Mohon tunggu...
Wahyu Irvan
Wahyu Irvan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Full Day School dan Madin di Sekolahan

11 Agustus 2017   16:38 Diperbarui: 12 Agustus 2017   13:29 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Full Day School dan Delapan Jam Belajar

Topik yang cukup tren beberapa waktu ini adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bapak Muhajir Efendi, melalui Permendikbud-nya nomor 23 tahun 2017 yang memuat tentang Hari Sekolah. Sebenarnya dalam Peraturan Menteri ini tidak pernah ada tulisan "Full Day School" atau "Sehari Penuh di Sekolah", namun karena di Pasal 2 dicantumkan tentang adanya kewajiban belajar 8 (delapan) jam selama sehari, maka kemudian muncul persepsi bahwa siswa diminta seharian di sekolah yang kemudian diistilahkan Full Day School, kira-kira begitu.

Hitungannya begini, jika sekolah masuk pada pukul 07.00 pagi, maka ditambah 8 jam (termasuk didalamnya istirahat selama 0,5 jam), maka paling awal siswa dapat pulang pada pukul 15.00 sore. Kemudian jika sekolah menetapkan 2 kali istirahat, yakni pagi dan siang (untuk makan siang dan sholat Dzuhur selama 1 jam), maka siswa akan mendengarkan bel pulang pada pukul 16.00 sore. Bayangkan, siswa masuk sekolah pukul 07.00 pagi dan pulang pukul 16.00 sore selama lima hari.

Permendikbud 23 dan Kebiasaan Masing-masing Lembaga Pendidikan

Sebenarnya dengan peraturan selama ini, sebelum ada Permendikbud 23/2017, sekolah sudah banyak, sekali lagi sudah banyak yang membiasakan para siswanya pulang sore, utamanya untuk tingkat SMA/MA sederajat dan tingkat SMP/MTs sederajat. Dengan apa? Tentunya dengan kegiatan tambahan berupa ekstrakurikuler atau ko-korikuler yang dilaksanakan di luar jam pelajaran. Misal saja begini, siswa tingkat SMA/MA pulang sekolah pada pukul 14.00, kemudian mengikuti ekstrakurikuler sampai pukul 16.00 sore, bisa dikatakan sama saja dengan Permendikbud 23 ini, sama-sama pulang pukul 16.00., sehingga secara tidak langsung sekolah telah melaksanakan "Full Day School" jika yang dimaksud adalah 8 jam belajar di sekolah selama sehari.

Di sisi lain, Permendikbud 23 juga memberikan kesempatan sekolah untuk melaksanakan kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler di dalam maupun di luar sekolah. Pasal 6 dan pasal 7 menjadi tumpuan sekolah boleh mengajak siswanya melaksanakan ekstrakurikuler olahraga futsal misalnya, ke lapangan futsal atau mengajak siswa belajar Al-Qur'an dan Kitab Kuning di madrasah diniyah atau pondok pesantren terdekat, tentunya dengan wewenang masing-masing sekolah. Selain itu sekolah juga dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga keagamaan untuk mengisi kegiatan keagamaan, lagi-lagi tentunya atas wewenang sekolah.

Ada juga lembaga pendidikan yang telah mengadakan kerja sama dengan guru-guru madrasah diniyah/TPQ, seperti yang saya ketahui dari salah satu lembaga pendidikan tingkat MI dan SMPI, di mana pengelola sekolah mengajak wali murid untuk mewajibkan pelajaran madrasah diniyah sepulang sekolah, siswa-siswa tidak pulang, makan siang disediakan sekolah boleh juga diantar dari rumah, pelaksanaan "MADIN DI RUANG KELAS SEKOLAH" diampu oleh guru-guru madrasah diniyah, bukan guru sekolah yang sejak pagi mengajar, tentunya kemudian pengelola semua ini adalah SEKOLAH. Pasal 6 ayat 2 Permendikbud 23 telah dilaksanakan oleh lembaga pendidikan ini, bahkan sebelum Pak Menteri ketok palu.

Belum lagi ada contoh sekolah yang ada di bawah naungan yayasan yang memiliki Pondok Pesantren. Istilahnya mungkin sudah "FULL DAY LEARNING", pagi belajar di sekolah, sepulang sekolah di madrasah diniyah dan malamnya ngaji lagi di pondok pesantren. Full belajar dan ngaji. Namun bedanya adalah pengelolanya, pada contoh ini sekolah hanya mengelola sekolah pagi.

Delapan Jam Belajar di Sekolah dan Ekspansi Madrasah Diniyah

Sekarang bagaimana dengan eksistensi madrasah diniyah yang merupakan salah satu lembaga utama pembentuk karakter generasi bangsa dan lembaga yang konsisten mencetak murid yang berakhlak mulia, calon pemimpin bangsa?. Akhir-akhir ini para Kiai turun gunung untuk menolak Full Day School. Tanpa mengurangi sedikitpun rasa takdzim kepada beliau-beliau ini, banyak juga Kiai yang telah menerapkan Full Day School, bahkan Full Day Learning, hanya saja tidak dikelola oleh sekolah dan tidak diribetkan dengan birokrasi dinas, sekali lagi tidak dikelola oleh sekolah, namun dikelola oleh yayasan atau pondok pesantren masing-masing. Pada titik ini, ada kekhawatiran kuat bahwa eksistensi madrasah diniyah akan terkikis pelan-pelan seiring berjalannya waktu, karena jikapun ada madrasah diniyah, pengelolanya adalah sekolah dengan dinasnya, bukan pondok pesantren atau pengelola mandiri MADIN.

Namun di sisi lain, ada peluang besar untuk ekspansi besar-besaran penanaman ajaran keagamaan yang lebih signifikan di sekolah-sekolah umum. Ya, Permendikbud ini juga memiliki sisi menguntungkan. Bagaimana tidak, siswa-siswa yang awalnya mengisi sore hari dengan bermalas-malas di rumah, mengikuti kegiatan yang tidak bermanfaat atau kongkow-kongkow tidak karuan dapat ikut pembelajaran keagamaan atau ekstrakurikuler  lebih optimal karena kebijakan pulang sore, yang notebene pulang sore sudah dilakukan oleh banyak lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan selama ini mengisi waktu sore siswanya dengan agenda yang berbeda, ada yang dengan ekstrakurikuler, ada yang bekerja sama dengan MADIN serta ada pula yang mempersilahkan siswa pulang tanpa difasilitasi kegiatan apa-apa. MADIN atau pelajaran keagamaan memiliki peluang besar untuk masuk ke sekolah-sekolah umum lebih besar dipayungi Permendikbud ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun