Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Salat Tarawih Bermandi Keringat di Masjid Raya Sumatera Barat

27 Mei 2017   11:30 Diperbarui: 27 Mei 2017   16:57 2172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Telah lama saya berkeinginan untuk masuk dan beribadah di Masjid Raya Sumatera Barat. Sebagai perantau Minang di Jakarta, kalau saya lagi pulang ke Padang, saya sudah beberapa kali berkunjung saat masjid terbesar dan termegah di Sumatera Barat ini sedang dalam tahap pembangunan. Tapi belum lagi merasakan masuk ke dalam setelah masjid ini dibuka tahun 2016 yang lalu.

Akhirnya kesempatan itu saya dapatkan pada kegiatan ibadah shalat tarawih pertama di bulan suci Ramadhan tahun ini, Jumat (26/5) malam kemaren. Ada perasaan haru begitu menapaki bagian dalam masjid yang sudah disesaki jamaah. Mengacu pada data kapasitas masjid yang mampu menampung 4.000 sampai 5.000 orang, maka diperkirakakan pada malam itu ada 4.000-an jamaah.

Karpet permadani mewah berwarna merah, hadiah dari Pemerintah Turki, terhampar menutup seluruh lantai bagian dalam masjid. Mihrab tempat imam memimpin shalat dan sekaligus tempat podium penceramah berbentuk batu Hajar Aswad yang ada di Masjidil Haram, Mekah, terlihat menarik.

Dulu sewaktu lagi dalam proses konstruksi, saya pernah menduga bahwa bahwa yang lagi dibangun adalah sebuah stadion olahraga atau semacam convention center. Soalnya tidak ada kubahnya sebagai ciri-ciri umum sebuah masjid. Tapi di situlah istimewanya masjid ini, ternyata dari dalam tetap ada lingkaran kubah di langit-langit bagian tengah. Hanya saja di atapnya dikelilingi ornamen besar berhiaskan kaligrafi berwarna kuning emas, sehingga kubahnya tidak terlihat dari luar.

Justru dari luar atap masjid terlihat melengkung ke bawah atau cekung, seperti rumah gadang yang terdiri dari empat gonjong lancip di setiap sudut, tapi tanpa ada gonjong di bagian tengahnya. Konon hal ini sebagai lambang dari bentangan kain yang mengusung batu Hajar Aswad, sewaktu ada perselisihan di antara empat kabilah dalam menentukan siapa yang berhak memasang batu tersebut di Ka'bah. Lalu Nabi Muhammad mengambil kain dan wakil ke empat kabilah masing-masing memegang ujung kain di empat sisinya.

Sambil saya celingak celinguk terdengar pengumuman dari pengurus bahwa masjid ini meskipun sudah menghabiskan lebih dari Rp 250 miliar, tapi masih butuh tambahan dana untuk pembangunan empat buah menara, area parkir untuk 1.000 mobil (terbayang tadi saya parkir di trotoar seperti juga banyak mobil lainnya karena di halaman masjid sudah penuh), serta penyelesaian lantai tiga.

Saya dan juga semua jamaah yang amat banyak itu, pastilah berniat untuk beribadah, sehingga rasanya terlalu manja jika menuntut suasana nyaman seperti menonton di bioskop mewah. Tapi perkenankan saya, dengan memohon maaf sebelumnya, bahwa kelihatannya masjid sebesar itu sangat minim sirkulasi udara.

Meski di bagian bawah terbuka, tapi separoh ke atas tertutup oleh ornamen khas yang mengelilingi bangunan, yang telah saya singgung di atas. Amat berbeda jika dibandingkan misalnya dengan Masjid Istiqlal Jakarta, angin masuk dari bagian atas dari semua penjuru. Sekiranya ada kipas angin gantung di beberapa titik, tentu bisa membantu.

Ketika shalat tarawih dimulai, baru rakaat kedua keringat di wajah saya mengucur deras. Saya tahankan saja. Ternyata jamaah di sebelah kiri dan kanan sudah berkali-kali mengusap keringat dengan tangannya. Shalat tarawih di Masjid Raya ini terdiri dari empat kali dua rakaat dan diakhiri shalat witir tiga rakaat. Dugaan saya karena tidak tahan kepanasan, banyak jamaah yang keluar masjid sebelum shalat witir, bahkan banyak yang tidak tuntas shalat tarawih.

Selain masalah angin, saya juga mencatat masalah lampu. Untuk masjid yang bangunannya berukuran 65 kali 65 meter ini, belum lagi halamannya yang amat luas, tentu butuh penerangan yang memadai agar kemegahannya terlihat maksimal. Tapi saya tidak tahu, apakah malam itu ada masalah dengan penerangan, atau untuk penghematan, masjid terlihat temaram.

Namun bagaimanapun juga saya bersyukur bisa shalat tarawih di masjid kebanggaan urang awak ini. Bagi pembaca Kompasiana, berikut beberapa foto terkait tulisan di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun