Mohon tunggu...
Imron Fhatoni
Imron Fhatoni Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar selamanya.

Warga negara biasa!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Normalisasi Sungai di Sumbawa yang Tak Kunjung Direalisasikan

22 Juli 2017   14:12 Diperbarui: 23 Juli 2017   05:43 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi Sungai di Empang, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat|Dokumentasi pribadi

Minggu ini saya menghabiskan waktu di kampung halaman, Empang, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Saya hendak melakukan observasi kebahasaan di pesisir timur Sumbawa, sekitaran Teluk Saleh. Meski tugas ini telah rampung sejak dua hari yang lalu, namun saya memilih untuk menetap beberapa hari demi melepas rindu dengan keluarga.

Tinggal di kampung halaman memang menyenangkan. Ada selapis kebahagiaan saat berada di tengah-tengah orang tercinta. Ada banyak pula kenangan manis di masa kecil untuk dikenang kambali. Desa merekam semuanya dengan baik di setiap sudut. Namun di balik semua itu, selalu saja ada kegetiran saat menyaksikan sekelebat pemandangan sekitar. Banyak hal yang berubah. Sejak modernisasi dan perekenomian berbasis di kota-kota, pembangunan di desa seperti diabaikan.

***

Pagi itu, saya bertemu seorang tetangga yang berprofesi sebagai petani. Ia tengah merokok di teras rumah, sambil memandang sungai yang serupa lautan sampah. Seperti biasa, lelaki itu sangat ramah saat saya menyapanya. Ia kemudian bercerita tentang lalu lalang petugas proyek yang memotret keadaan sungai itu namun hingga kini tak jua terealisasikan pengerjaannya.

Ia mengungkapkan satu kepingan realitas yang tengah dihadapi warga bantaran sungai. Katanya, sungai itu beralih fungsi sebagai tempat pembuangan sampah. "Mungkin karena letaknya yang strategis," tambahnya. Sebagai orang yang lahir dan besar di kampung, saya sudah terbiasa dengan fenomena seperti ini.

Bantaran Sungai|Dokumentasi pribadi
Bantaran Sungai|Dokumentasi pribadi
Lelaki itu terus bercerita. Beberapa waktu lalu, warga kami dilanda banjir hingga dua kali berturut-turut. Penyebabnya tentu saja karena kondisi hutan yang tak lagi lebat karena maraknya pembalakan liar, ditambah lagi timbunan sampah yang berpotensi menyumbat aliran sungai. Sejumlah wakil rakyat juga berdatangan memberi bantuan saat itu, tapi tak banyak solusi yang mereka berikan tentang bagaimana gerak pemerintah dan lembaga terkait untuk mengatasi masalah serupa agar tak terjadi lagi di kemudian hari.

Ia kemudian melucuti saya dengan banyak pertanyaan. Kenapa pemerintah tidak menyediakan tempat pembuangan akhir yang layak bagi masyarakat? Kenapa tak ada regulasi yang mengharuskan setiap warga untuk menampung sampah-sampah itu di depan rumahnya, lalu setiap seminggu sekali petugas kebersihan akan mengangkutnya untuk kemudian dibawa ketempat pembuangan akhir? Kenapa begini, kenapa begitu?

Di ujung pembicaraannya, ia membicarakan dana desa yang luar biasa jumlahnya itu. Katanya, kenapa dana desa justru lebih banyak berkutat pada pembangunan rabat beton? Kenapa dana itu tidak dipergunakan untuk melakukan pengerukan atau normalisasi sungai? "Saya takut kalau-kalau terjadi banjir yang lebih besar lagi," ungkapnya.

Pagi itu, saya datang sebagai pendengar. Saya mencatat detail keluhan yang ia sampaikan. Terutama normalisasi sungai yang harus dilakukan dengan segera. Sayapun berjanji akan menyampaikan kisah itu kepada wakil rakyat dan pemerintah, dengan harapan mereka bisa membuat satu regulasi yang memunggungi masyarakat bantaran sungai.

Dari cerita singkat tetangga itu, saya mendapati timbunan kisah tercecer yang luput dari pantauan publik. Ada banyak masalah yang terabaikan, namun ada pula begitu banyak potensi dan harapan yang terus bermekaran. Sayang sekali, semua kenyataan itu laksana kabut asap yang mudah disibak.

Silih berganti kepemimpinan, pemerintah kita masih berpikir dalam gaya lama. Birokrasi tidak diarahkan untuk menyerap kearifan dan kekuatan semua unsur hingga menjadi amunisi yang sesaat bisa meledak demi menggapai perubahan. Pemerintah tak menempatkan humas-humas mereka hingga ke level bawah yang bertugas merekam segala dinamika yang terjadi, lalu memberikan respon dengan cara yang tepat agar pemerintah bisa segera menyelesaikannya.

Di berbagai media, kita sering menemukan kisah-kisah positif tentang kerja-kerja pemerintah, serta kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat. Padahal di lapangan, seringkali kita menemui kenyataan yang sebaliknya. Publikasi itu lebih menekankan pada pencitraan seorang pejabat, ketimbang selapis realitas lapangan. Yang kerap kali muncul adalah sebongkah pencitraan yang menutupi banyak kegetiran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun