Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Logika Sesat Soetan Bathoegana

8 Februari 2012   11:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:54 5278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin pagi, karena ada urusan mendadak, saya harus ke Klaten. Selesai urusan saya, sore menuju Jogja dan menginap disana. Malamnya, karena capek, saya melewatkan waktu hanya berdiam di kamar hotel. Karena saluran TV yang ada tak terlalu bagus kualitas gambarnya, saya hanya punya satu pilihan untuk menonton TV One, tayangan acara ILC, Indonesia Lawyers Club.

Saya benar-benar muak melihat tayangan semalam. Episode yang membahas kemungkinan nasib Anas pasca ditetapkannya Angie sebagai tersangka itu bertabur "bintang". Dari Partai Demokrat ada Ruhut Sitompul, Denny Kailimang, Amir Sjamsudin, Soetan Bathoegana dan Patra Zen (pengacara Anas). Dari tim pengacara Nazaruddin hadir Elza Syarif, Hotman Parin, Rufinus dan Juniver Girsang. Ada pula 2 anggota Komisi III DPR, Akbar Faisal (Hanura) dan Ahmad Yani (PPP).

Perdebatan semalam sungguh luar biasa ngawurnya. Etika berpendapat di depan umum dan kesantunan sama sekali tak diindahkan. Pertengkaran "musuh bebuyutan" Ruhut vs Hotman Paris dipertontonkan pada khalayak, meski kemudian Karni Ilyas meminta keduanya bersalaman. Tapi olok-olok dan saling memaki bersahutan sudah sempat didengar jutaan pemirsa.

Begitupun para politisi Demokrat dalam menjawab pernyataan-pernyataan dari kubu pengacara Nazar. Kesannya adu ngotot dan saling bersilat lidah semata. Tak kurang memuakkannya Soetan Bathoegana, ketika Karni Ilyas yang mengingatkan kebohongan Soetan soal pernyataannya bahwa berat badan Nazar turun 18 kg. Kita tentu belum lupa bagaimana bersemangatnya Bathoegana menyampaikan jumpa pers bohong itu.

Memang, semalam Bung Karni salah ucap, dia mengatakan "turun 12 kg". Soetan marah dan menuduh Karni "Apakah anda koruptor?!" Berulang kali diucapkannya tanya itu. Hanya soal keliru 18 kg jadi 12 kg, Soetan tak terima. Padahal esensinya bukan pada angka sebab itu bukan sedang membicarakan jumlah uang yang ditilep atau nilai proyek yang di mark up. Tapi substansinya adalah KEBOHONGAN PUBLIK yang dilakukan seorang Wakil Rakyat yang terhormat. Justru soal kebohongan ini Soetan menyebut "itu tidak substansial!". Sebab katanya ia hanya mengutip ucapan Nazar ketika bertemu dengannya. Alasan yang tak masul akal! Bukankah Soetan bisa menilai sendiri tubuh Nazar yang tak berkurang banyak masa iya turun 18 kg?!

2 anggota Komisi III pun tak kurang menyebalkannya. Akbar Faisal dan Ahmad Yani saling menguatkan soal ke-sok tahu-an mereka mengenai perpecahan di tubuh KPK. Mereka menafsirkan "sendiri"nya Abraham Samad saat menetapkan Angie sebagai tersangka adalah konfirmasi dari perpecahan itu. Untunglah ada mantan Ketua KPK periode pertama, Taufikurrahman Ruki, yang mencoba meluruskan penafsiran yang cenderung mencoba menggiring opini publik untuk menciptakan kesan negatif pada KPK. Pak Ruki menjelaskan perihal prosedur penetapan tersangka oleh penyidik dan komisioner KPK, serta bagaimana tatacara mengumumkannya. Setidaknya, publik yang rasional tidak menelan mentah-mentah penggiringan opini oleh Akbar Faisal. Ternyata, Komisi III DPR tak pernah lelah berupaya melemahkan KPK yang para komisionernya mereka pilih sendiri.

Ketika acara makin memanas, saya tinggalkan TV dan keluar hotel, cari angin segar sekaligus membeli cemilan. Sejam kemudian saya balik ke hotel, acara ILC masih berlanjut. Saya lihat Bung Fadjrul Rachman sedang bicara. Lagi-lagi Soetan Bathoegana tak sependapat dan mendebat Fadjrul. Tetap dengan gaya khasnya yang seolah paling pintar.

Dalam perdebatannya dengan pembicara terdahulu, Soetan terkadang menyitir ayat-ayat Allah yang seolah-olah tepat untuk membenarkan pendapatnya. Inilah yang mengundang kritik Bung Fadjrul, "jangan bawa-bawa nama Tuhan" kata Fadjrul. Tentu semua paham maksud Fadjrul, janganlah sekali-kali mengutip ayat Allah yang suci demi membenarkan perilaku para politisi yang pada prakteknya kotor. Tapi Soetan menyerang Fadjrul dan menggiring opini seolah Fadjrul melarang orang membawa nama Tuhannya, hendak memisahkan insan dari Penciptanya.

Ketika giliran budayawan Sujiwo Tejo bicara, Soetan Bathoegana pun saling bersitegang dengan Sujiwo Tejo. Saling tuding dan saling melotot, persis anak kecil berantem.

13287009791954075658
13287009791954075658
Tapi yang paling menggelitik saya, adalah ketika pakar hukum dan akademisi senior Profesor J.E. Sahetapy menyampaikan kritiknya terhadap perilaku para politikus. Krtikan Prof. Sahetapy memang tajam, tapi berdasar dan tidak asbun. Tentu saja, kapasitas intelektual dan kebijaksanaan Prof. Sahetapy pantas membuatnya jadi orang yang paling santun dan beretika dalam berpendapat di acara ILC.

Sayangnya, lagi-lagi Soetan Bathoegana menyela dan membantah kritik Pak Sahetapy. Kali ini Soetan menyerang Prof. Sahetapy ikut punya andil, sebab para politikus yang dikritik ini sebagian juga “murid-murid” beliau. Mungkin maksudnya para alumnus fakultas hukum yang menjadi politikus Senayan. Menurut Soetan, Prof. Sahetapy tak bisa lepas tangan, sebab beliaulah yang mengajarkan demikian.

Kontan saja Prof. Sahetapy tak terima. “Saya mengajarkan yang baik-baik. Perkara mereka kemudian setelah jadi politikus kelakuannya seperti itu, bukan saya yang mengajarkan!” sergah Prof. Sahetapy. Benar, siapapun tahu bahwa ketika seseorang sudah dewasa dan bisa mengerti mana hal yang baik dan buruk, bisa membedakan hal yang sebaiknya dilakukan dan apa yang harus dihindari, paham resiko perbuatannya, tentu setiap perbuatannya adalah tanggung jawab pribadinya. Orang tua dan guru tak bisa lagi disalahkan. Sebab guru tentunya mengajarkan hal-hal yang baik.

Jika ada seorang alumni kedokteran spesialisasi kandungan kemudian memilih jalan menjadi dokter yang khusus menangani aborsi illegal, tentu para guru besar di fakultas kedokteran tempatnya belajar tak bisa disalahkan. Seorang lulusan jurusan farmasi bisa saja memilih menekuni penelitian untuk menghasilkan obat-obatan yang bermanfaat bagi penyakit-penyakit tertentu, atau justru memilih untuk meracik narkotika dan zat adiktif. Seorang pakar fisika dan elektronika bisa memilih merancang alat-alat yang berguna bagi kemajuan peradaban, tapi bisa juga menekuni ilmu untuk membuat bom dan senjata pemusnah missal. Apakah kemudian guru yang mengajarkan ilmu padanya dianggap salah?Bahkan seorang ustadz/ ulama yang mengajarkan ilmu agama pun tak bisa disalahkan jika “santri”nya tiba-tiba jadi koruptor berwajah santun dan suka menjual ayat Allah.

Mungkin Soetan perlu menengok perilaku para politisi Jepang. Jangankan ditetapkan jadi tersangka kasus korupsi, baru diissukan terlibat kasus penyelewengan saja, mereka sudah malu dan sebagai bentuk tanggung jawab moralnya mereka menyatakan mundur tanpa diminta. Bandingkan dengan di Indonesia, sudad didesak sampai di demo pun tetap pede tak mau mundur.

Bagi politisi Jepang, kehormatan, harga diri dan martabatnya jauh lebih berharga. Ketimbang dicela, dicerca, didemo,fotonya dibakar dan diinjak-injak, dijadikan bahan pergunjingan media massa, maka lebih baik mundur dan segera berkonsentrasi menjalani proses hukum. Semua itu sudah menjadi budaya dan tradisi para politisi Jepang. Mereka memegang teguh ajaran budi pekerti dan etika yang diajarkan sejak kanak-kanak, sejak tingkat pendidikan dasar, sehingga karakter yang terbentuk pun adalah karakter yang baik dan kuat.

Di Indonesia, yang terjadi justru sebaliknya. Setelah berkecimpung di dunia politik, umumnya orang yang tadinya baik pun jadi terpengaruh dan ikut-ikutan lebur dalam perilaku politikus yang negative. Nah, dimana letak kesalahan para pendidik dan akademisi?

Di sisi lain, sembari menyalahkan Prof. Sahetapy, Soetan Bathoegana juga mengklaim bahwa para politikus sejatinya adalah “korban”. “Kami-kami ini sebenarnya korban. Korban dari high cost politics” kata Soetan. Nah, bukankah dengan kalimat itu Soetan seolah minta permakluman : berhubung biaya menjadi politikus di parlemen itu sangat mahal, maka mereka yang berhasil duduk di kursi parlemen kemudian terdorong untuk mencari cara untuk “mengembalikan modal” yang telah dikeluarkan. Berpolitik kemudian seolah menjadi investasi yang pasti diharapkan akan menuai untung.

Kira-kira, adakah akademisi yang mengajarkan logika berpolitik macam ini pada Soetan Bathoegana? Saya yakin tak ada. Jadi, pemikiran sesat itu semata memang muncul dari benak Bathoegana. Tapi melempar kesalahan kepada para “guru” yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu. Saya berharap, semalam tak ada mantan guru Soetan Bathoegana yang nonton acar ILC, supaya mereka tak sakit hati. Murid durhaka benar si Bathoegana ini!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun