Sudah beberapa bulan Moda Raya Terpadu (MRT) atau mass rapid transit beroperasi di ibu kota, sesuatu yang dulu rasanya seolah tak mungkin terwujud. Lumrah bila pada awalnya disambut dengan euforia oleh warga Jakarta.
Kehebohan memperlakukan stasuin MRT seperti berkunjung ke objek wisata, tak terelakkan lagi. Ada keluarga yang mengggelar tikar dan makan bersama di peron stasiun. Tingkah polah para penumpang yang berfoto selfie di dalam gerbong MRT pun jadi pemandangan biasa.Â
Lalu ketika kereta menyumbul ke atas tanah dari sebelumnya melaju kencang di bawah tanah, atau sebaliknya, dari melayang di atas jalan raya kemudian menukik ke bawah tanah, akan disambut sorakan meriah para penumpang.
Tapi sekarang situasinya sudah mulai normal. Kalaupun baru-baru ini MRT jadi objek pemberitaan media massa, itu karena mendapat kehormatan terpilih menjadi tempat pertemuan dua negarawan Jokowi dan Prabowo sebagai momentum rekonsiliasi.
Nah, dalam kondisi euforia yang mulai surut tersebutlah, akhirnya saya berkesempatan juga menjajal moda transportasi yang telah memakan anggaran demikian mahal itu, tapi sebanding dengan kebanggaan menjadikan Jakarta sejajar dengan kota-kota utama dunia.
Kami memulainya dari Stasiun Bundaran Hotel Indonesia (HI). Menuruni sekian banyak anak tangga bagi saya yang tak lagi muda, harus saya lakukan dengan pelan-pelan. Tak ada escalator yang langsung dari mulut stasiun, meskipun nantinya di beberapa tempat saya menemukan dan menggunakannya.
Ada dua pilihan dalam membeli tiket, lewat loket dan lewat mesin yang dioperasikan secara mandiri oleh pelanggan. Saya memilih lewat loket meskipun mengantre cukup panjang.
Petugas loket tampaknya kurang cekatan sehingga satu orang butuh waktu 2 sampai 4 menit untuk bisa mendapatkan kartu yang telah diisi saldo sesuai tarif ke stasiun tujuan.