Kenapa sih kok ngga ada yang bisa menerima aku di dunia ini? Bahkan orang tuaku pun menginginkan aku yang berbeda, mereka lebih mengidolakan diriku yang aku topengi? Kok mereka suka ya melihat aku yang palsu ketimbang melihat aku yang asli? Apakah memang aku ngga pantas hidup dengan segala kenyataan dan keaslian dalam diriku?
Kapan ya mereka bakalan bisa menerimaku yang asli? Apakah mereka harus menunggu kepergianku dulu sehingga mereka baru tahu bahwa aku sangat menderita memakai topeng ini? Kapan aku bakalan bisa membuka topeng ini dan membuat orang melihat wajahku yang asli tanpa adanya sehelai pun kepalsuan?
Siapa sih itu yang ada di dalam cermin? Itu bukan aku! Itu adalah sosok yang mereka inginkan. Tiap kali aku melihat cermin, hatiku selalu menjerit, kenapa aku tak pernah bisa melihat diriku di cermin? Kapan sih aku bisa melihat diriku sendiri di dalam cermin itu?
Apa memang ini ya yang dirasakan oleh semua leluhurku? Apa mereka semua juga harus menipu semua orang dengan memakai sebuah topeng? Haruskah mereka semua hidup dalam kehidupan yang bukan milik mereka, namun lebih ke milik orang lain?
Tentu aku sedih memikirkannya. Seolah -- olah seperti sesuatu yang dinamakan kehendak bebas adalah suatu harta karun yang takkan ditemukan. Sama sepertiku yang saat ini gagal memenuhi permintaan dari orang tuaku. Karena terkadang memang aku tak bisa melawan diriku sendiri untuk  menunjukkan, siapa aku sebenarnya, kepada semua yang kutemui. Memang sudah kucoba sebisaku untuk menjadi seperti yang mereka inginkan, namun dia yang didalam cermin tetap bukanlah aku yang asli.
Siapa sosok yang aku lihat di cermin itu? Yang melihatku penuh dengan mata penuh kesedihan dan air mata yang sesekali mengalir membasahi pipinya? Mengapa ia terasa begitu sama dengan apa yang aku rasakan sekarang ini? Apakah dia juga senasib dengan aku yang menyedihkan ini? Atau dia hanya menunjukkan empatinya kepadaku?
Lihatlah aku, aku takkan pernah bisa menjalankan peranku dengan baik, ataupun menjadi anak yang persis seperti apa yang diinginkan orang tuaku. Apakah mungkin, memang aku tak ditakdirkan untuk menjalani hidup ini? Sekarang aku sadar, kalau aku bertingkah selayaknya yang aku inginkan, aku akan mencoreng nama baik keluargaku.
Siapa orang yang kulihat di cermin itu? Yang melihatku penuh rasa perih dan kegalauan? Mengapa aku tak melihat diriku sendiri di cermin yang tepat dihadapanku, melainkan orang yang entah siapa tak ku kenal? Entah kenapa sering kali tak bisa kupungkiri kalau memang aku tak bisa membohongi diriku sendiri. Kapankah aku akan melihat diriku, di dalam cermin yang berada di depanku ini?
Maka mungkin telah tiba saatnya kita berpisah, dan mungkin apabila diizinkan, nanti kita akan dipertemukan kembali. Selamat tinggal keluargaku. Kalian akan memperoleh hidup yang lebih baik tanpa harus memelihara kegagalan seperti aku ini.Â
Pada akhirnya, biarkan aku melihat diriku sendiri di dalam cermin. Biarkan aku menjadi nyata dalam hidupku, karena aku ingin hidup dalam dunia dan kehidupanku sendiri.