Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Salam Tempel Lebaran, Kriteria Pemberi dan Penerima

7 Juni 2019   10:24 Diperbarui: 7 Juni 2019   13:30 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi salam tempel untuk anak di hari raya (sumber:iprice.co.id)

Sewaktu keliling ke beberapa rumah famili dalam rangka berlebaran, saya selalu datang dengan full team, saya, istri, dan tiga orang anak. Cuma anak-anak saya tersebut mulai bingung dengan peranannya, khususnya menyangkut budaya "salam tempel" karena dari kecil mereka terbiasa menerima dari tuan rumah yang dikunjungi atau tamu yang datang ke rumah kami.

Selain itu anak-anak saya juga mengerti kalau saya sendiri atau istri saya juga rutin memberikan salam tempel buat anak-anak yang ditemui di rumah tempat bertamu atau yang diajak orang tuanya datang ke rumah kami.

Masalahnya, status anak-anak saya sudah berbeda, meski masih tetap ikut orangtua, dalam arti belum menikah. Yang pertama sudah lulus sarjana dan baru bekerja dengan status magang. Yang kedua seharusnya sudah tamat kuliah, tapi lagi mandek dalam penyelesaian tugas akhir. Yang bungsu masih kuliah di tahun kedua.

Jelas mereka bukan anak-anak lagi. Tapi ternyata masih ada yang memberi salam tempel pada ketiga anak saya tersebut. Yang tua menolak mentah-mentah, yang tengah ragu-ragu dan yang kecil menerima dengan senang hati.

 

Dok. scaleup.id
Dok. scaleup.id
Memang kriteria penerima salam tempel relatif longgar. Namun dari pengalaman saya, dari bayi yang sama sekali belum mengenal uang sampai sarjana yang masih nganggur dan karenanya juga belum menikah (bagi laki-laki), masih dapat salam tempel. 

Itupun dengan catatan, biasanya lelaki yang sudah berusia 25 tahun tapi belum punya pekerjaan, akan malu ikut orangtuanya berlebaran. Kalau ada tamu datang ke rumah, ia coba bersembunyi di kamar.

Sedangkan bagi perempuan yang sudah menikah, meski belum punya pekerjaan formal (ibu rumah tangga sebetulnya adalah pekerjaan mulia), otomatis menggugurkan haknya untuk dapat salam tempel.

Tapi itu kriteria versi keluarga saya atau keluarga istri saya. Jadi kalau anak saya mengakunya sudah ada job, statusnya otomatis berubah menjadi pemberi. Meskipun ia ikut dalam rombongan saya, saya memberi dan anak saya juga memberi walaupun dengan nominal yang lebih kecil.

Jadi, hanya ada dua kelompok, pemberi dan yang diberi. Kelompok lansia yang sudah tidak punya penghasilan akan masuk sebagai kelompok yang diberi.

Hanya saja bagi yang baru mulai bekerja dan penghasilannya masih pas-pasan, boleh juga bersikap abstain, namun harus kuat mental kalau ada yang ngeledek kok gak ngasih THR.

Namun dari pengalaman teman-teman saya, ada juga yang standar penerima dibatasi maksimal sampai yang masih duduk di SMA. Itupun yang bayi belum dianggap layak diberi salam tempel. Tapi kebayang kan sedihnya anak kuliahan ketika dibilangin: "kamu gak usah ya, kan udah gede".  

Begitulah, berlebaran mau tak mau memang sangat kentara budaya salam tempelnya. Makanya uang receh dalam kondisi baru, harus dimiliki pihak pemberi menjelang lebaran.

Uang baru tersebut akan berpindah ke tangan anak-anak untuk sementara saja sebelum digunakan membeli makanan atau mainan. Anak-anak sudah hafal, siapa familinya yang kalau bertemu saat lebaran salam tempelnya tebal, tipis, atau kosong.

Tentu saja ada efek negatif dari budaya seperti itu. Penghargaan terhadap para "royalis" jadi begitu besar, sementara terhadap para "nihilis" alias salam tempel kosong, cenderung dihargai biasa-biasa saja.

Sedangkan efek positifnya, yang masih muda terpacu untuk bekerja keras agar saat lebaran mampu jadi "royalis". Sayangnya yang kurang mampu, bisa-bisa merasa tertekan secara psikologis pada setiap lebaran. 

Tapi budaya salam tempel sebagai salah satu cara mempererat hubungan anak-anak dengan kerabatnya agar tradisi silaturahmi tetap berlanjut, karena si anak kalau sudah dewasa akan menirunya, sepanjang tidak berlebihan, tidak jadi masalah.

Soalnya, ada kekhawatiran saya, jika anak-anak tidak dilibatkan dalam acara berlebaran, terlepas dari ada atau tidaknya salam tempel, saat mereka dewasa nanti kurang membaur dengan famili sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun