Mohon tunggu...
M. Iqbal Fardian
M. Iqbal Fardian Mohon Tunggu... Ilmuwan - Life Time Learner

Penulis adalah seorang pendidik di sebuah sekolah swasta kecil di Glenmore, Banyuwangi. Seorang pembelajar yang tak pernah selesai untuk terus belajar. Saat ini penulis sedang menempuh Pendidikan di Program S3 Ilmu Ekonomi Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melacak Jejak Kerajaan Mataram Islam di Pulau Jawa

10 Januari 2019   09:55 Diperbarui: 10 Januari 2019   10:23 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat kita mengunjungi Kota Solo dan DIY Yogyakarta, terasa kurang lengkap rasanya jika kita tidak mengunjungi Keraton kerajaan -kerajaan yang terletak di dua  kota tersebut. Keberdaan Keraton-keraton tersebut selalu menjadi daya tarik siapa saja yang mengunjungi kedua kota terssebut. Di Solo memiliki 2 Keraton, yaitu Kasunanan Solo dan Puri Mangkunegara. Di Yogyakarta terdapat Kesultnanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Keempat kerajaan kecil tersebut tersebut sesungguhnya merupakan kelanjutan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan Raden Danang Sutawijaya. Kerajaan Mataram tidak ada kaitannya dengan Kota Mataram di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Pusat kekuasaan Mataram terletak di sekitar Yogyakarta yang kemudian berpindah ke Kartasura dan Solo. Kerajaan Mataram merupakan Kerajaan Islam yang memiliki kekuasaan sangat luas. Hampir seluruh Pulau Jawa merupakan bagian kekuasaan Kerajaan Mataram.

Secara resmi kerajaan Mataram Islam memang telah berakhir, namun derap langkah, jiwa dan budayanya masih begitu nampak terasa di Keraton-keraton yang ada di Solo dan Yogyakarta. Bahkan termasuk juga di Pulau Jawa.  Jejak kebesarannya masih begitu terasa hingga kini. Secara Geografis Mataram terletak antara Kali Opak dan Kali Progo. 

Sebelum menjadi sebuah kerajaan, Mataram hanyalah pedukuhan kecil yang merupakan  tanah hadiah dari Sultan Hadiwijaya atas jasa Ki Ageng Pemanahan dalam membunuh Aria Panangsang. Bahkan Pedukuhan Mataram tersebut merupakan tanah hadiah dari Sultan Hadiwijaya ( Raja Pajang ) kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai imbalan atas keberhasilannya membunuh Aria Panangsang. Sebelum menjadi Mataram sebelumnya kawasan tersebut merupakan kawasan Hutan yang bernama Hutan Mentaok.

Tahun 1578, Ki Ageng Pemanahan mendirikan padukuhan yang kemudian di beri nama Mataram. Bahkan Ki Ageng Pemanahan di kenal sebagai Ki Ageng Mataram. Tahun 1584 Ki Ageng Mataram meninggal Dunia dan sebagai Penggantinya diangkatlah Putera Ki Ageng Mataram yang bernama Danang Sutowijoyo atau juga di kenal sebagai Panembahan Senopati. 

Sutowijoyo  nampaknya  merasa tidak nyaman jika Mataram hanya menjadi bagian dari Pajang. Dia bercita-cita menjadikan Mataram sebagai Negara Merdeka terbebas dari Pajang dan terbebas dari bayang-bayang Sultan Hadiwijaya yang juga merupakan mertua dan ayah angkat dari Sutowijoyo.

Sebelum Sultan Hadiwijaya wafat nampak keengganan dari Sutowijoyo untuk menghadap kepada Sultan Hadiwijaya.  Untuk menyelediki keengganan Sutowijoyo untuk menghadap, sultan Pajang mengirimkan  Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil ke Mataram (1576). Sutowijoyo hanya menjawab ringan : " Aku belum mau menghadap Ramanda Sultan". 

Namun upaya kedua orang pembesar Pajang gagal, bahkan selanjutnya dikirim juga Aria Pamalad (Adipati Tuban), Pangeran Benowo  dan Patih Mancanagara untuk menyelidiki perkembangan Mataram. Dalam perkembangannya Sutowijoyo memang secara serius mempersiapkan Mataram menjadi sebuah kerajaan yang merdeka.

Secara serius Sutowijoyo membangun kekuatan perangnya dengan melatih para pengikutnya menjadi pasukan yang siap berperang melawan Pajang. Sutowijoyo mempersiapkan pasukannya untuk alat pertahanan jika sewaktu waktu Pajang menyerang Mataram. Untuk kepentingan pertahanan ini Sutowijoyo juga membangun benteng Mataram. Upaya-upaya politis kemiliteran ini menimbulkan kecurigaan Sultan Hadiwijaya terhadap Mataram. Sehingga Sultan Hadiwijaya terus mengirimkan telik sandi pilihannya untuk mengawasi gerak gerik Mataram.

Selain upaya lahiriah, Sutowijoyo juga memusatkan kekuatan batinnya dengan melakukan Samadi dan Tapa Brata. Akhirnya wahyu kedatonpun dia dapatkan saat tertidur diatas batu keramat Sela Gilang di Lipura. Senopati juga meminta dukungan Kanjeng Ratu Kidul yang merupakan penguasa Laut Selatan. Selain itu Senopati juga meminta bantuan Penguasa Gunung Merapi untuk merealisasikan mimpinya menjadi Raja Mataram.

          Bentuk dukungan Kanjeng Ratu Kidul ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Saat itu Sutawijaya melakukan Topo Ngintir ( hanyut )setelah selesai dia kemudian melakukan samadi duduk disebuah batu tepat berada dipinggir pantai Parangkusumo. Saat membacakan mantra-mantra tiba-tiba terjadi kerusakan dahsyat di Istana Air Kanjeng Ratu Kidul yang tidak terlalu jauh dari Sutawijaya melakukan Samadi.

Kanjeng Ratu kidul dan pengikutnya merasa kawatir dan ketakutan dengan kejadiaan tersebut, hingga Kanjeng Ratu Kidul mencari penyebabnya. Ternyata gelombang dahsyat yang terjadi diakibatkan dari seorang pemuda tampan yang sedang melakukan Samadi di Parang Kusumo. Nampaknya paras wajah tampan sang pemuda menarik perhatian sang ratu. 

Dengan agak ketakutan Ratu Kidul mendekati Sutawijaya dan memintanya untuk menghentikan tapa brata tersebut. Pertemuan dan percakapan kedua mahluk berbeda alam tersebut merupakan bagian kesepakatan dan hubungan istimewa Sutawijaya dengan penguasa laut selatan tersebut.

Kesultanan Yogyakarta salah satu Penerus Kerajaan Mataram Islam
Kesultanan Yogyakarta salah satu Penerus Kerajaan Mataram Islam
 Kanjeng Ratu Kidul bersedia membantu Sutowijoyo jika dia dan keturunannya yang menjadi Raja Mataram bersedia menikah dengan Kanjeng Ratu Kidul. Sutowijoyo tidak membuang buang waktu untuk menerima tawaran Kanjeng Ratu Kidul dalam upayanya menjadikan Mataram sebagai sebuah Kerajaan. Perkawinan antara keduanya akhirnya dilangsungkan di Istana Kanjeng Ratu Kidul. Sutowijoyo mengikuti Kanjeng Ratu Kidul  selama tiga hari di Istana Bawah Air Kanjeng Ratu kidul yang terletak di Pantai Parang Kusumo Yogyakarta.

Bagi masyarakat Jawa termasuk Sutawijaya dukungan spritual dari Kanjeng Ratu Kidul menjadi sumber dukungan spiritual yang sangat penting dan menentukan. Meskipun Sutawijaya sudah menganut Agama Islam namun keyakinan masyarakat Jawa terhadap Kanjeng Ratu kidul tetap sangat kuat sebagai peneguhan spiritual  dan legitimasi Sutawijaya untuk menjadi Raja.

Pertempuran antara Pasukan Mataram dan Pajang akhirnya tidak dapat dihindari. Berawal pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya menghukum buang Tumenggung Mayang ke Semarang karena membantu anaknya yang bernama Pangeran Pabelan, menyusupbke dalam keputren dan menggoda Ratu Sekar Kedaton, puteri bungsu dari Sultan Hadiwijaya.  

Sebagai hukumannya Raden Pabelan dihukum mati, dan mayatnya dibuang  ke Sungai Laweyan. Ibu Raden Pabelan adalah adik dari  Sutowijoyo. Kemudian Sutowijiyo dan pasukannya ternyata berusaha merebut Tumenggung Mayang saat dalam perjalanannya ke Semarang. Perbuatan Sutowijoyo membuat murka Sultan Hadiwijaya, dan memipin sendiri penyerangan ke Mataram.

Pasukan Mataram yang secara jumlah dan kemampuan berada di bawah Pajang diluar dugaan mampu mengalahkan Pasukan Pajang. Hal ini tidak lepas atas bantuan dari Pasukan Roh halus Kanjeng Ratu Kidul dan penguasa Gunung Merapi. Pasukan Pajang yang bermarkas di Prambanan dibuat tidak berdaya melawan Pasukan Mataram. 

Bahkan dalam babad tanah Djawi disebutkan kekalahan pasukan perang Pajang bukanlah dikalahkan pasukan perang yang telah dipersiapkan Mataram. Dari sisi jumlah maupun kemampuan perang pasukan Mataram masih belum ada apa-apanya dibanding  pasukan perang Pajang yang jauh lebih tangguh dan besar.

Abdi Dalem Keraton Yogyakarta penjaga tradisi Islam Jawa
Abdi Dalem Keraton Yogyakarta penjaga tradisi Islam Jawa
Kekalahan pasukan perang Pajang juga memberikan dampak psikis yang mendalam bagi Sultan Hadiwijaya. Pada tahun 1582, Sultan Hadiwijaya meninggal dunia. Sebelum meninggal dunia Sultan Hadiwijaya berwasiat agar anak-anaknya tidak memusuhi Sutowijoyo, karena Sutowijoyo adalah anak angkat Sultan Hadiwijaya. 

Bahkan  Pangeran Benowo putra mahkota Pajang menawarkan Sutowijoyo untuk menggantikan Sultan Hadiwijaya sebagai Sultan di Pajang, akan tetapi Sutowijoyo menolak. Saat Sutowijoyo naik tahta menjadi Raja Mataram pertama, dia tidak menggunakan gelar Sultan karena masih sangat menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benowo putera Sultan Hadiwijaya yang menggantikan Sultan Hadiwijaya sebagai penguasa Pajang. 

 Sebagai bentuk penghormatan kepada Sultan Hadiwijaya tidak langsung menjadikan Mataram merdeka, baru setelah 5 tahun mangkatnya Sultan Hadiwijaya, Sutowijoyo secara resmi menyatakan diri sebagai penguasa Mataram. Pengangkatan Sutowijoyo sebagai Sultan terjadi pada tahun 1587. Setelah menjadi Raja Mataram Sutowijiyo menggunakan gelar Panembahan Senopati ing Alaga Khalifatullah Sayyidin Panotogomo Tanah Jawa. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram. Istana Kerajaan Matam kemudian berada di Kota Gede Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun