Mohon tunggu...
Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Dari Elegi ke Kota Impian

17 Februari 2017   12:41 Diperbarui: 17 Februari 2017   12:50 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

BAGIAN 1

Perkenalkan namaku Elisa. Sejak umur 2 tahun, aku tinggal di kampung Elegi. Aku terlahir sendiri tanpa saudara dan hanyalah seorang anak wanita yang terlahir dari keluarga yang sangat jauh dari kata harmonis. Namun walaupun aku hanyalah anak satu-satunya, banyak sanak saudara dari keluarga ayah yang silih berganti menumpang hidup dan tinggal bersama kami di rumah. Sehingga beban ibu sebagai tulang punggung keluarga bertambah berat. Ayah hanya seorang supir angkutan umum yang kerja tak kerja. Waktunya hanya digunakan untuk bermain judi di kedai tuak Buzer.

Ibuku merupakan wonder women yang menopang beban hidup keluarga yang sangat berat. Ibu menanggung beban keluarga dengan menjual sayuran di pasar dengan menggunakan sepeda. Setiap pagi ibu telah siap mengikat sayuran yang akan di jualnya di pasar. Sebelum berangkat kepasar, ibu tidak lupa mencium kening ku ketika aku terlelap tidur. Bila sayuran yang dibawa ibu terlalu banyak, ia tidak akan menaiki sepedanya, namun menuntun sepedanya dengan berjalan kaki sampai ke pasar. Jarak rumah dan pasar letaknya sangat jauh kira-kira 6km. hingga suatu ketika ibu terlambat pulang kerumah karena ban sepedanya bocor, sehingga ia harus menuntun sepedanya ke tukang bengkel terdekat.

Sesampainya di rumah aku berlari memeluk ibu dan menciumnya karena rindu padanya. Namun aya menarikku dan mengurungku di dalam kamar dan mengunci pintunya dari luar. Ayah mengambil pisau besar dan meremukkan sepeda ibu sampai berkeping-keping. Tak puas sampai di situ, ayah juga mendaratkan pukulan demi pukulan ke tubuh ibu hingga keluar darah dari kelopak mata ibu. Ibu hanya meraung menangis menahan sakit. Aku juga ikut menangis dari dalam kamar dan menendang-nendang pintu dari dalam karena tidak sabar memastikan keadaan ibu setelah disiksa oleh ayah. Akhirnya sekian lama aku berteriak-teriak dari kamar, yang ku lihat para tetangga telah berkumpul di rumah dan membukakan pintu kamar yang dikunci oleh ayah. Tanpa memperdulikan seorang pun, aku langsung memeluk ibu dan menangis melihat apa yang terjadi pada ibu. Ibu juga membalas palukanku dan segera membuat tubuhnya seakan-akan tidak terjadi apa-apa dihadapanku.

Ayah tak lagi terlihat di ruangan tersebut. Ia pergi entah kamana, dan aku tak memperdulikannya. Para tetangga yang telah berkumpul menyaksikan kejadian malam itu membawa ibu dan aku ke klinik terdekat dan sebahagian lagi membereskan puing-puing sepeda ibu yang telah di rusak ayah dan barang-barang yang berserakan yang digunakan ayah melempar tubuh ibu. Namun ibu memaafkan perbuatan ayah tersebut dengan hati yang tulus.

Tak kalah herannya aku ketika aku melihat pintu kamar keluarga pak Kardopa yaitu kakak dari ayah  yang saat itu tinggal serumah bersama kami tidak tergubris sedikitpun. Dengan damainya mereka tertidur lelap tanpa adanya gangguan kegaduhan yang terjadi karena kelakuan ayah.

Dikampung Elegi juga banyak kisah yang terukir. Masa kecil yang tak kan terlupakan. Teman yang selalu menemaniku dalam masa-masa kecil yang tidak suram-suram amat yaitu Roy, Helen, dan Tio. Kami berteman sama seperti anak-anak lain bermain menghabiskan waktu yang tak kami hiraukan hilang begitu saja tanpa kami mengerti apa yang terjadi di sekitar kami.

Kampung Elegi kebetulan terletak di pinggiran jembatan. Setiap sore kami bisa melihat balapan motor ilegal yang diselenggarakan di jembatan tersebut. Dan setiap ada razia polisi maka komplotan pembalap akan lari pontang panting seperti maling. Hampir setiap hari juga kami melihat korban jiwa yang meregang nyawa di tempat itu. Darah yang mengalir sudah terlihat biasa di tempat itu. Setiap ada korban yang kecelakaan di areal balap itu, maka akan di perlakukan layaknya sampah yang mengganggu pemandangan, hanya disingkirkan keluar dari areal tersebut. Bagi orang memenangkan lomba balap motor maka berhak mengambil motor milik orang yang kalah di permainan itu.

Kebetulan di atas jembatan tersebut, ada kak Anisa yang menjual jagung bakar dan sekaligus langganan kami ketika menonton pertunjukan balap yang menegangkan urat saraf.

Saat pertunjukan tersebut akan mulai, maka kami akan naik ke atas jembatan dan mengambil posisi di kedai kak Anisa. Saat gas motor para pembalap telah beradu itu pertanda pertandingan akan dimulai. Kami juga mulai menandai jagoan kami dalam pertandingan itu. Aku dan Roy mendukung pembalap motor berwarna merah, sedangkan Helen dan Tio mendukung pembalap motor yang berwarna biru.

Kami berteriak sekuat-kuatnya untuk mendukung pembalap yang telah kami sepakati. Namun pembalap biru yang merupakan jagoan Helen dan Tio jatuh terpental dan menabrak trotoar. Ia terkapar tak berdaya namun seorang pun seperti tak menghiraukannya. Kami pun tak bisa berbuat apa-apa untuk menolongnya karena mobil polisi telah mendekat dan kami pun ikut lari pontang-panting menyelamatkan diri seperti para pembalap itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun