Mohon tunggu...
Imas Siti Liawati
Imas Siti Liawati Mohon Tunggu... profesional -

Kunjungi karya saya lainnya di www.licasimira.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengalaman dalam Dunia Pendidikan

29 Mei 2016   21:13 Diperbarui: 29 Mei 2016   22:25 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar diambil dari www.maricari.com

Dunia pendidikan memang bukan hal yang baru untuk saya. Ibu saya seorang guru sehingga lingkungan sekolah sudah saya rasakan sejak kecil. Pun kemudian akhirnya menjadi mahasiswa Fakultas Pendidikan (meski bukan pilihan pertama) dunia pendidikan pun kemudian menjadi bagian dari kehidupan saya.

Saya memulai mengajar ketika memasuki semester lima. Saat itu materi kuliah microteaching sudah mulai diajarkan. Jadi karena keinginan merasakan mengajar langsung, beberapa teman mengajak saya mendaftar di lembaga-lembaga bimbingan belajar baik yang bersifat umum atau privat. Murid privat pertama saya, seorang anak SMP laki-laki kelas 7. Anak ini pintar tapi pendiam. Saya tak harus menjelaskan banyak materi karena dasarnya memang dia sudah tahu, tetapi saya harus banyak berbicara untuk memancingnya mengatakan hal-hal yang tidak ia mengerti. Setelah beberapa kali pertemuan sejujurnya ia lebih terbuka, namun les tak bertahan lama karena perubahan jadwal yang berbenturan dengan jadwal kuliah.

Sedangkan pengalaman mengajar anak lebih banyak (kelas), pertama kali saya rasakan di lembaga bimbingan belajar. Kali ini murid-murid SMA kelas 11 lah yang harus saya tangani. Mengajar lebih banyak anak ternyata lebih menguras tenaga dan emosi. Kemampuan masing-masing anak yang berbeda membuat kita harus banyak bersabar. Dan pengalaman ini ternyata belum ada apa-apanya ketika saya benar-benar terjun ke sekolah. PPL, program praktek lapangan yang wajib dilakukan setiap mahasiswa akhir adalah dunia yang sebenarnya harus dihadapi. Kebetulan saya ditempatkan di dua kelas berbeda. Satu kelas unggulan dan satu lagi penuh keluhan/masalah. Perbedaan yang cukup mencolok itu, saya pikir sudah membuat stress dan frustasi tetapi nyatanya pasca lulus lalu mengajar yang sebenarnya justru lebih memusingkan. Apalagi dengan banyaknya aturan serta perubahan kurikulum, kita dituntut harus lebih berpikir ekstra.

Pengalaman-pengalaman saya diatas memang masih kalah jauh dibanding para pengajar/pendidik/guru-guru yang jauh lebih senior, tetapi setidaknya ada beberapa hal yang bisa saya bagikan di sini.

Ketimpangan pendidikan memang dirasakan di kota besar dengan daerah. Fasilitas sekolah di kota jelas lebih lengkap daripada fasilitas sekolah di daerah. Di kota pun anak dengan kemampuan ekonomi orang tua lebih, mendapat pendidikan yang jauh lebih mendukung. Bukan rahasia, jika banyak sekolah-sekolah swasta dengan budget tinggi memiliki banyak keunggulan tersendiri. Pada pengalaman mengajar privat memang murid-murid yang saya adalah anak-anak dari sekolah terkemuka dengan kemampuan orangtua yang mendukung. Tak masalah membayar lebih, asal anak menjadi lebih berprestasi.

Selain itu, faktor guru juga menjadi perhatian serius. Bukan masalah cantik atau ganteng ya, tapi lebih kepada kemampuan mengajar dan menghadapi siswa. Guru galak atau suka memberi hukuman fisik pada siswa sudah tidak zamannya lagi, tetapi untuk lebih memahami karakter siswa yang beragam juga tak mudah. Lagi-lagi guru dituntut lebih cerdas. Dulu saya pernah menghadapi anak super menyebalkan, angkuhnya nggak ketulung. Sabar harus, tapi juga tegas. Ada aturan-aturan yang saya terapkan padanya, awalnya protes tetapi kami bertahan tiga tahun. Itu pun saya mengundurkan diri karena saya harus pindah.

Berhadapan dengan anak SMP & SMA , jelas jauh berbeda ketika berhadapan dengan anak-anak usia dini dan SD. Pengalaman mengajarkan anak-anak lebih belia, jauh lebih menyenangkan. Menyenangkan bukan berarti tidak sulit. Justru tingkat kesulitannya lebih tinggi. Bukan hanya mengajar materi tetapi ada hal-hal lain yang dari kita yang mereka lihat lalu dijadikan contoh. Sikap santun, hormat, jujur, rajin juga harus diajarkan kepada anak-anak. Seorang anak pernah membuang sampah sembarangan dan ketika ditegur ia mengatakan jika pernah melihat salah satu guru membuang sampah tidak pada tempatnya. Dari hal simpel tersebut saya dapat memahami jika pendidikan tak hanya materi pelajaran tetapi juga bagaimana mencontohkan hal-hal positif kepada anak-anak. Ini tidak hanya berlaku untuk guru tetapi juga orangtua.

Dalam mengajar, saya memang tak hanya menerapkan mengajar materi. Tapi juga selalu berusaha menjadi teman. Tak hanya privat tetapi juga dalam kelas. Hal yang memang sengaja dilakukan, agar lebih memahami karakter siswa. Jadi soal curhat di luar pelajaran itu sering. Dan sejujurnya lebih banyak mirisnya, karena permasalahan kesibukan orang tua selalu menempati urutan teratas. Kebutuhan terlengkapi tapi kasih sayang terabaikan itu menyedihkan.

Permasalahan di dunia pendidikan memang banyak tapi tak serta merta menjadikan kita pesimis. Anak-anak Indonesia berhak mendapatkan lebih baik. Jangan hanya kewajiban guru, orangtua pun tak melupakan tanggungjawab. Saya percaya jika semuanya bersinergi dan saling membantu, setiap anak akan menjadi anak yang lebih sukses dan berhasil.(ISL)

Lampung, Mei 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun