Mohon tunggu...
indrawan miga
indrawan miga Mohon Tunggu... Jurnalis - penulis, pendidik, petani

Pernah wartawan di beberapa media cetak nasional. Kini penulis dengan peminatan topik pendidikan, pertanian, dan lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sistem Zonasi Sekolah dan Senyum Guru Sekolah Pinggiran

26 Juni 2019   02:21 Diperbarui: 26 Juni 2019   07:29 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
protes kebijakan zonasi sekolah.    Foto: Antara 

Kebijakan zonasi sekolah pada penerimaan siswa baru (PPDB) di tahun ajaran 2019/2010 ini tampaknya berhasil mengatasi favoritisme sekolah.  Dan guru di sekolah pinggiran boleh tersenyum dengan kebijakan yang baik ini.  

Ini adalah pendapat pribadi menilai kebijakan sistem zonasi sekolah di jenjang sekolah menengah (SMP dan SMA).  

Terpaksa (maaf) saya mengistilahkan sekolah pinggiran, sebagai pembeda dari sekolah favorit idaman calon siswa dan orangtua.

SEKOLAH PINGGIRAN dan SEKOLAH FAVORIT 

Bicara jujur, memang ada pembeda antara sekolah favorit dan sekolah pinggiran (biasa). 

Kastanisasi pendidikan seperti ini, telah menjadi kritik terhadap praktek buruk pendidikan nasional. Dahulu pemerintah telah menghapuskan label sekolah bertaraf internasional (SBI), dan kini giliran sekolah berlabel favorit. 

Pembeda pertama, fasilitas sarana-prasarana sekolah. Pihak Dinas Pendidikan,  dan juga pihak ketiga, selalu menunjuk sekolah favorit ini sebagai penerima program-program unggulan. Ya, karena memang sekolah memiliki predikat akreditasi tinggi (A) lantaran kelengkapan sarana-prasarana. Prestasi siswanya pun membanggakan. Maklum, siswa pilihan yang bersekolah di sini, dengan nilai NEM tinggi, yang berarti cerdas dan cerdas sekali. Sekolah diunggulkan dan menjadi buah bibir kebanggaan masyarakat serta pengelola pendidikan di kota. 

Tak seperti sekolah pinggiran. Umumnya siswa datang dengan nilai NEM rendah, rata-rata ke bawah. Sehingga, terasa seperti sekolah kelas dua bila dibanding sekolah favorit tadi. Sudah kualitas siswa rendah, begitu pun strata sosial orangtua mereka. Tentu saja semangat memberhasilkan siswa juga semangat kelas dua.

Kembali ke sekolah favorit, kualitas kecerdasan murid tinggi. Begitu pun status sosial para orangtua, kebanyakan dari keluarga mampu. Maka sekolah mudah menarik sumbangan dana pendidikan (sukarela?), sebagai rasa terima kasih anaknya dapat diterima bersekolah di sekolah unggul dengan pembelajaran yang bermutu.  Orangtua siswa juga ringan tangan membantu kegiatan sekolah, menyumbang ini-itu. Tergambar peluang masuk perguruan tinggi negeri ternama salah satunya lewat jalur undangan tanpa tes (SNMPTN -Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri).  

Makin favorit sebuah sekolah, lazimnya makin besar nilai sumbangan sukarela ini --sesuatu yang sudah lazim. Sebagian dipakai untuk peningkatan prasarana sekolah, selebihnya biaya kegiatan kesiswaan, dan ada tentu sebagian lagi bagi kesejahteraan guru.

Lantaran kualitas dan keunggulannya itu,  kadang terdengar penekanan dari pihak dinas pendidikan berupa harapan terhadap sekolah favorit untuk mendapatkan hasil akhir NEM pada Ujian Nasional yang tertinggi untuk disandingkan di tingkat kota, propinsi bahkan nasional, sebagai citra keberhasilan pendidikan. 

Pembeda kedua, kualitas guru. Boleh dibilang, hampir semua guru di sekolah favorit merupakan guru pilihan yang mumpuni. Mereka berkesempatan mengikuti pelatihan/up-grading. Juga banyak kunjungan pihak ketiga,  sehingga guru banyak mendapat input.

Guru sekolah favorit rajin hadir, jarang absen. Banyak kegiatan intra dan ekstrakurikuler di sekolah yang harus diawasi.  Tingkat kesejahteraan guru pun lebih baik, karena adanya sertifikasi guru. 

Berbeda dengan rekan guru di sekolah pinggiran. Mereka sering absen mengajar, berhalangan. Sakit, atau bentrok waktu urusan ngobjek cari tambahan di luar sekolah.  Gabut- gaji buta, begitu kata siswa, jika kelas kosong tanpa guru pengganti. 

Dengan adanya sistem zonasi sekolah ini, kondisi di atas tadi berubah ke arah yang lebih positif. Tampaknya banyak guru, terutama guru dari sekolah pinggiran, akan tersenyum bahagia. Selama ini mereka seolah terlupakan. 

Meski, di sisi lain, sebagian orangtua cemberut menelan kepahitan, anaknya terpaksa bersekolah bukan di sekolah idaman.  Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi lagi di tahun mendatang, dengan kesigapan pihak dinas pendidikan di masing-masing daerah meningkatkan jumlah sekolah/ruang kelas serta mutu pembelajarannya.  

MESKI BANYAK DIPROTES ORANGTUA, KEBIJAKAN ZONASI JALAN TERUS

Penerapan sistem zonasi untuk penerimaan peserta didik baru jenjang SMP dan SMA pada tahun ajaran 2019/1920 ini, seperti di Depok dan Bandung (Jawa Barat), Surabaya dan di beberapa kota lain,  menuai protes orangtua.

Rasa kuatir,  anak pintar dengan nilai NEM tinggi diterima di sekolah biasa-biasa saja yang bermutu rendah. Kursi kelas diberikan lebih utama kepada siswa yang tinggal dekat dengan sekolah. Bersekolah di SMA jelek, misalnya, dengan akreditasi rendah, kecil peluang untuk dapat jatah undangan masuk perguruan tinggi negeri (jalur SNMPTN). 

Menanggapi protes itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi, menyatakan telah merevisi  persentase untuk siswa zonasi dan menambah jatah siswa berprestasi.  Lagipula, selama 3 tahun berjalan, program zonasi ini terus diperbaiki, dan di banyak daerah tidak ada kesulitan menerapkannya. 

Ia berkukuh kebijakan zonasi sekolah ini akan diteruskan dengan perbaikan-perbaikan. "Ibarat wajah kalau dari jauh kelihatan halus. Saat di close-up kelihatan bopeng-bopengnya, 'kan? Nah, setelah tahu masalahnya ini akan kami selesaikan per zona. Mulai dari ketidakmerataan peserta didik, kesenjangan guru, ketidakmerataan guru, jomplangnya sarana prasarana antarsekolah. Itu bisa ketahuan," begitu dalil Menteri Muhadjir Effendi.

Dengan zonasi sekolah, terungkaplah daerah-daerah yang kurang kualitas pendidikannya, termasuk yang lambat membangun dan meningkatkan kualitas sekolah ketimbang kecepatan perkembangan penduduknya.

GURU SEKOLAH PINGGIRAN AKAN TERSENYUM BAHAGIA

Di atas protes orangtua itu, akan banyak perubahan yang terjadi akibat penerapan zonasi sekolah. Ini semacam revolusi pendidikan, yang menyentuh akar masalah, yaitu buruknya praktek penyelenggaraan pendidikan di banyak wilayah. 

Terutama, kenyataan yang dialami oleh sekolah-sekolah pinggiran, yang kurang terpedulikan selama ini.  Dengan zonasi ini, sekolah pinggiran akan mendapat lebih banyak manfaat, dan tentunya para guru pinggiran akan tersenyum senang: 

  • Perbaikan fasilitas sekolah. Pemda atau pemerintah kota  pasti akan memperbaiki sekolah pinggiran. Sekolah-sekolah yang selama ini terabaikan, kurang fasilitas, kurang ruang kelas, jalan masuk rusak, kelas bocor, bangku rusak, pintu copot, wese busuk, dan kekurangan guru. Semoga pihak pemda/pemkot malu melihat kenyataan sebenarnya di sekolah negeri (juga swasta) pinggiran yang selama ini kurang tersentuh perhatian.
  • Semua sekolah kini setara. Harus memenuhi aturan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan (Permendiknas 32/2018).  Orangtua dan masyarakat sekitar akan bangga memiliki sekolah terbaik di wilayah masing-masing, dan terus berupaya membaguskannya.
  • Guru mendapat banyak pelatihan. Para guru bagus yang terperangkap di sekolah jelek, kini akan mendapat lebih banyak perhatian, mengikuti lebih banyak pelatihan. Juga akan terjadi rotasi guru, dari sekolah favorit ke pinggiran, atau dari daerah kelebihan guru ke sekolah yang kekurangan. 
  • Mengurangi korupsi. Anggaran pemerintah pusat dan pemda (20% APBN, dan 20% APBD), sayangnya sering salah guna dan salah peruntukan. Banyak untuk memoles dan berkegiatan di sekolah favorit. Kini giliran sekolah pinggiran mendapat alokasi dana lebih.
  • Kesempatan belajar. Guru pinggiran mendapat lebih banyak kesempatan pelatihan dan pengembangan diri. Selama ini, kesempatan terbatas dan dinikmati oleh 'guru  yang itu-itu' saja. Nanti, semua kebagian. Ada pemerataan kualitas guru. Harapannya, kualitas guru meningkat, maka kualitas pembelajaran lebih baik, dan begitu pula kualitas lulusannya.
  • Kejahteraan meningkat.  Akan lebih banyak kegiatan pelatihan dan lainnya, yang berarti tambah ilmu dan tambahan honor kegiatan. 
  • Guru Honorer diperhatikan. Rekan-rekan para guru honorer tampaknya akan mendapat kesempatan dan perhatian. Sudah saatnya mengakhiri kontroversi kekurangan guru dengan mengangkat guru honorer menjadi guru tetap, dengan ikatan kerja, ataupun sebagai pegawai daerah.
  • Pembangunan sekolah baru.  Pernah penulis mengunjungi sekolah dasar SD negeri dengan siswa kelas rendah sangat berlebihan, karena penduduk meningkat tajam. Hingga kelas harus dibagi dua rombongan pada jam berbeda. Selayaknya, dibuat sekolah-sekolah baru, juga sekolah untk SD, selain SMP dan SMA, per kelurahan atau perkecamatan. Pihak Pemkot bisa berkoordinasi dengan Pemerintah provinsi, untuk membangun sekolah-sekolah baru di wilayah padat atau pelosok yang selama ini luput dari perhatian.

Tiap anak Indonesia berhak atas pendidikan yang baik. Anak yang cerdas berhak mendapat pendidikan yang terbaik. Sebaliknya anak dengan kecerdasan rata-rata berhak mendapat pendidikan vokasional yang cocok untuk mengembangkan kompetensinya.

Jenjang pendidikan tinggi tentu harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zonasi, antara lain dengan mengurangi atau menghapuskan penerimaan siswa baru dengan jalur undangan, yang selama ini juga sarat dengan manipulasi nilai raport.

Dengan demikian anak yang bisa berkuliah di perguruan tinggi memang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, yang benar-benar.  Mereka kelak akan menjadi peneliti, dosen, tenaga ahli, pemikir, dan eksekutif puncak.

Sedangkan kelompok siswa dengan kecerdasan rata-rata, pemerintah wajib menyediakan pendidikan setara institut, akademi, atau politeknik, untuk membekali mereka dengan ketrampilan madya. Merekalah akan menjadi para pelaksana handal di berbagai projek pembangunan. Kelak mereka pun dapat memperdalam keahlian di jenjang pendidikan berikut.

Salam Pendidikan!

Indrawan Miga 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun