak dan ibunya . Hidup mereka harus terus berjalan . Si ibu harus melanjukan hidup dan menafkahi diri sendiri dan anaknya . Anak memiliki hak untuk menerima perlakuan setara dari masyarakat . Sering sekali saya melihat wanita yg memiliki anak di luar nikah hidup serba salah. Si Ibu statusnya single, status pernikahan dlm KTP tidak menikah. Menyembunyikan keberadaan anaknya berarti mengingkari naluri yang telah terlanjur terbentuk, ia adalah seorang ibu. Memelihara anaknya berarti menanggung resko "pertanyaan" yang enggan dijawab dari lingkungannya ( tetangga, pak RT, rekan kerja) Wanita demikian tdk bisa leluasa sekedar berbagi cerita tentang bagaimana perilaku anaknya di rumah ,layaknya yang dibicarakan ibu ibu di manapun mereka berkumpul . Apalagi adanya cap " jangan bergaul dengan anak haram" yang kerap didengung dengungkan oleh keluarga baik baik . Saya sering mendengar pergunjingan di antara kaum ibu ttg dengan siapa anak anaknya bergaul . "ucapan" anak haram, anak hasil kecelakaan terdengar amat menyakitkan dan terlalu menghakimi.
Bandung, Maret 2013