Mohon tunggu...
Indira Abidin
Indira Abidin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Belajar dari Sepasang Mualaf di Padang Arafah

3 September 2017   08:55 Diperbarui: 3 September 2017   09:20 2064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seringkali Muslim yang lahir sebagai Muslim menjadi Muslim yang menggampangkan segala sesuatu. Dan para Mualaf lebih mampu menghargai kemusliman mereka. Karena waktu belum tentu menunggu dan ajal tak akan pernah mundur.

Seringkali kita harus lebih banyak belajar pada mereka yang tak mengenal Muslim sejak lahir.

Ada sepasang suami istri keturunan Tionghoa di Padang Arafah. Sang suami, dalam balutan ihram putihnya, tak pernah berhenti berzikir, dan air mata terus mengalir di pipinya. Sang istri mendampingi dengan terus komat kamit tanda berdoa dan berdzikir, sambil mengenakan kaca mata hitam penahan terik matahari.

Arafah memang terik luar biasa. AC dan kipas angin tak banyak membantu membuat suasana tenda menjadi dingin. Jemaah haji bergantian tidur, ibadah, dzikir dan berdoa. Tapi pasangan suami istri tadi tak henti-henti berdoa dan berdzikir. Saat yang lain sudah terlelap dalam mimpi mereka terus duduk khidmat. 

Maka para jemaah lain pun kagum dan takjub akan kerajinan suami istri ini. Selesai wuquf Arafah para jemaah lain pun penasaran dan ingin mengenal lebih dekat pasangan ini. Dan sang suami pun bercerita mengenai pengalamannya dengan Islam.

Rupanya kakaknya yang lebih dulu masuk Islam, diam-diam. Ia tak ingin keluarganya tahu. Saat kakaknya berpulang ke Rahmatullah, tetangganya ngotot membawanya ke masjid untuk dishalatkan. 

"Saat jenazah kakak saya sudah diletakkan di depan imam, saya pun bertanya, apakah Non Muslim boleh masuk masjid. Mereka bialng, 'boleh.' Lalu saya buka sandal untuk masuk masjid perlahan-lahan. Tiba-tiba badan saya bergetar. Itulah pengalaman pertama saya masuk masjid. Saya seperti merasa ada tenaga besar masuk dalam tubuh saya. 

Setelah pengalaman hebat itu, di malam hari saya bermimpi memotong dua ekor kambing dan dilihatnya anak laki-laki saya berlari-lari gembira menyaksikan kambing dipotong. Hah, bagaimana mungkin? Bukankah anak saya lumpuh? Mimpi ini saya simpan dari istri yang beragama Katolik, tapi saya ceritakan kepada tetangga yang Muslim. Dari tetangga pula saya jadi tahu, itulah aqiqah dalam Islam. Karena itu tak segan-segan saya memotong dua ekor kambing. Ajaib. Di hari ketika ia memotong kambing itu anak saya benar-benar berlari bukan lagi dalam mimpi!

Dengan takut-takut, saya pun menyampaikan niat pada istri untuk bisa masuk Islam. Ternyata, tak diduga-duga, istri saya menangis tersedu-sedu. Ternyata ia pun sudah ingin masuk Islam tapi takut menyatakan pada saya."

"Waktu saya masih beragama Katolik saya juga sudah sering tahajud," tambah istrinya di sisinya.

"Wah, tahajud?" tanya jemaah di sekitarnya.

"Benar, dalam Kristen kami juga diajarkan sembahyang, bahkan sembahyang malam juga. Namanya dalam Islam tahajud kan?" gumamnya sambil tersenyum.

"Saya tidak pakai mukena, memang, tapi suatu malam, saat saya sedang ibadah sendirian, saya liat di cermin saya sedang duduk pakai mukena. Padahal kan waktu itu saya sedang pakai baju biasa. Saat itulah saya tahu saya harus masuk Islam," tambah istrinya.

"Kami iri pada Bapak Ibu sekalian yang sudah Muslim sejak lahir. Kami menjadi Muslim saat kami dewasa. Kami jauh sekali tertinggal. bapak sudah banyak dzikir sejak kecill. Kini kami harus mengejar saudara-saudara kami. Itulah sebabnyak kami tak mau berhenti berdzikir sampai tua, sampai kami dipanggil dan meninggal," seru si suami.

Jemaah lain pun tercengang. Tak pernah terlintas dalam pikiran mereka bahwa status Islam sejak kecil adalah sebuah karunia luar biasa yang membuat iri banyak mualaf. Tapi status istimewa memang kadang menjadi kelemahan, karena status ini yang membuat para Muslim sejak lahir jadi lalai dan lupa mensyukurinya.

Justru mereka yang baru masuk dalam Islam lebih mampu menghargai keIslamannya, dan tak mau membuang-buang waktu. Amal ibadah dinilai di akhir. Bukan yang awal. Jadi orang yang di akhir hidupnya mampu memanfaatkan waktu dan tak membuangnya untuk melakukan hal di luar jalanNya, tentu akan mendapat ganjaran lebih mulia, daripada mereka yang lebih lama ada dalam keimanan tapi tak memanfaatkannya, serta lalai di akhir hidupnya.

Nah, sahabat Miraj, bagaimanakah kita bisa belajar dari kedua pasangan suami istri ini dengan lebih baik lagi?

Bagaimanakah agar kita bisa memanfaatkan setiap detik dalam hidup kita dengan lebih khusuk lagi? karena esok belum tentu ada.

Yuk, daftar umrah bersama Miraj Umrah yuk. Jangan sampai kita tercatat sebagai makhluk yang lalai dalam agama.

Source: Catatan Haji - Guru spiritualku di Padang Arafah mualaf Cina

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun