Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Politik

Janji 65% Elektabilitas dari Golkar untuk Jokowi: Selamatkan Setnov!

21 Agustus 2017   10:27 Diperbarui: 21 Agustus 2017   20:22 1508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Prediksi publik setelah pengumuman RUU Pemilu yang akhirnya disahkan oleh DPR yang diketuai oleh Setya Novanto dari Partai Golkar sesuai dengan kenyataan politiknya. Jokowi bakalan melenggang genit dengan asumsi partai-partai segede Gaban akan merunduk takzim dan bersimpuh hormat atas panggung politik yang disediakannya. Setya Novanto boleh saja dilabeli tersangka koruptor dari kasus E-KTP yang mega trilyun jumlahnya tapi kuasa politik tetap ditangan Jokowi. Alhasil status tinggal status, toh saksi yang relevan dengan kasus sudah bunuh diri setelah berjam-jam di kepung SWAT setelah dicurigai memiliki rekam jejak yang patut untuk diselidiki. Apa rekam jejaknya? Kekayaan yang luar biasa!

Partai Golkar yang belum juga berubah penyakitnya, pragmatisme akut yang anti ketidakmapanan atau sebut saja, gerah memposisikan dirinya menjadi partai oposan menyebabkan karakter para politisi di partai tersebut dihuni oleh mereka yang mentalitasnya susah untuk berdiri tegak dengan idealisme. Nusron Wahid dan Setya Novanto adalah politisi yang patut diacungi jempol untuk soal pragmatisme. Membayangkan mereka menjadi kritis kepada pemerintahan yang mengaku tidak mengidap penyakit diktatorian seperti membayangkan makan nasi tanpa lauk. 

"Kami pastikan suara Jokowi dalam Pilpres 2019 di atas 65 persen. Dengan  adanya keberadaan Partai Golkar, suara pemilih nantinya bertambah dan  itu tidak bisa ditawar-tawar lagi," tegas Idrus, kata Sekjen Partai Golkar Idrus Marham usai Rapat Kerja DPP Partai Golkar di Kota Bogor, Jumat (18/8/2017). Sumber 

"Strateginya mengkapilitasi program pembangunan yang ada dan Golkar  harus di depan memberikan pikiran-pikiran yang konsisten. Sesuai  karakter Golkar yaitu kekuatan pada sistem, bukan pada orang, karena itu  branding program," tambahnya 

Membaca sesumbar Partai Golkar yang optimis dan sekaligus menggelikan tersebut ternyata berbanding terbalik dengan hasil polling yang dicoba untuk dilakukan merespon persepsi publik. Hasilnya?

Awalnya hasil survei menyebutkan, elektabilitas atau tingkat  keterpilihan Jokowi adalah sebesar 65 persen. Namun saat ini menurun  hingga 42,6 persen. Penurunan angka elektabilitas Jokowi tersebut hanya karena adanya dukungan yang diberikan oleh Partai Golkar. Faktanya, sebelum partai Golkar mendukung Jokowi, elektabilitas  Presiden di atas 50 persen. Tapi setelahnya, menurut survei SMRC,  elektabilitas Jokowi pada Juni 2017 adalah 34 persen. 

"Begitupun dengan hasil survei Litbang Kompas, elektabilitasnya pada  April 2017 hanya 42,6 persen," ungkap Muchtar Effendi, pengamat politik  dari Network for South East Asian Studies (NSEAS) dalam keterangan  tertulisnya, Minggu (20/8). Sumber

Bagi penulis, output dari kebijakan Jokowi yang tidak sinkron dengan konten kampanye saat pilpres dahulu mulai memantik respon publik yang melihat Jokowi lebih ekspresif mempertunjukkan sikap-sikap yang sebatas kosmetis secara politik dan berbelok drastis dari apa yang pernah dijanjikan dahulu. Hutang yang kian menumpuk meskipun Sri Mulyani gagah mengatakan kemasan hutang yang masih dibawah rasio yang ditetapkan oleh negara. Hutang tetaplah hutang, apalagi nilai-nilai keekonomian dan produktifitasnya tidak terlihat. Apalagi beban pemerintahan Jokowi yang gagal fokus ini kemudian menjadi beban rakyat dengan pemberlakuan kebijakan pajak bahkan hingga mereka yang berpenghasilan minimum (baca: UMR).

Partai Golkar yang sesumbarnya akan memperkuat sistim seperti menjadi cara bercanda kaum politisi di depan rakyat yang mulai perih matanya melihat pertunjukkan yang kian tidak patut. Sistim impor garam maksudnya? Atau sistim untuk memproteksi ketua umumnya dari terkaman Jaksa Agung?

Bagi rakyat, 65% atau 100% itu identik dengan kesejahteraan dan kemakmuran. Pencabutan subsidi, pemberlakuan pajak yang kian menekan publik, hutang yang tidak identik dengan produktifitas dan naiknya kemampuan negara serta tidak adanya kepastian hukum di negeri ini adalah fakta-fakta yang tidak bisa ditelikung oleh informasi-informasi seperti elektabilitas Jokowi menjelang periode kedua. Masa pemerintahan yang sudah menginjak tahun ketiga dan hanya diriuhi oleh kasus-kasus cethek seperti Perppu Ormas, kriminilisasi ulama yang kritis, garam yang di impor oleh negeri yang bentang pantainya ratusan ribu kilometer adalah kisah-kisah miris di Indonesia.

Dirgahayu ke 72, untuk negeri yang tidak butuh pakaian adat untuk mengusir ketidakpastian. Merdeka!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun