Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pentingnya Jujur Saat Wawancara Melamar Kerja

9 November 2012   04:42 Diperbarui: 4 April 2017   17:50 55732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_215482" align="aligncenter" width="576" caption="Foto : Kampret Klik dari Album Ilustrasi K, FB Grup Kampret"][/caption]

Seringkali banayk orang berpikir bahwa saat melamar pekerjaan tak perlu memberikan data yang seluruhnya benar selain identitas diri yang tertulis dalam kartu pengenal (KTP/SIM). Begitu pun saat diwawancarai oleh pihak Perusahaan yang “dilamar”, tak perlu menjawab jujur sepenuhnya. Sebab adakalanya jujur itu merugikan dan bisa jadi penyebab tak lolos seleksi. Benarkah anggapan itu? Ternyata tidak demikian. Bisa jadi dalam waktu singkat seolah menguntungkan dan ada dampak buruknya. Namun untuk jangka panjang dapat berpotensi merugikan karyawan yang sudah diterima bekerja sekalipun.

Hal yang paling sering disembunyikan oleh pelamar umumnya status pernikahan. Kenapa? Sebab untuk data ini paling mudah “disembunyikan”. Bukankah dalam melamar pekerjaan tak pernah disayaratkan melampirkan Surat Nikah bukan? Dalam KTP, memang ada kolom “Status”, namun tidak berarti orang yang sudah menikah otomatis data di KTP akan berubah pula. Untuk mengganti data pada KTP harus didahului dengan mengajukan perubahan pada KK (Kartu Keluarga). Dari KK inilah kemudian dipakai sebagai dasar membuat KTP. Jika seseorang yang sudah menikah tidak melakukan perubahan KK dan kebetulan pula KTP-nya masih berlaku, maka data dalam KTP yang tertulis pada kolom “Status” tetaplah tertulis “Belum Kawin”.

Umumnya yang menyembunyikan status pernikahan saat melamar pekerjaan adalah pelamar wanita. Sebab, seringkali untuk jenis pekerjaan tertentu yang mutlak membutuhkan kehadiran fisik dari pekerja setiap hari, perusahaan cenderung memilih pekerja yang masih lajang ketimbang yang sudah bekerja. Misalnya untuk posisi sekretaris, resepsionis, public relation, kasir dan beberapa pekerjaan lain yang pendelegasiannya tidak mudah atau tidak gampang diwakili orang lain.

----------------------------------------------------------------

Pernah nonton film “Picture Perfect”? Tokoh utama wanita di film tersebut mencari laki-laki yang bersedia pura-pura menjadi suaminya yang dibuktikan dengan foto-foto pernikahan. Semua itu untuk ditunjukkan demi menunjang karirnya. Si gadis sedang berupaya agar ia bisa mendapatkan promosi dari tempatnya bekerja. Tapi ia punya kelemahan dibanding pesaingnya karena ia belum menikah.

Kenapa status lajang dianggap kelemahan? Sebab perspektif yang berkembang di sana seorang pekerja yang hidupnya masih melajang dianggap belum settled dan rentan untuk keluar. Pekerja lajang bisa kapan saja mengajukan resign untuk pindah ke perusahaan lain bahkan ke kota lain. Sedangkan mereka yang sudah menikah dianggap lebih terikat pada komitmen karena telah memiliki keluarga, sehingga akan berpikir berkali-kali kalau akan berpindah-pindah pekerjaan.

Itu yang berkembang di negara barat, atau setidaknya yang ingin disampaikan oleh film Hollywood tersebut. Di Indonesia, pertimbangannya justru sebaliknya. Pekerja lajang dianggap lebih bisa diandalkan untuk ditugaskan ke luar kota sewaktu-waktu, lebih mudah diajak bekerja sampai diluar waktu kerja normal jika pekerjaan sedang over load dan lebih tidak rentan minta ijin tak masuk kerja karena alasan keluarga. Untuk perusahaan yang memiliki cabang di berbagai kota, pekerja lajang dianggap lebih mudah jika harus menjalani mutasi ke cabang lain.

Tapi bagaimana pun juga, menyembunyikan status pernikahan saat melamar kerja bukanlah langkah bijak bahkan akan jadi bom waktu di kemudian hari. Sebaiknya, lebih baik berterus terang dengan status pernikahan tapi mampu menunjukkan komitmen untuk bersikap profesional dan bertanggungjawab terhadap beban kerja. Anda memang harus menyiapkan jawaban jika ditanya bagaimana sikap anda jika menghadapi urusan keluarga mendadak sementara pekerjaan tak bisa ditangguhkan. Tentunya kelak anda pun harus melakukan apa yang sudah dijanjikan saat wawancara melamar pekerjaan.

[caption id="attachment_215484" align="aligncenter" width="507" caption="(foto : zeitha-helathy.blogspot.com)"]

1352436094759398143
1352436094759398143
[/caption]

Umumnya, pihak perusahaan yang melakukan wawancara akan lebih menghargai pelamar yang mau berterus terang tentang kondisi pribadinya. Saya pernah melakukan perekrutan untuk posisi Sekretaris Eksekutif. Untuk mendapatkan pelamar yang qualified, saya memasang iklan di sebuah web terkenal yang khusus menjembatani antara pekamar kerja dengan pemekerja. Dari seitar 6-7 orang kandidat yang saya panggil untuk wawancara, ada salah satunya dalam CV yang saya unduh dari web tersebut tertulis dia belum menikah. Namun pada saat saya wawancarai, dia langsung mengatakan dirinya sudah menikah. Menurut pengakuannya, CV itu sudah lama dia unggah sejak dia mendaftar jadi member web tersebut. Sedangkan dirinya baru menikah 3-4 bulan lalu dan sejak menikah ia lupa meng-update datanya di web. Saya dapat memaklumi alasannya, sebab yang lebih penting adalah pengakuan lisannya.

Sebaliknya, Perusahaan kami pernah “kecolongan” ketika seorang pelamar mengisi formulir biodata dan menuliskan dirinya belum menikah. Padahal, saat dipanggil wawancara ia baru menikah seminggu sebelumnya. Memang pada saat melamar ia masih lajang, tapi pada saat dipanggil untuk mengikuti tes tulis dan wawancara, ia sudah menikah. Salahnya, dia menulis belum menikah dalam formulir isian yang disodorkan perusahaan kami dan ketika diwawancara pun dia mengaku belum menikah. Masalah baru muncul ketika 3 bulan kemudian ia mulai hamil dan ternyata kehamilannya agak rewel sehingga membuatnya tak bisa bekerja dengan baik. Takut dituduh hamil diluar nikah, karyawan ini pun menghadap HRD untuk berterus terang bahwa dirinya sebenarnya sudah menikah sekaligus meminta dispensasi agar bisa bekerja ringan karena kondisi kandungannya yang rewel.

Saat itu, pihak HRD yang merasa dibohongi sebenarnya ingin langsung memberikan sanksi PHKk dengan tidak hormat. Sebab dalam formulir isian yang dia isi dalam kondisi sadar, terdapat klausul yang menyatakan bahwa ia bersumpah telah memberikan keterangan yang benar dan bersedia untuk diperkarakan secara hukum jika kelak terbukti ada data yang tidak benar. Hanya saja, saat itu kami mempertimbangkan dari sisi kemanusiaan, akhirnya kami meminta ia membuat surat pengunduran diri saja dengan alasan kondisi kesehatan yang tak memungkinkan.

Nah, kembali ke soal kejujuran dan komitmen. Sebenarnya yang lebih dibutuhkan perusahaan adalah komitmen karyawan untuk bertanggungjawab atas pekerjaannya pada saat ia dibutuhkan, terutama sepanjang jam kerja yang semestinya. Jadi bukan terfokus pada soal status pernikahan. HRD akan lebih respek pada pelamar yang mau berterus terang dirinya sudah menikah, namun dari hasil pendalaman saat wawancara, pelamar bisa meyakinkan bahwa dirinya mampu berkomitmen dan bisa mengatur skala prioritas antara pekerjaan dan keluarga. Ketimbang mengaku masih lajang tapi ternyata dikemudian hari sering tidak optimal dalam bekerja karena banyak direcoki urusan pribadi dan keluarga.

Kebohongan lain yang umum dilakukan pelamar adalah soal pengalaman kerja dan posisi yang diembannya di perusahaan lama. Untuk menaikkan posisi tawar, ada pelamar yang menghebatkan pengalaman kerjanya dan memberikan keterangan tidak benar tentang jabatannya. Padahal, sebutan jabatan di berbagai perusahaan bisa berbeda antara suatu perusahaan dengan lainnya. Biasanya, untuk mengetahui kemampuan, kompetensi teknis dan pengalaman kerja pelamar, HRD cenderung mengeksplorasinya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan spontan tentang studi kasus tertentu yang terkait dengan pekerjaan yang pernah maupun akan ditangani pelamar.

Sedangkan untuk menggali sejauh mana kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan kepada pelamar di tempat kerjanya terdahulu, biasanya HRD lebih suka menggalinya dari sisi rentang kendali (span of control) dan hirarki pertanggungjawaban formal dari pelamar di tempat kerjanya yang lama. Meski seorang pelamar mengaku dirinya pernah menjadi Manager atau bahkan General Manager, penyebutan jabatan itu tidak otomatis menjadi kata kunci yang baku untuk menentukan jenjang jabatan yang diemban pelamar. Tingkatan struktur organisasi dan besar kecilnya organisasi Perusahaan, bisa jadi lebih menentukan. Misalnya dengan mengukur seberapa banayk karyawan yang dibawahi, bagaimana jenjang pelaporan dan pertanggungjawabannya, seberapa banyak kewenangan yanggg diberikan dan apakah ia memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan.

Nah, daripada kelabakan saat diwawancara atau ketahuan dibelakang hari saat sudah direkrut, lebih baik memberikan keterangan yang sebenarnya saat menuliskan CV dan saat diwawancara. Yang lebih penting adalah bagaimana pelamar mampu menunjukkan kepada pihak perusahaan, terutama user terkait yang akan menggunakan kemampuannya, bahwa dirinya mampu dan mumpuni, serta punya komitmen terhadap pekerjaan. Bagaimana pun, kejujuran itu buahnya pasti lebih manis meski pada awalnya seolah beresiko memperkecil peluang untuk lulus.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun